Indonesia Kini: Persiapan Tinggal Landas atau Kandas?


BRICS dan segenap ambisinya
Pemerintahan Presiden Indonesia terpilih yang menginginkan pertumbuhan ekonomi menyentuh angka 8%, rupanya membawa konsekuensi dalam menentukan metode dan strategi pemerintahan. Tak hanya berkutat tentang masalah ekonomi, permasalahan stabilitas negara rupanya juga cukup dipandang oleh pemerintah, khususnya terkait dengan geopolitik. Masuknya Indonesia ke BRICS adalah sebuah langkah geopolitik awal yang diambil oleh Presiden.
Selain mewakili 45% penduduk dunia, BRICS juga mewakili 28% output perekonomian dunia dan 47% minyak mentah global. Kapasitas ini berpengaruh juga pada peta distribusi barang dan produksi. Tiongkok yang muncul sebagai pemain utama dalam perdagangan dunia, akan masih berkonsentrasi dengan proyek ambisiusnya yang bernama Belt Road Initiative (BRI). Proyek ini ingin menggabungkan jalur distribusi perekonomian antara Asia, Afrika, dan Eropa dengan Tiongkok sebagai sentra produksi.
Tiongkok memperkuat infrastruktur BRI dengan melakukan investasi terutama di belahan dunia Afrika. Afrika yang selama ini dapat dilihat sebagai benua filantropi dimana pihak Barat menjadikan Afrika sebagai belahan dunia yang hanya mampu menerima sumbangan dari kapitalis Barat (meskipun kapitalis sendiri bertindak sebagai borderless citizen). Selain itu, Afrika juga dipandang sebagai tempat dimana senjata biologis dapat diujicobakan, serta konflik antar penduduk yang dipelihara atas nama demokrasi.
Masuknya Tiongkok sebagai investor dipandang sebagai angin baru bagi perubahan ekonomi Afrika. Tiongkok diharapkan dapat menekan hegemoni Amerika di Afrika yang begitu kuat. Meskipun bagi Tiongkok, aliran dana yang diinvestasikan bukan hanya berfungsi sebagai kerjasama ekonomi. Lebih dari itu, investasi Tiongkok digunakan sebagai reinforcement pengaruh geopolitik disana. Tiongkok fokus dalam pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan untuk dapat menguasai sumber daya alam di Afrika sekaligus mempertegas pengaruh ekonomi Tiongkok atas Amerika di benua Afrika.
Bergabungnya Thailand dan Malaysia sebagai mitra BRICS juga menarik. Melihat Singapura sebagai kawan baik dari Amerika dan menguasai jalur perdagangan di belahan Asia Pasifik, tidak akan menutup kemungkinan Tiongkok melakukan “gangguan” dengan membangun terusan di Thailand untuk memutus jalur perdagangan di Singapura.
Indonesia yang resmi bergabung dengan BRICS tahun lalu, rupanya memandang BRICS sebagai “penjamin keamanan” di Kawasan Pasifik. Melihat peta pengaruh di Kawasan Pasifik, dimana Austalia, Filiphina, Jepang, dan Singapura berafiliasi kepada Amerika dan sekutu, Indonesia yang bergabung dengan BRICS akan membuat “sandwich system”, dimana Indonesia akan menjadi layer pertahanan bersama Tiongkok, Thailand, dan Malaysia. Posisi Sandwich akan membuat pertahanan menjadi seimbang, dimana jika terjadi permasalahan keamanan, maka pilihannya menjadi dua: Sekutu diapit BRICS, atau BRICS diapit sekutu.
Keadaan “saling mengancam” ini justru membuat peperangan fisik akan dapat dihindari karena kemungkinan konsekuensi yang masif jika terjadi. “kestabilan” geopolitik ini akan memberikan Indonesia waktu untuk memperbaiki ekonomi dalam negeri.
Posisi Indonesia dan Mental Nusantara
Alasan kestabilan geopolitik itulah yang mungkin diambil sebagai referensi untuk pemerintah sekarang bergabung dengan BRICS. Indonesia seharusnya bisa menempatkan nilai tawar yang lebih setelah bergabung dengan BRICS. Meskipun etika adalah hal yang langka dalam perekonomian multilateral, tetapi Indonesia dapat menganggap Tiongkok sebagai “kakak” dan melakukan re-negoisasi dalam kerjasama ekonomi.
Re-negoisasi itu dapat berupa re-strukturisasi hutang dari Tiongkok dan memperbaiki sistem pengelolaan mineral yang dilakukan pengusaha Tiongkok di Indonesia. Kita mengetahui bagaimana Tiongkok secara ambisius juga ingin menguasai bahan baku nikel untuk industri baterai di dunia sehingga mengharuskan untuk melakukan kerjasama usaha penambangan di Sulawesi. Akan tetapi, seringkali usaha pertambangan ini memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan sosial. Dengan bergabungnya Indonesia dalam BRICS, re-negoisasi itu dapat dilakukan atas asas kesetaraan dan kesepamahan politik wilayah dengan Tiongkok.
Menjembatani percepatan ekonomi di Indonesia, sekaligus untuk mengantisipasi gertakan dari pihak Amerika dengan menarik modal Kembali ke negaranya, Indonesia juga mengusulkan terbentuknya Danantara. Sebuah holding company untuk mengakusisi aset dari beberapa BUMN dan menggunakan keuntungannya untuk melakukan investasi di Indonesia. Dengan Danantara, Pemerintah Indonesia sedang menghimpun Domestic Direct Investment (DDI) sebagai alternatif investasi mengingat lesunya Foreign Direct Investment (FDI) akibat pilihan geopolitik Indonesia.
Pilihan pembuatan Danantara sebenarnya tepat dengan catatan. Aktivasi DDI dalam pola investasi di Indonesia justru akan meningkatkan nilai aset BUMN, di sisi lain alternatif pembiayaan pembangunan juga tetap berjalan. Tetapi beberapa catatan tetap harus diletakkan agar pembentukan Danantara menjadi lebih efektif dan tidak berbalik arah sebagai bumerang bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jegalan Kaki Sendiri
Beberapa catatan bagi Indonesia, khususnya Danantara antara lain adalah 1) pengawasan Danantara haruslah menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat. Dengan nilai aset mencapai US$ 900 trilliun, Danantara adalah sebuah wadah besar yang harus bisa dipastikan ketiadaan kebocorannya. Pemerintah Indonesia masih mempunyai catatan buruk terkait pengelolaan uang negara. Kasus timah yang mencapai 271 triliun rupiah salah satunya. Danantara harus mempunyai mekanisme pelaporan cashflow yang dapat diakses oleh publik. Mengandalkan KPK sebagai bagian auditor dapat sebagai jalan keluar, tetapi bahkan KPK pun tidak diberikan akses untuk melakukan pengawasan Danantara. Belum lagi KPK juga sama memiliki catatan buruk akibat kurangnya integritas pimpinannya.
Laporan publik tahunan yang terbuka masih diharapkan untuk masyarakat dapat ikut andil dalam melihat perjalanan Danantara. 2) Pembangunan pada sektor strategis dan produktif. Danantara harus dapat difungsikan sebagai investasi pembangunan yang memberikan economic revenue yang dapat dirasakan masyarakat. Bukan lagi berfikir tentang financial gain yang semata dinikmati pihak elitis, Danantara harus menjadi penyambung uang negara kepada kepentingan rakyat.
3) Pemberhentiaan program non-strategis. Danantara harus tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan non-strategis seperti program makan bergizi gratis (MBG) yang menghabiskan anggaran mencapai 400 triliun rupiah per tahun atau IKN yang dampak ekonomi langsung maupun tidak langsung-nya minim. Penggelontoran 400 triliun, alih-alih digunakan untuk MBG, dapat difungsikan untuk pembangunan infrastuktur strategis lain seperti pembangunan jalur kereta di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Dengan asumsi pembiayaan pembangunan kereta baru adalah 30 milliar rupiah per km, maka akan terdapat lebih 13 ribu km jaringan kereta. Dana tersebut juga dapat berarti pembangunan pembangkit listrik baru yang akan berdampak langsung kepada ekonomi masyarakat.
Danantara, BRICS, dan segenap keputusan strategis Indonesia akan terserimpung kaki sendiri jika pengelolaan anggaran masih carut-marut dan ditunggangi kepentingan pribadi. Belum lagi jika kepentingan itu adalah tentang tawan-menawan politik yang tak kunjung usai. Tahun-tahun depan seperti menjadi pertaruhan bagi bangsa Indonesia. Apakah kita akan mulai lepas landas dan terbang, atau semakin terperosok ke lubang yang makin dalam.