CakNun.com

Keprihatinan Hati Lik Plenthi

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Rifky Nur Setyadi on Unsplash

Lik Plenthi tiba-tiba duduk di samping saya di tengah-tengah saya sedang membenahi ketikan saya sebelum saya setorkan.

“Mas dokter, nampaknya kok sangat asik,” sapa Plenthi.

Saya menengok sambil menjawab, “Nggak kok Lik, ini sedang merapikan tulisan saja. Kok tumben nongol, beberapa hari nggak kelihatan. Sibuk bukber ya, Lik?’ saya asal tanya.

“Oalah Mas, itulah kata yang menjadikan aku galau,” sahut Lik Plenthi.

“Hahaha… Bahasa Sampeyan kok kaya bahasa anak gaul lho Lik. Lha bukber kok galau,” sahut saya sambil menutup laptop.

“Gini Mas Dokter,” Lik Plenthi macak serius sambil sedikit menggeser tempat duduknya.

“Aku sama sekali nggak keberatan dengan yang namanya bukber, makber maupun sahber…. Sama sekali tidak!”

“Apa lagi sih istilahmu Lik?” Potong saya.

“Buka bersama, makan bersama, dan sahur bersama…,” jawab Plenthi.

Saya ngekek se-ngekek-nya mendengar istilah-istilah tersebut.

“Lho saya serius ini, Mas Dokter!” jawab lik Plenthi sedikit memekik sambil mendekat ke tempat duduk saya.

“Lho sabar, Lik, apakah dikira saya tidak serius mendengarkannya? Iya, lik Plenthi tidak berkeberatan, lalu apa pasalnya?” tanya saya.

Lik Plenthi, diam agak lama, menatap saya dan akhirnya berucap.

“Tapi… Jangan ngajak saya, jangan undang saya!”

Saya tersentak dengan jawaban itu. Lik Plenthi adalah sosok yang nomaden, tak punya keluarga, tak punya pekerjaan. Hidupnya bergantung dari bekerja pada orang-orang yang mempunyai hajatan, dengan membantu kerja serabutan, dan dia dapat penghasilan dari situ. Jadi sungguh saya heran kalau Lik Plenthi berucap seperti itu.

Saya agak lama mencerna kata-kata Lik Plenthi. Namun tak memperoleh jawaban yang pas, maka saya bertanya, “Bukankah kalau ada undangan wajib menghadirinya, Lik?”

Saya sebenarnya mau bilang bahwa undangan itu adalah bentuk apresiasi, bentuk cinta dan kasih kepada Lik Plenthi. Tetapi kata-kata itu tak keluar dari kerongkongan saya.

“Itulah Mas Dokter yang membuat saya galau….”

“Memang kenapa kok galau?” saya menyelidik.

“Bagaimana tidak galau saya tahu kalau menghadiri undangan itu wajib, bersilaturahmi, ketemu kawan, tetangga dan saudara. Tapi undangan di acara itu membuat saya sekaligus tersinggung!” jawab Lik Plenthi dengan nada meninggi.

‘Waduhhh saya nggak mudeng Lik. Bener-bener nggak paham,” jawab saya.

Di lincak ini suasana menjadi hening. Saya benar-benar nggak paham dengan apa yang dikatakan Lik Plenthi ini. Diundang, diajak, dan ditraktir kok tersinggung. Benar-benar tak paham saya.

“Mas Dokter, saya juga lebih nggak paham!” tiba-tiba Lik Plenthi bergumam.

Saya hanya diam. Karena memang saya tambah nggak paham dengan ucapan-ucapan lik Plenthi yang kayak orang ndleming. Saya tunggu saja apa lanjutannya.

Lha wong undangan itu dimaknai sebagai suatu bentuk untuk menghargai, memuliakan dan mencoba untuk membahagiakan. Sehingga tak perlu Lik Plenthi repot-repot menyiapkan hidangan berbuka. Tetapi malah nggak mau diundang. Aneh kan? Saya membandingkan bagaimana banyak kawan lingkungan kantor yang sudah menagih untuk diundang diajak bukber. Ada Agus, yang kemarin ketemu sudah nagih.

“Kapan ini, Dok?’ Dan Nadia yang ber-WA di group menanyakan hal yang sama.

‘Gini lho Mas Dokter…,” lanjut Lik Plenthi.

Saya beringsut dan serius menyimak.

“Di tengah kondisi seperti ini kok ya masih bisa-bisanya mengadakan acara makan makan yang bayarannya cukup mahal. Mas Dokter tahu nggak kalau satu orang makan di acara bukber itu senilai 5 orang makan di warungnya Lik Sarji, itu pun sak puasnya.”

“Katanya orang-orang pintar kita sedang efisiensi. Aku tak paham dengan kata itu, setahuku kita disuruh ngirit, lha kok malah berpesta?”

“Itu yang membuat saya tidak tega untuk ngemplok makanan di situ.”

“Minggu lalu dalam acara bukber dari Kalurahan, saya tanya ke kateringnya tentang biaya per orangnya, jadi saya tahu.”

“Pas saya mau ambil makanan kok saya ingat anak-anaknya Wahono yang terpaksa tak bisa melanjutkan sekolahnya karena tak punya biaya. Wahono ndilalah di-PHK dari pabrik textil tempat dia bekerja, karena pabriknya bangkrut!” lanjut Lik Plenthi.

“Saya tak jadi ambil makanan, lalu saya mlipir pulang,” lanjut lik Plenthi.

’Yang membuat saya tersinggung adalah undangan itu menghina harkat dan martabat saya sebagai orang miskin. Dikira saya tersiksa dengan kemiskinan ini? Dikira saya menderita? Dikira saya bersedih?”

“Sama Sekali tidak! Saya menghayati, saya menikmati sebagai orang miskin!”

Saya masih terdiam sambil termangu-mangu dan memandang Lik Plenthi dengan seksama.

“Mas Dokter, tahukah sebenarnya apa yang sedang aku lakukan ini. Aku sedang mencoba menghayati laparnya Rasulullah, yang terpaksa mengganjal perutnya karena tidak ada makanan yang dimakannya.”

“Aku mencoba menghayati dan mencontoh, walaupun aku sadar bahwa aku jauh, bahkan sangat jauh dari kesempurnaan Rasulullah cintaku.”

“Maka jangan sekalipun mengundang lagi di acara-acara semacam itu,” kata lik Plenthi, sambil ngeloyor pergi.

Saya diam membisu.

17-21 Ramadhan 1446 H

Lainnya

Topik