Estafet Syukur: Merayakan Syukur dengan Kesungguhan dan Kasih Sayang


Jakarta, kota yang tak berjiwa, sekumpulan tanah, beton dan aspal yang berdiri tanpa dapat merubah dirinya sendiri. Tak seperti manusia yang menghuni tanahnya, makhluk paling kompleks di bumi, dengan dialektika dan dinamika yang naik-turun. Mereka menghadapi banjir, kebakaran, gempa, tsunami, dan berbagai bencana lainnya bahkan dalam dirinya sendiri. Manusia, sebagai manifestasi bumi, dengan kesadaran atau tanpa sadar, dapat meletupkan kekecewaan, kegembiraan, kekesalan, dan kekhawatiran. Dalam dinamika diri tersebut, kita perlu membersihkannya agar tetap berada dalam kondisi paling ideal. Mustahil bagi manusia untuk selalu konsisten seratus persen. Jika pun bisa, itu adalah rahmat luar biasa dari Tuhan. Inilah yang mendasari tema Kenduri Cinta Edisi 253 yang bertajuk “ESTAFET SYUKUR”.
Pada Jumat, 14 Februari 2025, Kenduri Cinta kembali digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, kali ini ada yang berbeda dengan bulan sebelumnya: forum bulanan rutin berlangsung di area terbuka Teater Kecil TIM. Ruang yang lebih intim ini segera dipenuhi oleh jamaah, mayoritas dari mereka adalah kelas pekerja yang baru saja usai dari rutinitas harian. Ada yang masih mengenakan baju kerja, beberapa lupa menyimpan lanyard yang masih menggantung di leher, sementara lainnya—mahasiswa yang menyempatkan diri di tengah kesibukan akademik—datang dengan ransel masih tersampir di punggung. Ada juga yang hadir dari luar Kota Jakarta yang sudah antusias hadir beberapa hari bahkan minggu sebelumnya. Mereka dengan latar belakang pekerjaan dan aktivitas itu, tanpa banyak basa-basi, langsung duduk bersila di lantai, larut dalam suasana yang membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk Jakarta.
Di tengah segala dinamika, rasa syukur menjadi cara untuk menemukan ketenangan. Bukan berarti pasrah, tetapi menyadari bahwa masih ada hal-hal yang patut dihargai. Syukur adalah bentuk penerimaan, yang tidak membuat kita berhenti berusaha, melainkan memberi perspektif baru dalam melihat kehidupan. Al-Qur’an mencatatnya: “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Ini adalah pengingat bahwa mensyukuri hal-hal kecil dapat membawa dampak besar bagi cara kita menjalani hidup. Syukur juga berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Dengan bersyukur, kita dapat meredakan stres, menghadapi kecemasan dengan lebih baik, serta membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain. Syukur bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita melihat dan merespons dunia di sekitar kita. Jakarta mungkin tidak banyak berubah, tetapi dalam hiruk-pikuknya, kita selalu bisa menemukan alasan untuk bersyukur. Dengan begitu, kita bisa menghadapi hidup dengan lebih tenang dan lebih siap menyongsong hari esok. Setidaknya inilah yang ada di beberaoa kepala Jamaah Maiyah malam itu yang hadir dengan banyak intensinya masing-masing.

Forum dimulai sekitar pukul 19.30 WIB dengan lantunan sholawat yang dipimpin oleh Awan, Mizani, Munawir, dan Alfa. Suara mereka menggema, membawa jamaah dalam kekhusyukan doa dan kebersamaan. Setelah itu, Karim dan Mizani mengambil alih sebagai moderator, membuka sesi pertama dengan penuh antusiasme. Karim menyampaikan ke forum bahwa setelah tiga minggu membahas tema Estafet Syukur, para penggiat Kenduri Cinta memiliki banyak sudut pandang mengenai makna syukur itu sendiri. Mizani yang juga sebagai moderator menambahkan. Hakikat syukur, sebagaimana ditemukan di Kenduri Cinta, tidak sekadar kata-kata, melainkan sebuah kesadaran mendalam yang menuntut kedaulatan diri. Untuk bisa bersyukur dengan tulus, seseorang harus berdaulat sehingga tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Bahkan, dalam sifat-Nya yang Maha Sempurna, Allah sendiri disebut sebagai Maha Bersyukur. Karim lanjut menegaskan bahwa sesi malam itu berangkat dari rasa syukur terhadap keberadaan Forum Reboan—sebuah wadah diskusi yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan Kenduri Cinta. Dalam semangat syukur yang lebih luas, malam itu juga menjadi momentum untuk mensyukuri perjalanan hampir seperempat abad Kenduri Cinta.