Maiyah Dan Kepemimpinan Hastha Brata


Foto: Adin )Dok. Progress)
MAIYAH memiliki perspektif kepemimpinan sebagaimana yang sering dijelaskan oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam berbagai kesempatan sinau bareng bersama CNKK (Cak Nun & Kiai Kanjeng). Misalnya yang sering disampaikan oleh Cak Nun bahwa ada tiga syarat menjadi pemimpin, yakni:
Pertama, memiliki kebersihan hati (spiritualitas).
Kedua, memiliki kecerdasan (intelektualitas).
Keriga, memiliki keberanian (mentalitas).
Perspektif mengenai kepemimpinan tersebut biasanya dinisbahkan pada kepemimpinan para Nabi/Rasul atau kepemimpinan Ilahiyah. Alangkah indahnya bila syarat kepemimpinan tersebut diaplikasikan dalam kepemimpinan di negara kita, Indonesia. Sang pemimpin tidak cukup hanya memiliki kebersihan hati (spiritual) atau bening hatinya saja tanpa dibarengi dengan kecerdasan (intelektual) dan keberanian (mental yang baik). Demikin halnya pemimpin tidak boleh hanya mengandalkan kecerdasannya (intelektual) saja tanpa diikuti dengan kebersihan hati dan keberanian. Terlebih lagi kalau si pemimpin hanya mengandalkan keberanian saja (mental yang baik) tanpa diimbangi dengan kebersihan hati (spiritual) dan kecerdasan (intelektual). Sayangnya, dari tiga syarat kepemimpinan tersebut kebanyakan para pemimpin di republik ini masih hanya satu syarat saja yang terpenuhi; ada yang lebih menonjol pada kebersihan hati (spiritual) tanpa dibarengi dua syarat lainnya. Ada pula yang hanya mengandalkan kecerdasannya (intelektual)-nya saja tanpa spiritual dan mental yang baik. Dan, yang lebih parah kalau hanya mengunggulkan yang nomer tiga saja atau mengandalkan keberanian saja (mental) tanpa diikuti dengan spiritualitas dan intelektualitas. Pendek kata para pemimpin kita masih tergolong “pemimpin sepertiga” karena hanya satu syarat saja dari tiga syarat yang sempurna.
Dalam suatu acara Sinau bareng bersama CNKK (Cak Nun & Kiai Kanjeng) di STKIP PGRI Tulungagung (sekarang berubah menjadi Universitas Bhineka PGRI Tulungagung) sekitar tahun 2014 silam, tiba-tiba saya dipanggil oleh Cak Nun supaya naik ke panggung. Setelah itu Cak Nun memberi kesempatan kepada saya untuk menambahkan materi dengan tema kepemimpinan pada peringatan Hari Pendidikan 2 Mei saat itu. Tentu saya juga menyinggung sedikit mengenai perspektif kepemimpinan Sistem Among Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa dan Tutwuri handayani. Biasanya dalam perspektif Sistem Among Ki Hadjar Dewantara tersebut diikuti dengan pengamalan melalui cipta rasa dan karsa.
Berkenaan dengan Hari Pendidikan, maka saya sampaikan pula mengenai perspektif kepemimpinan dari nasihat leluhur Jawa bagi para guru atau pemimpin yang diharapkan dapat menguasai beberapa hal, yakni;
Pertama, mulat; yakni guru mengetahui keadaan murid atau pemimpin mengetahui keadaan rakyatnya, bisa mengenai karakter atau kebiasaan, sifat dan watak mereka, hingga mengenai keadaan sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Kedua, milala; yakni memberikan bombongan atau pujian kepada mereka (murid atau rakyat).
Ketiga, miluta; yakni memberikan bimbingan atau pengajaran dengan ucapan yang nggendeng ati (menyenangkan dan menenangkan perasaan mereka) sehingga mereka menjadi patuh.
Keempat, palidarma, yakni seorang guru atau pemimpin hendaknya dapat menjadi panutan atau tauladan yang baik.
Kelima, palimarma, yakni seorang guru atau pemimpin bagaimana pun harus memaafkan atau mengampuni kesalahan murid atau rakyatnya.
Tidak hanya itu, saya pun menyampaikan pula mengenai perspektif kepemimpinan dalam pewayangan yang dimiliki seorang Raja titising Bathara Wisnu yaitu yang disebut dengan Ngelmu Hastha Brata. Hastha itu delapan, sedang Brata artinya lelaku atau meneladani. Dengan demikian Ngelmu Hastha Brata artinya meneladani 8 (delapan) unsur alam; yakni bumi, banyu (air), geni (api), angin, surya (matahari), candra (rembulan), kartika (lintang, bintang) dan samudra (lautan).
Meski ilmu kepemimpinan dalam Ngelmu Hastha Brata tersebut dari pewayangan, tetapi substansinya sangatlah islami.
Pertama, meneladani bumi, yang wataknya sangat kaya karena di dalamnya (bumi) ada air, gas, hasil tambang yang beraneka-ragam dan sebagainya. Maka peneladanan terhadap bumi bagi seorang pemimpin yakni gemar dana weweh (bersedekah) atau memberikan sebagian rizkinya kepada rakyatnya yang hidup dalam kekurangan.
Kedua, meneladani banyu (air) yang karakternya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Maknanya pemimpin harus bersikap rendah hati (tawadhu’) kepada rakyatnya yang beraneka ragam.
Ketiga, meneladani geni (api), artinya penegakan hukum yang tidak pandang bulu, sehingga praktiknya tidak tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Sebagaimana sifat api yang membakar apa saja, bukan hanya membakar sampah, tapi emas-emasan pun akan dilalap api bila ditaruh di atas api ungguh. Dari penegakan hukum tersebut diharapkan lahirlah kepuasan rasa keadilan di masyarakat.
Keempat, meneladani angin yang suka menelusup ke mana-mana. Artinya pemimpin diharapkan dapat melakukan turba (turun ke bawah) atau bergaul dengan masyarakat dengan baik, sehingga mengetahui keadaan dan kesusahan yang dirasakan oleh rakyat kecil.
Kelima, meneladani surya (matahari) yang oleh pujangga diilustrasikan bahwa sang surya itu lakune alon maton; artinya pemimpin memiliki istiqomah dalam menjalankan kebaikan melalui keputusannya. Matahari pagi ketika sun rise (matahari terbit) juga berfungsi membangkitkan semangat atau energi pagi agar manusia giat bekerja menjalankan tugasnya.
Keenam, meneladani candra (rembulan) yang identik dengan keindahan terutama pada padhang mbulan (bulan purnama). Dalam konteks ini peneladanan terhadap candra (rembulan) itu maknanya mengenai spiritualitas yang baik bagi sang pemimpin.
Ketujuh, meneladani kartika (lintang, bintang) yang identik dengan maqom atau cita-cita. Posisi kartika (bintang) di atas langit pada malam hari menunjukkan posisi yang tinggi, sehingga diharapkan sang pemimpin memiliki maqom (posisi, keberadaan diri) serta cita-cita yang tinggi. Tak ayal, murid yang paling pandai di kelas disebut bintang kelas. Pangkat tertinggi di dunia kemiliteran pun juga ditandai berpangkat bintang. Demikian halnya artis yang terkenal pun biasanya disebut bintang film.
Kedelapan, meneladani samudra (lautan) yang maknanya gambaran hati sang pemimpin yang diharapkan seperti samudera yang luas dan dalam. Sebagaimana samudera yang mampu menampung semua aliran air dari sungai dan kekotoran (sampah-sampah), maka sang pemimpin pun diharapkan mampu menampung semua uneg-uneg (keluh-kesah) dari rakyatnya.
Dan, usai menyampaikan mengenai perspektif kepemimpinan Ngelmu Hastha Brata tersebut, Cak Nun membisiki ke telinga saya: “Apik, Wan.”
Alhamdulillah, saya pun bersyukur.