Keseimbangan yang Bikin Ora Gaduk Kuping


Pulang dari acara dengan kawan-kawan saya perawat kamar bayi, saya masih disangoni ingkung lengkap dengan ubo rampe-nya.
“Harus dibawa!” kata Ami.
“Ini Mamak bikinnya dari subuh tadi lho,”sambil menyerahkan bungkusan tas kresek yang berisi ingkung.
Saya geleng geleng kepala sambil mengucapkan terimakasih. Namun juga berpikir, kapan melahapnya. Yahh nanti pasti juga habis. Ada bala bantuan untuk mengunyah.
Saya masih kepikiran dengan teman-teman saya. Ada yang masih single tapi ada juga yang sudah mempunyai anak. Maksud saya begini, dengan nilai materi (gaji) yang mereka terima tentu harus diupayakan agar dengan nilai rupiah senilai UMR itu cukup untuk hidup sehari-hari dengan layak? Mestinya (harus) bisa hidup layak, bagaimanapun caranya.
Entah dengan berusaha sampingan, atau suami mereka yang harus bekerja, atau kalau single parent atau masih lajang, harus bisa melakukan pembatasan-pembatasan. Bahasa yang keren sekarang adalah efisiensi!
Tetapi rupanya kata ‘efisiensi’ zaman sekarang sudah mengalami pembelokan makna. Menurut beberapa kamus makna efisiensi adalah: kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan tepat, tanpa membuang waktu, tenaga, dan biaya. Efisiensi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai hasil maksimal dengan menggunakan sumber daya minimal. Artinya kan budgetnya segitu ya cukup cukupkanlah.
Yang terjadi sekarang adalah budget cut. Yang semula sudah dihitung anggaran untuk sebulan sebesar 100 ribu, maka sekarang yang akan diterima hanya 60 ribu, dibilang demi efisiensi.
Namun toh teman-teman saya tadi senang senang saja hidupnya. Mereka juga bisa ketawa-ketawa. Guyon. Bersenda gurau. Sehat-sehat selalu, jarang sakit. Artinya mereka bisa menjalani dengan balance. Dengan simbang! Hidup seimbang berarti mampu mengelola berbagai aspek kehidupan dengan bijak, bukan berarti tanpa masalah lho, tetapi mempunyai kemampuan menciptakan kedamaian dan bahagia, serta mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Islam mengajarkan agar pemeluknya bisa menjalankan kegiatan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain secukupnya, tanpa berlebihan. Agar hidup ini seimbang.
Saya teringat kata-kata Cak Nun pada suatu saat, “Yen kowe seneng, ojo seneng banget! Ning yen susah yo ojo susah banget!” Pada lain kesempatan Cak Nun bilang, “wareg kuwi apik, ning yen kewaregen kuwi ora apik! Ngelih kuwi apik, ning yen kaliren kuwi ora apik.”
Nasihat Cak Nun ini mengandung makna bahwa menjalani hidup hendaknya sederhana, secukupnya, dan jangan berlebihan, dan ini sekaligus terkandung makna bahwa kita mampu menjalani hidup dengan keseimbangan.
Tentang keseimbangan ini, atau makna seimbang, tengah, moderat, Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 143 menuturkan:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikianlah Kami menjadikan kamu (umat Islam), umat yang moderat (wasat), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.”
Konsep wasatiyyah ini menegaskan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang seimbang antara urusan dunia dan akhirat. Seimbang antara kenyang dan lapar.
Dalam menjaga keseimbangan hidup, Islam juga mengajarkan untuk memperlakukan tubuh kita dengan baik, menjaga kesehatan tubuh, dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan waktu istirahat, psikis, emosi dan juga menjaga keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan dengan tidak melupakan kebutuhan akhirat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Surah Al-Qasas ayat 77)
Namun dalam hal keseimbangan keuangan pada teman-teman saya tadi, saya masih belum bisa ‘gaduk kuping’ saya untuk mencerna bagaimana mereka mengelolanya. Toh mereka bisa juga ketawa-ketawa, di tengah ketidakpastian masa depan mereka.
Ramadhan 16, 1446 H.