CakNun.com

Estafet Syukur

Mukadimah Kenduri Cinta edisi Februari 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 5 menit

Kenduri Cinta edisi bulan Februari tetap istimewa. Tidak sekadar menghadirkan berbagai khazanah peradaban dari delapan penjuru mata angin yang lebur di Bumi Nusantara, namun juga merefleksikan momentum bulan Sya’ban atau Sasi Ruwah. Bulan Arwah, kata simbah di kampung, adalah bulan yang di malam pertengahannya terdapat ‘malam pengampunan’ atau ‘malam penuh Berkat dan Rahmat’. Mengapa? Hanya Arwah yang beroleh Rahmat yang dapat menemukan Bahagia yang sejati. Kenduri Cinta, merayakan kekhidmatan itu.

Tentu saja, Kenduri Cinta sebagai bagian dari Samudera Maiyah akan terus telaten dalam niteni persambungan segala hal. Termasuk, dalam persambungan antara alam arwah dengan kita yang masih dalam alam jasadiyah. Bukankah inti dari Cinta adalah ‘persambungan’? Persambungan kali ini menginspirasi kita untuk sinau tentang Estafet dan Syukur di dalamnya, karena kedua istilah itu mewakili “ketersambungan” dan “keterhubungan” itu sendiri. Bukan lagi terbatas dalam ranah internasional belaka, namun hingga ke ranah inter-dimensional. Jasad dan Arwah.

Memang harus diakui, kata “estafet” dan “syukur” sepintas lalu terkesan tidak terkait satu sama lain. Mengapa? Barangkali karena estafet bermakna sangat Jasad alias fisik, olahraga, dan Syukur bermakna sangat Rohani, olah jiwa. Tapi sebagai kiasan, keduanya sah-sah saja jika digabungkan. Apalagi jika dimaknai estafet melambangkan serah-terima amanah secara sinambung antara generasi pendahulu yang telah mangkat ke alam arwah, ke generasi penerusnya yang masih maujud dalam jasad, dalam mengelola mayapada. Apa yang di-estafet-kan? Apa lagi jika bukan Syukur. Alias bahagia dengan anugerah yang diterima.

Dalam konteks kaum, entah itu ummat atau bangsa, Estafet Syukur menjadi penting. Karena jika estafet itu gagal atau terputus, maka generasi berikutnya mewarisi staff (asal kata estaffet yakni tongkat, atau simbol kuasa) yang bersifat Kufur alias ingkar. Ingkar pada apa? Ingkar pada anugerah yang diterima dari-Nya. Tahu sendiri bagaimana Syukur itu bagaikan revolving door yang bersifat pivotal; bisa menjadi pintu kemakmuran dari-Nya jika dilaksanakan, atau pintu murka-Nya yang ngedhab-ngedhabi jika diingkari.

Generasi pendahulu kita jelas Ahli Syukur, sejak zaman Nusantara purwa hingga modern. Buktinya? Dari satu generasi ke generasi berikutnya, kawruhan tentang Bahagia menerima limpahan Rahmat dan Karunia-Nya terus sinambung dilestarikan dan dialih-asuhkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sampai “Rahmat” itu bahkan tegas Maktubah di Muqaddimah konstitusi Nusantara 1945. “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan…”. Rekognisi atas Berkat dan Rahmat adalah ciri ke-Wali-an. Ciri ke-Waskita-an.

Lantas bagaimana dengan kita?

Di masa kini-lah pertanyaan tentang “Estafet Syukur” itu layak muncul. Apakah kita masih meng-estafet-kan Syukur itu? Atau jangan-jangan Syukur itu sebenarnya hanya tinggal kenangan yang terucap di lisan dan tertera dalam tulisan, namun sejatinya telah hilang dari jiwa kita?

Syukur itu sendiri sebenarnya sederhana. Intinya, bersikap khidmat dan menghadirkan kebahagiaan sebelum, ketika, dan setelah anugerah-Nya turun. Aplikasinya, antara lain dengan menggunakannya secara adil dan manfaat seluas-luasnya bagi sesama, sebagai persembahan terima-kasih kepada-Nya. Jadi Syukur tidak mungkin berjalan seiring dengan monopoli, korupsi, perampasan, perusakan, dan lain sebagainya.

Namun nyatanya, kini aksi-aksi kontra-Syukur itu nyata terjadi di depan mata.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah karena Nusantara adalah Tanah Air Paradoks yang juga penuh hal-hal Artifisial? Entahlah. Sebut saja misalnya, pagar di lautan. Bagi mereka yang paham konsep mare liberum dan la terre domine la mer, pasti dengan sendirinya paham bahwa konsep pagar hanya applicable di daratan. Tapi nyatanya toh di Nusantara ada yang nekad memagari laut. Ini sebuah ironi yang lucu bukan?

Padahal, dalam khazanah Hikam Ilahi, lautan di-amtsal-kan sebagai sesuatu yang mencerminkan ketidak-terbatasan kuasa dan ilmu-Nya. Jadi ketika ada orang memagari laut di Nusantara, jangan-jangan Azazil dan Dajjal justru jantungan terperangah pucat pasi, tak menduga sepak-terjang para kaki tangannya ngalah-ngalahi kaliber kenekadan mereka berdua.

Memang, dalam kekayaan kawruhan Nusantara, lautan berulangkali terbukti menjadi arah datangnya ontran-ontran yang menggegerkan tatanan Nusantara. Jangan sampai, Nusantara mengalami vicious circle dari satu VoC ke VoC lainnya, dari VoC yang Kompeni (Perusahaan) ke VoC yang Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi). Na’udzubillahi min Dzalik.

Untung saja, rakyat di Nusantara mewarisi kawruhan kewalian yang luar biasa ampuh. Antara lain, kesanggupan untuk tersenyum dan tertawa (keduanya pancaran rasa Syukur), saat ia semestinya sudah wajar untuk murka, persis sebagaimana dilukiskan Mbah Nun dalam karyanya, Kagum Kepada Orang Indonesia (Emha Ainun Nadjib, 2015). Persis memang demikianlah reaksi kawan-kawan Markesot ketika ia mengadukan temuan pandangan matanya kepada mereka. Mereka justru tertawa.

Salah-satu rekan Markesot yang bernama Markembul bahkan menimpali, bahwa itu sudah biasa. Lha wong kalimat ampuh semisal Astaghfirullah saja dikorupsi maknanya, dari yang semula kata kerja memohon ampunan kepada Gusti Allah, bergeser menjadi kata benda yang fungsinya direduksi hanya untuk melabeli hal-hal yang tidak disukai (Emha Ainun Nadjib, 1993).

Astaghfirullah disulap menjadi kata ganti bagi bocah mbeling, maling pencuri jemuran, kucing nakal serta ikan asin yang digondolnya, atau, pemangku urusan yang korup dan keajaiban-keajaiban publik yang diciptakannya. Termasuk, pagar di segara tadi.

Jadi, timpal Markonah, korupsi struktural ini bukan hanya tentang melenyapkan (atau sebaliknya, menghadirkan) pagar di tempat yang tidak semestinya, namun juga menggeser makna kalimat sehingga berubah dari hakikat asalnya, demikian simak Markesot dan Markembul sembari mengangguk prihatin. Paradigmal shift, bahasa bulenya, “dari Syukur menjadi Kufur… Akan Nikmat Anugerah-Nya…”, gumam Markonah mengimbuhi penjelasannya.

Markesot kembali mbatin, pergeseran paradigma menjadi Peradaban Kufur Nikmat inilah yang menciptakan kerugian lebih besar daripada sekadar kerugian material. Karena dalam pergeseran paradigma ini, yang terkorupsi bukan lagi sekadar harta, namun jati diri.

Karakter asli yang semula berupa semurni susu berupa cooperative society, disulap masam menjadi corruptive society. Dalam tatanan ini, segala hal menjadi jungkir-balik, karena eigen value-nya pun telah bergeser, tidak lagi pada titik setimbang idealnya.

Sambil mengepulkan asap tembakau dari kelobot tingwe-nya, Markesot menyimak suara parau dari langgar kampung nelayan itu, suara Pak Modin tua yang dengan setia menyitir Kalam Ilahi:

ظَهَرَالْفَسَادُفِىالْبَرِّوَالْبَحْرِبِمَاكَسَبَتْاَيْدِىالنَّاسِلِيُذِيْقَهُمْبَعْضَالَّذِيْعَمِلُوْالَعَلَّهُمْيَرْجِعُوْنَ

dhaharal-fasâdu fil-barri wal-baḫri bimâ kasabat aidin-nâsi liyudzîqahum ba’dlalladzî ‘amilû la’allahum yarji’ûn

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar), gumam Markesot dengan tatapan menerawang.

Pagar laut, sejatinya hanya salah-satu contoh kasus yang sudah Gusti Allah dialektika-kan di dalam firman-Nya. Gusti Allah sungguh Maha Sutradara. Termasuk ‘Demonstrasi’ Iblis dulu pun, sejatinya merupakan bagian dari drama teatrikal yang Dia susun. Pada peristiwa protes yang sekaligus membuat Azazil dimutasi menjadi Iblis tersebut (dengan kata lain, menjadi Mutant), Allah Ta’ala sesungguhnya telah mengetahui arah cerita yang akan terjadi kelak kemudian hari.

Saat ini, kita tinggal menyaksikan pertunjukan pada panggung teater akhir zaman, atas penyempurnaan peran-peran yang dilakonkan oleh aktor-aktor manusia, untuk menuntaskan satu alur cerita dari Divine Script tersebut. Boleh jadi, Iblis sang Mutant-pun kelak akan tertawa saat mengetahui maksud dari Sang Sutradara.

Satu hal yang dikhawatirkan Markesot adalah, jangan sampai nanti ada generasi di masa depan yang sampai hati mentertawakan negeri dan tanah airnya sendiri, dengan pementasan drama satire yang dibuka dengan manifesto getir seperti ini:

R E K L A M A S I …

Kami, Bangsa tak berdaya, dengan ini mencemaskan kemerdekaan Nusantara.
Hal-hal yang terkait dengan terpindahnya kekuasaan dan lain-lain…

Beberapa orang yang hadir-pun kontan semaput tak kuasa membayangkan penerawangan Markesot. Untung saja, mereka segera dibopong Jamaah Maiyah yang sregep berdatangan dari segala penjuru untuk urun rembug, tentang paradigmal shift itu.

Para sedherek sedulur Maiyah itu-pun khidmat berdiri, melepas caping, blangkon, odheng, topi, mutz, baret, helm baja, helm proyek, dan segala bentuk tutup kepala apapun, mengambil sikap sempurna, lalu bersenandung:

“Dari yakin ‘ku teguh…
Hati ikhlash ‘ku penuh…
Akan karunia-Mu…
Tanah air pusaka…
Indonesia merdeka…
Syukur aku sembahkan…
Kehadirat-Mu, Tuhan…”

Lainnya

Topik