Estafet Syukur: Merayakan Syukur dengan Kesungguhan dan Kasih Sayang


Kepuasan Publik, Tantangan Ekonomi, dan Estafet Syukur: Refleksi atas Pemerintahan dan Kesejahteraan
Menurut Hensa, tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Prabowo mencapai 80%, sementara hasil survei Kedai Kopi sebesar 72%. Meski demikian, masih terdapat 28% masyarakat yang merasa tidak puas, terutama karena perilaku beberapa pejabat yang dianggap kurang mencerminkan kepentingan rakyat. Masyarakat kelas menengah bawah tetap mendukung Jokowi berkat berbagai bantuan sosial yang mempererat hubungan pemerintah dengan rakyat.
Gerakan “Adili Jokowi” kurang mendapatkan dukungan luas karena adanya kesepakatan elite politik serta tingginya tingkat penerimaan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi. Prabowo dinilai telah belajar dari strategi Jokowi dalam membangun kedekatan dengan masyarakat. Meskipun pertumbuhan ekonomi terlihat positif, dampaknya justru dirasakan menyulitkan rakyat. Hendry mengutip laporan Kompas yang menunjukkan bahwa kekayaan oligarki semakin meningkat, sementara kelas menengah semakin tergerus ke garis kemiskinan. Hal ini menjadi indikasi nyata dari ketimpangan ekonomi yang semakin melebar.
Dalam konteks tema “Estafet Bersyukur”, Hensa mengajak Jamaah untuk tidak hanya bersyukur secara pasif, tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk melakukan perubahan. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah, namun acap kali kurang dimanfaatkan secara optimal karena sikap pasrah dan kurangnya inisiatif. “Bersyukur harus diiringi dengan usaha untuk menjadi lebih baik,” ujar Hensa, menyoroti kebiasaan masyarakat yang cenderung cepat puas dengan bantuan sosial tanpa upaya meningkatkan taraf hidup. Diskusi menekankan pentingnya kesadaran dalam menghadapi tantangan ekonomi dan pemerintahan guna mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.
Ruang Kritik dan Harapan
Tibalah pada sesi akhir yang berisi tanya jawab Jamaah dengan Pembicara. Hadi memberi kesempatan kepada Jamaah untuk bertanya. Beberapa Jamaah menyampaikan pertanyaan mendalam yang mengangkat isu politik, sosial, dan nilai-nilai kehidupan, termasuk makna syukur dalam berbagai konteks.
Wartini dari Serang mengajukan pertanyaan kepada Hensa mengenai hubungan politik antara Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. Ia menyinggung romantisme politik yang terjalin di antara keduanya dan mempertanyakan kapan waktu yang tepat bagi Prabowo untuk melepaskan diri dari Jokowi dalam perspektif politik?
Rafi dari Cilacap mengajukan pertanyaan kepada seluruh pembicara mengenai polarisasi politik yang sering kali menghambat perubahan. Ia bertanya apakah gerakan intelektual seperti yang dilakukan Mbah Nun dapat diterapkan saat ini untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik?
Terakhir, Arnold dari Cikarang mengajukan pertanyaan kepada Nanda mengenai bagaimana menemukan rasa syukur dalam situasi keluarga yang penuh chaos serta bagaimana memaafkan orang tua. Ia juga bertanya kepada Pembicara apakah ada batasan dalam bersyukur atau apakah ada yang disebut “terlalu bersyukur”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut disambut hangat oleh semua pembicara. Ruang dialog yang penuh tawa dan kegembiraan pada sesi ini adalah bukti bahwa kebersamaan dalam lindungan kasih dan sayang akan mengaktifkan energi positif. Sahut-sahutan antara Hensa dan David mewarnai akhir perjumpaan malam itu. Banyak momen yang tak dapat digambarkan untuk dalam bentuk tulisan reportase. Ada momen yang mesti dialami, diasyiki, dan dirasakan langsung.
Seiring berjalannya malam, Kenduri Cinta semakin terasa sebagai ruang yang tidak hanya memberikan pencerahan intelektual dan spiritual, tetapi juga sebagai ajang kebersamaan. Suasana tetap hangat dan penuh semangat. pengingat bahwa syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi, mengapresiasi, dan meneruskan nilai-nilai baik dalam kehidupan. Sebuah malam yang penuh hikmah, tawa, dan kebersamaan.

Mendekati pukul tiga, Kenduri Cinta edisi Februari 2025 mencapai ujungnya. Indal Qiyam dan Shohibu Baiti mengalun pelan, seperti irama perpisahan yang telah dihafal waktu. Wajah-wajah yang hadir tak sekadar mencerminkan kelelahan malam, tetapi juga kesungguhan—sebuah isyarat bahwa pertemuan ini bukan hanya jeda, melainkan rumah bagi mereka yang mencari makna.
Hadi memimpin doa, mengantarkan harapan yang menguap bersama udara dini hari, menjangkau hati-hati yang mungkin datang dengan beban, luka, atau sekadar pertanyaan. Namun di sini, setidaknya untuk beberapa jam, mereka menemukan jeda—di mana pikiran dibersihkan, hati diredam. Lalu fajar merekah, dan hidup kembali berjalan seperti biasa. Tapi siapa tahu? Mungkin ada sesuatu yang tersisa, sebaris makna yang tetap tinggal di sudut jiwa, mengendap dalam sunyi, menunggu saatnya untuk kembali dipahami.
(RedKC/Ansa)