Maiyah Akan Kemana?


Tulisan ini tidak hendak merumuskan Maiyah harus melangkah kemana dan seperti apa. Tulisan ini lebih ingin memberikan perspektif cara pandang kepada Maiyah berdasarkan sejarah dan ke-khas-an yang terdapat pada tiga ormas Islam yang jauh lahir sebelum Maiyah dicetuskan. Tentunya bukan sebagai semata pembanding, tetapi difungsikan untuk melihat alternatif pengorganisasian atau minimalnya bagaimana pengelolaan perkumpulannya.
Maiyah memang tidak ditemukan bentuk padatannya sebagai organisasi. Maiyah cair dan mengisi ruang. Tetapi bukan berarti Maiyah tidak mempunyai padatan. Padatan Maiyah seringkali berupa sublimasi dari penggiatnya atau bahkan simpatisannya yang secara sadar menggambil nilai dari Maiyah. Sebenarnya cukup bias juga untuk mengatakan siapa orang Maiyah itu? Mereka yang berkumpul dalam forum rutinan tiap bulan? Mereka yang beresonansi dengan nilai Maiyah lewat kanal sosial media? Mereka yang menjadi “panitia” acara Maiyah? Mereka yang disebut penggiat? Mereka yang menulis tentang maiyah? Atau siapa? Tidak ada term yang cukup definitif untuk menyebut siapa “orang Maiyah”.
Lebih-lebih jika menyebut sebagai organisasi. Apakah Maiyah bisa dikatakan sebagai organisasi? Jika Maiyah tidak dipandang sebagai organisasi, maka apa fungsi dan peran marja’ Maiyah dan koordinator simpul maiyah, serta yang mengatur kegiatan dalam setiap simpulnya? Dari laku dan bentuknya, serta pengkondisian kegiatan dan massa, Maiyah tentu bisa disebut organisasi. Diakui atau tidak. Hanya saja, apakah organisasi ini formal bahkan legal, kita bisa mungkin mendiskusikannya lebih lanjut.
Dari apa yang kita lihat dalam pergerakan Maiyah, dapat dikatakan Maiyah adalah organisasi massa. Organisasi yang paling tidak memfasilitasi pergerakan massa untuk berkumpul, membuat suatu kegiatan, dan belajar bersama. Maka tulisan ini, akan beranjak melihat Maiyah sebagai sebuah organisasi. Tentu tidak mesti dengan membayangkan bahwa bentuk organisasi Maiyah sebagai bentuk “umum” organisasi yang mengharuskan ada struktur organisasi bahkan AD/ART.
Maiyah Dalam Irisan Nilai Sarekat Islam (SI)
Secara singkat SI lahir dari embrio Bernama Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo tahun 1905 sebagai organisasi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pedagang batik di Laweyan. Secara sadar, SDI mengajak anggotanya untuk berserikat dan menaikkan nilai tawar dalam perkumpulan pedagang batik (yang saat itu didominasi oleh Tionghoa). Tahun 1912, setelah H.O.S Tjokroaminoto mengambil alih kepemimpinan SDI dan mengubahnya menjadi SI sebagai perluasan visi pergerakan ke arah politik, SI didaftarkan secara legal kepada seorang notaris Belanda.
Sebagai bentuk organisasi formal, SI memiliki anggaran dasar yang memuat tujuan dan misi organisasi. Meskipun dalam perkembangannya, Pendidikan kader utama SI seringkali dilakukan dengan diskusi terbuka. Termasuk dalam menentukan ideologi perjuangan. Egalitarianisme yang diusung H.O.S Tjokroaminoto menjadikan anak didik sekaligus kader utama SI seperti Semaoen, Muso, Darsono, Soekarno, Kartosuwiryo, dan lainnya dibebaskan untuk memilih ideologinya masing-masing. Kebebasan ini selain berfungsi positif memperkaya perspektif dan menyediakan jalan alternatif perjuangan, juga membawa dampak lain; potensi perpecahan dalam tubuh organisasi.
SI dalam perjalanannya berpecah menjadi SI merah (yang berubah lagi menjadi Sarekat Rakyat) yang bertendensi “kiri” dan SI putih yang memegang ajaran Islam dan nasionalisme. Meskipun SI sebagai partai bertahan hingga pemilu 1970, namun kebesaran SI sebagai organisasi terbesar se-Hindia Belanda harus redup pada kurun 1923.
Maiyah memiliki kemiripan dengan SI yang juga menempatkan Islam sebagai salah satu sumber nilai utama. Irisan yang lain adalah sifat egalitarianisme yang diterapkan pada setiap ruang belajar Maiyah. Siapapun, bahkan jamaah yang hadir diperbolehkan untuk tidak setuju bahkan bertentangan dengan pendapat pemateri di panggung setiap acara sinau bareng.
Mbah Nun, sebagai pencetus Maiyah, memang ditetapkan sebagai sumber nilai, tetapi tidak sebagai Imam Besar atau tokoh sentral dI mana jamaah harus tunduk secara feodalistis. Setiap orang per orang Maiyah atau yang beririsan dengan Maiyah boleh secara bebas merumuskan apa yang didapat dari setiap diskusi. Mbah Nun secara lugas menempatkan diri sebagai wong angon; yang menggembalakan.
‘Keluwesan’ Maiyah yang bahkan lebih radikal dari SI (karena tidak terdapat AD/ART) dapat dipandang sebagai kelebihan ataupun koreksi. Sebagai fakta, simpul Maiyah yang tersebar di beberapa penjuru Indonesia bertahan bahkan lebih dari dua dekade. Maiyah yang bersifat cair akan mudah menyesuaikan ruang bahkan menemukan ruang. Bentrokan yang mungkin terjadi akan tereduksi skalanya karena pagar AD/ART tidak ada, sehingga sulit untuk mengatakan siapa melanggar apa. Berbeda dengan SI yang bahkan ketika “Jang Oetama” masih tegak berdiri di tengah SI, perpecahan tetap tidak dapat dielakkan.
Tetapi hal tersebut (minimnya bentrok pemikiran) juga dapat menjadi indikasi sebaliknya. Apakah kita benar hanya tunduk pada satu sumber nilai Maiyah yaitu Mbah Nun itu sendiri? Ataukah sebaliknya, fenomena ini justru lahir dari sudah dewasa dan bijaknya jamaah Maiyah yang mampu menerima segala ruang eksplorasi ilmu dan mengendapkannya sebagai alternatif nilai lain? Jawaban pertanyaan ini sebenarnya dapat dijawab pada masa Maiyah hari ini, dimana Mbah Nun ‘beristirahat’ dalam perhelatan diskusi Maiyah. Jika jamaah Maiyah masih gamang menentukan saripati ilmu dan nilai, atau bahkan gamang menentukan tema pembelajarannya, maka bisa saja jamaah Maiyah masih terjebak pada kondisi pertanyaan pertama.
11 tahun sejak SI didaftarkan hingga berpecah dan meredup, dan Maiyah membuktikan ‘efektivitas’ pilihan ‘bentuk’ organisasinya sehingga bertahan lebih 20 tahun. Tetapi Maiyah juga harus siap dengan konsekuensi bentuk organisasi ini. Kesiapan untuk membesar bukan sebagai entitas wujud organisasi, tetapi dalam bentuk sublimasi pikiran dan nilai di masing-masih jamaahnya. Maiyah membesar dengan merasuk dalam pribadi manusia (Jisim) dan Maiyah sebagai nilai (dzat dan sifat).
Maiyah Dalam Irisan Nilai Nahdhatul Ulama (NU)
Sebagai yang juga mengusung nilai dan budaya Islam (sholawat, tawashshul, wirid), Maiyah memiliki kemiripan dengan nilai budaya NU. Kita tentu tidak mendebatkan aspek kultural dalam bentuk ritus tersebut, tetapi Maiyah mempunyai pendekatan berbeda dalam bentuk edukasi. Jika dalam beberapa warna pendidikan di pesantren NU, wedhar seorang kyai dapat diposisikan sebagai sabda pandhita ratu sebagai bentuk ta’dhim santri kepada kyai. Meskipun dalam dinamika penyampaian ilmu yang lain, seringkali terdapat perdebatan dalam batsul masail yang menunjukan keterbukaan ilmu.
Di dalam NU, tidak didapati pola yang sama antar pesantren. Ini erat kaitannya dengan lokalitas pengaruh kyai di masing-masing pesantren. Bahkan di dalam NU sendiri, sangat wajar sebenarnya untuk berbeda pendapat dalam skala nasional. Konstelasi PBNU, Syuriyah, Tanfidziyah, dan Masyarakat kultural NU tidak lantas diterjemahkan sebagai garis lurus komando. Dalam hal politik juga NU dapat berpecah antara PPP dan PKB. Belum lagi kecenderungan pilihan PBNU di peta politik tidak berarti 100% pemilih dari warga NU menyatakan kecenderungan yang sama.
Bertahan dari sejak didirikan tahun 1926 dan menjelma sebagai jam’iyah Islamiyah terbesar di Indonesia membuktikan ketahanan bentuk organisasi NU. Sebagai sebuah probabilitas, salah satu metode resiliensi NU adalah dinamika feodalisme-egalitarianisme dalam internal pengelolaan pesantren. Terdengar kontradiktif memang, tetapi feodalisme yang dimaksud bukan feodalisme totalitarian yang mengharuskan ketundukan tanpa alasan. Feodalisme yang dimaksud lebih sebagai bentuk penghormatan kepada guru, meskipun seringkali dipandang berlebihan oleh kelompok terdidik dengan gaya liberalisme barat.
Feodalisme pesantren umumnya tidak menutup koreksi terhadap ilmu pengetahuan. Feodalisme ini justru dapat difungsikan untuk menjaga “pengaruh” pesantren kepada santri sehingga basis massa di lingkungan internal terjaga. Pola ‘desentralisasi’ sebagaimana NU yang memang awalnya dijadikan perkumpulan ulama atau kyai di Indonesia, menempatkan pesantren dalam ruang egaliter yang sama.
Maiyah sama dalam hal ini. Simpul Maiyah diletakkan sebagai “pesantren” yang setara. Meskipun dikenal simpul senior seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, juga Semarang, tetapi hakikatnya simpul memiliki tingkatan yang sama. Maiyah dapat mengadopsi sistem ‘desentralisasi’ ala pesantren sebagai alternatif yang terbukti resilient hingga melewati satu abad. Tentu dengan catatan, 1) budaya ilmu yang dijaga, 2) melahirkan tokoh-tokoh internal simpul yang kredibel. Jika dua syarat ini dipenuhi, Maiyah telah menjamin regenerasi ke-tokoh-annya. Ini juga senada dengan menempatkan Mbah Nun sebagai role model yang sangat ‘kejam’ dan disipilin ke dalam dirinya sendiri dalam laku keilmuan.
Maiyah Dalam Irisan Nilai Muhammadiyah (MU)
Lebih tua dari NU, Muhammadiyah lahir pada tahun 1912 bersamaan tahun ketika SDI berubah menjadi SI. Keunikan dari Muhammadiyah adalah bentuk sarikat organisasi yang benar-benar disetia-i. Ini tidak hanya menjadi jargon mengatasnamakan sarikat, tetapi dalam eksekusi kegiatan bahkan amal usahanya, Muhammadiyah tetap mengedepankan sarikat. Dalam hal transparansi, bentuk sarikat memiliki kelebihan dengan mereduksi kemungkinan adanya penyimpangan dana. Lewat badan amal usaha Muhammadiyah, saat ini asset yang dimiliki MU diperkirakan mencapai 400 triliun dan terus berkembang. Wajah Muhammadiyah menjadi representasi pengelolaan dana ummat mandiri yang berkelanjutan.
Dalam pendidikan, MU menggabungkan modernitas sains dan pendidikan elementer Islam. Berbeda dengan NU yang lebih menitikberatkan pada pendidikan Islam. Meskipun juga terdapat pesantren Muhammadiyah di beberapa tempat. Jika melihat dari tulisan yang pernah ditulis oleh Mbah Nun dengan judul “Jam’iyah Pengusaha Sorga”, Jam’iyah Muhammadiyah harus diakui beberapa langkah lebih menepati tulisan tersebut. Amal usaha Muhammadiyah menghasilkan perputaran modal dan digunakan untuk kemashlahatan umat.
Muhammadiyah sangat egaliter dalam pengelolaan organisasi-nya. Meskipun Muhammadiyah memiliki AD/ART dan kurikulum ke-Muhammadiyah-an dalam Lembaga pendidikannya, Muhammadiyah tetap membuka ruang diskusi seperti yang terlihat dalam Majelis Tarjih-nya. Selain itu dominasi ke-tokoh-an dalam Muhammadiyah minim. Bentuk sarikat dan kejelasan tujuan Muhammadiyah, membuat orang Muhammadiyah lebur di dalam visi misi itu.
Saripati Nilai untuk Maiyah
Berkaca dari apa yang ditulis sebelumnya, penulis ingin menyajikan rangkuman yang mungkin akan bermanfaat ke depan bagi Jam’iyatul Maiyah. Saripati itu adalah :
- Egalitarianisme Ilmu.
Maiyah harus melanjutkan wahana sinau bareng dan diskusi dalam bentuk yang egaliter. Prasarat egalitarianisme adalah ‘kesamarataan’ dalam ilmu. Tidak kemudian kesamarataan bermaksud secara eksklusif yang berhak berdiskusi adalah yang berilmu setara, tetapi justru kesamarataan yang dimaksud adalah dinamika beri-terima ilmu antara internal Maiyah ataupun Maiyah dengan entitas organisasi lain. Diharapkan mereka yang mengatasnamakan orang Maiyah harus kuat dengan tirakat ilmu seperti yang dilakukan Mbah Nun. Untuk senantiasa melakukan upgrade ilmu pengetahuan, kapanpun, dimanapun, dan oleh siapapun.
- Kemandirian Simpul.
Simpul yang mandiri bukan berarti tidak memerlukan simpul lain. Tetapi justru sebaliknya, semakin mandiri simpul, semakin akan mudah membantu simpul yang lain. Ini seperti afdeling SI yang diharapkan mandiri dengan corak masing-masing. Kemandirian simpul melingkupi a) kemandirian untuk melakukan pendidikan secara sistematis terkait dengan cara dan kemampuan berpikir yang sesuai dengan nilai Maiyah. Diskusi, workshop, pelatihan, sudah seharusnya rutin digelar dengan tema dan materi khusus secara mendalam di luar acara rutinan bulanan, b) kemandirian untuk menjalin kerjasama di luar simpul maiyah (inklusivitas). Juga dalam rangka meningkatkan kepercayaan kepada Maiyah, maka ilmu maiyah juga selayaknya “dibentrokkan” dengan cara menjalin kerjasama dalam berbagai bidang dengan entitas organisasi lain, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Dengan cara ini, ilmu Maiyah akan lebih teruji secara empiris.
- Berhati Masyarakat. Dari tiga pendahulu organisasi Islam, baik SI, NU, maupun Muhammadiyah, epicentrum gerakan nya adalah ummat dan Masyarakat. SI jelas menyebutkan berdirinya koperasi di setiap afdeling sebagai penopang ekonomi Masyarakat, NU menciptakan ekosistem kecil di setiap pesantren beserta lingkungannya, dan Muhammadiyah menciptakan amal usaha yang dinikmati baik oleh Masyarakat sekitar. Maka, Masyarakat juga seharusnya menjadi inti dari Maiyah. Tidak mesti menitikberatkan pada ekonomi, Maiyah dapat mengambil peran yang beragam sesuai dengan kebutuhan di Masyarakat. Oleh sebab itu, sebaiknya, Simpul Maiyah punya pemetaan yang jelas, terstruktur, dan sistematis terhadap masalah yang ada pada masing-masing simpul. Bisa jadi Maiyah berperan dalam advokasi lapangan atau minimalnya menuliskan permasalahan sebagai corong Masyarakat, atau simpul maiyah bisa menjadi resolusi masalah sebagai konsultan teknis dalam hal tempat tinggal, sampah, atau transportasi, atau Maiyah mengambil peran dalam pendidikan non formal yang bisa diakses secara inklusif bagi siapa saja, atau peran-peran lain yang memungkinkan secara kapasitas dilakukan oleh simpul Maiyah.
Paling tidak, kepada diri, kita wajib bertanya, siapkah kita menjalankan Maiyah dengan segala pilihan bentuknya? Sanggupkah kita men-tirakat-I dengan secara kejam berdisiplin dalam upaya peningkatan kapasitas diri sendiri seperti yang dilakukan Mbah Nun selama ini? Atau minimalnya, siapkah kita berlatih memetakan masalah diri sendiri sebelum mempersiapkan diri memetakan masalah Masyarakat sekitar kita? Kita sendiri yang memilih jawabannya.
Yogyakarta, 5 Februari 2025