Estafet Syukur: Merayakan Syukur dengan Kesungguhan dan Kasih Sayang


Syukur dan Peradaban
Karim dan Mizani kemudian meminta Pram berbagi khazanah pengetahuannya kepada Jamaah. Pram menyoroti bahwa sejak zaman VOC, praktik jual beli jabatan dan korupsi telah terjadi. Narasi yang dibangun oleh penjajah sering kali membuat kita merasa inferior. Padahal, dalam perspektif Islam, manusia adalah ciptaan yang istimewa karena Allah sendiri meniupkan ruh ke dalam dirinya. Bahkan malaikat pun diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Islam, ketika datang ke Jawa, menemukan keselarasan yang sempurna seperti tutup bertemu botol.
Dalam konteks pemikiran kritis, Pram memperkenalkan konsep atrofi—penyusutan otot akibat tidak digunakan. Begitu pula dengan otak, yang akan menyusut jika tidak digunakan untuk berpikir. Maiyah menjadi wadah yang mencegah atrofi pemikiran melalui dialektika dan pertukaran gagasan. Bersyukur sebenarnya semudah mengubah sudut pandang. Algoritma media sosial juga mencerminkan cara kita memaknai hidup. Reel, short, atau konten serupa adalah cerminan dari apa yang kita konsumsi setiap hari, yang dapat menjadi alat evaluasi untuk mengukur seberapa bersyukur kita.
Nanda menambahkan perspektif tentang beban dalam kehidupan. Penyusutan otot dalam kondisi tanpa gravitasi menunjukkan bahwa beban diperlukan agar kita tetap berkembang. Kendala yang ada dalam hidup justru merupakan alat yang mengembalikan manusia pada fitrahnya. Allah telah membebankan segala sesuatu dengan adil, dan syukur adalah kunci untuk memaknainya.
Isra’ Mi’raj dan Syukur sebagai Misi Kenabian
Pertanyaan sisipan diberikan Mizani kepada Nanda mengenai Isra’ Mi’raj yang belum lama kita sama-sama rayakan. Nanda menyampaikan Isra’ Mi’raj adalah perjalanan horizontal (Isra’) dan vertikal (Mi’raj) yang dilakukan Nabi Muhammad. Dalam peristiwa ini, Rasulullah mengimami para nabi sebagai tanda kepemimpinan spiritual tertinggi. Perjalanan ini tidak hanya tentang kenaikan fisik, tetapi juga membuka jalur komunikasi antara langit dan bumi hingga hari kiamat. Malaikat Jibril pun tidak mampu menemani Nabi dalam tahap akhir perjalanan ini, menunjukkan keagungan pengalaman tersebut. Nanda menyampaikan bahwa adanya keterikatan yang tidak kebetulan antara jumlah ayat Al-Fatihah dan tujuh langit peristiwa Isra’ Mi’raj yang sama-sama berjumlah tujuh.
Nabi Muhammad bertemu dengan para nabi di setiap langit:
- Langit pertama: Nabi Adam, yang diajari langsung oleh Allah.
- Langit kedua: Nabi Isa, yang hingga kini pengikutnya masih mengucapkan “Haleluya”, mirip dengan “Alhamdulillah”.
- Langit ketiga: Nabi Yusuf, simbol setengah kebaikan berupa ketampanan.
- Langit keempat: Nabi Idris, yang telah menyaksikan kiamat sebelum terjadi.
- Langit kelima: Nabi Harun, juru bicara Nabi Musa.
- Langit keenam: Nabi Musa, yang ingin menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad.
- Langit ketujuh: Nabi Ibrahim, yang bukan bagian dari golongan yang dimurkai (maghdlub) maupun sesat (dzaallin).
Namun, di manakah Nabi Muhammad? Beliau memiliki keleluasaan untuk naik dan turun sesuka hatinya. Karim menutup sesi pertama dengan mengajak para jamaah untuk menjadikan “Muhammadkan Hamba” sebagai pekerjaan rumah (PR) bersama, sebuah tantangan untuk terus menggali makna syukur lebih dalam. Sejatinya, syukur adalah bentuk penghambaan yang paling tinggi, sebuah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
***

Semakin malam, antusiasme jamaah justru kian memuncak. Usai sesi pertama, semakin banyak orang berdatangan, memenuhi forum dengan semangat yang tak surut. Suasana semakin hangat ketika jeda diskusi diisi dengan penampilan solo yang mendalam dari Amis. Ia membawakan empat lagu penuh makna: Darurat Judi, Selamat Hari Raya Social Media, Jalan Sunyi—dengan lirik dari Mbah Nun—dan Bagaimana Jika Kristen yang Masuk Surga?. Ekspresi jamaah menggambarkan keterhanyutan dalam lirik dan melodi. Ada yang terdiam merenung, ada pula yang larut dalam kebahagiaan. Musik menjadi jembatan yang memperdalam pemaknaan syukur yang telah dibahas sebelumnya. Setelah suasana kembali tenang, forum dilanjutkan dengan penuh energi, kali ini dipandu oleh Fahmi dan Hadi sebagai moderator. Diskusi kembali mengalir, membawa jamaah ke dalam perenungan yang lebih dalam. Hadi dan Fahmi menebalkan alas diskusi dan memperkenalkan Pembicara pada sesi utama: Nanda, Hendri Satrio, David Nurbianto, Boim, dan Ustad Noorshofa Thohir. Sebelum masuk sesi utama, Munawir ikut menyumbang pembacaan puisi karya Mbah Nun yang berjudul “Bimbingan Belajar Dajjal”.