Dari Guru Bangsa ke Pedagang Ilmu


Pada masa itu, masyarakat terbagi ke dalam tujuh kasta yang mencerminkan struktur sosial yang ketat dan hierarkis. Dalam susunan ini, kelompok meica, atau warga asing, menempati posisi kedua dari bawah, menandakan status mereka yang terbatas dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka tidak memiliki otoritas yang signifikan dan kewenangan mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik sangat dikendalikan oleh aturan yang berlaku.
Sebagai pendatang, mereka sering kali dianggap sebagai kelompok yang harus tunduk pada kebijakan penguasa lokal dan tidak memiliki hak-hak yang setara dengan kasta yang lebih tinggi. Ruang gerak mereka dibatasi, baik dalam partisipasi dalam pemerintahan maupun dalam kepemilikan aset tertentu. Dalam beberapa aspek, mereka mungkin diberikan peran dalam perdagangan atau aktivitas ekonomi lainnya, tetapi selalu berada dalam kendali yang ketat, memastikan bahwa pengaruh mereka tetap terjaga dalam batasan yang telah ditentukan oleh struktur sosial yang ada.
Ketidakmampuan mereka untuk memiliki otoritas penuh dalam berbagai aspek kehidupan mencerminkan sistem yang tidak hanya membedakan penduduk asli dan pendatang, tetapi juga menegaskan dominasi kasta-kasta yang lebih tinggi. Hal ini menciptakan tatanan masyarakat yang eksklusif, di mana hak dan kewajiban seseorang lebih banyak ditentukan oleh status kelahirannya daripada oleh kemampuan atau kontribusinya terhadap komunitas.
Dalam sistem kasta yang berlaku pada masa itu, warga asing atau meica menempati posisi yang bahkan lebih rendah daripada kasta Sudra, yang terdiri dari para pedagang. Kasta Sudra sendiri berada di tingkat keempat dari bawah dalam hierarki sosial, dengan peran utama dalam aktivitas perdagangan. Namun, meskipun mereka memiliki peran penting dalam perekonomian, mereka tetap dibatasi dalam beberapa aspek kehidupan, salah satunya adalah larangan untuk menyebarkan agama. Pembatasan ini diterapkan guna menghindari konflik kepentingan yang dapat muncul apabila seorang pedagang, yang berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat, juga memiliki pengaruh dalam penyebaran ajaran keagamaan.
Di bawah kasta Sudra, posisi warga asing semakin terpinggirkan. Dengan menduduki peringkat kedua dari bawah dalam stratifikasi sosial, otoritas mereka nyaris tidak ada. Status mereka membuat mereka sangat terbatas dalam akses terhadap hak-hak sosial, ekonomi, maupun politik. Mereka hanya diperbolehkan menjalankan kehidupan dalam ruang lingkup yang telah ditentukan oleh sistem yang berlaku, tanpa kesempatan untuk memengaruhi tatanan sosial yang ada. Kehidupan mereka dikendalikan secara ketat, dan segala bentuk partisipasi dalam kehidupan masyarakat harus selalu berada dalam pengawasan kasta-kasta yang lebih tinggi.
Kondisi ini mencerminkan betapa eksklusifnya struktur sosial yang diterapkan pada waktu itu, di mana mobilitas sosial hampir tidak mungkin terjadi bagi mereka yang berada di lapisan bawah. Dengan posisi mereka yang bahkan lebih rendah dari para pedagang yang sudah dibatasi dalam aspek keagamaan, warga asing benar-benar berada dalam kondisi yang terisolasi, tanpa banyak ruang untuk berkembang atau meningkatkan status mereka di dalam masyarakat yang sangat hierarkis tersebut.
Dalam struktur masyarakat yang sangat hierarkis pada masa itu, kasta Brahmana menduduki posisi tertinggi sebagai panutan dan guru bagi seluruh lapisan masyarakat. Mereka dianggap sebagai penjaga moral dan spiritual, memberikan bimbingan dalam hal kebijaksanaan, etika, dan nilai-nilai kehidupan. Sebagai simbol kebajikan dan pengetahuan, keberadaan mereka dijaga dengan ketat oleh negara agar tetap murni dari pengaruh duniawi yang dapat mencemari peran mereka sebagai suri teladan.
Untuk memastikan bahwa tugas mereka tetap terfokus pada pengajaran dan pembinaan moral masyarakat, para Brahmana tidak diperkenankan terlibat dalam urusan politik maupun ekonomi. Larangan ini diberlakukan guna menghindari konflik kepentingan yang dapat muncul apabila mereka memiliki kekuasaan dalam pemerintahan atau kepentingan dalam perdagangan dan industri. Negara bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan mereka, menyediakan kebutuhan hidup sehingga mereka tidak perlu mencari penghidupan di luar tugas utama mereka sebagai guru dan pemimpin spiritual.
Dengan adanya ketentuan ini, para Brahmana ditempatkan dalam posisi yang dihormati sekaligus dikendalikan. Mereka dihormati sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang harus dijunjung oleh seluruh masyarakat, tetapi pada saat yang sama, mereka juga tidak memiliki kebebasan untuk terlibat dalam urusan praktis yang dapat memengaruhi kebijakan negara. Dengan demikian, sistem ini berusaha menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan pemerintahan, memastikan bahwa otoritas tertinggi dalam aspek moral dan keagamaan tidak tercampur dengan kepentingan duniawi yang dapat mengganggu integritas mereka sebagai panutan masyarakat.
Jika sistem kasta pada masa lalu diterapkan pada kehidupan saat ini, maka posisi kaum pendidik, termasuk dosen, akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Secara ideal, mereka seharusnya berada di kasta tertinggi, yaitu kasta Brahmana, karena tugas utama mereka adalah menyebarkan ilmu pengetahuan, memberikan bimbingan intelektual, dan menjadi panutan moral bagi masyarakat. Namun, realitas akademik saat ini menunjukkan kecenderungan yang semakin kental dengan urusan finansial dan politik. Kampus, yang seharusnya menjadi pusat keilmuan yang bebas dari kepentingan pragmatis, justru semakin sering terjerat dalam permainan ekonomi dan kekuasaan. Hal ini menyebabkan peran dosen lebih dekat dengan kasta Sudra, yang dalam sistem lama merupakan kasta para pedagang—sebuah kelompok yang meskipun memiliki peran penting dalam perekonomian, tetap dibatasi dalam pengaruhnya terhadap nilai-nilai keagamaan dan sosial.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat dari perspektif Hinduisme ortodoks, di mana kasta lebih menggambarkan tingkat kesadaran seseorang dan peran sejati dalam kehidupan masyarakat, maka posisi dosen saat ini justru lebih cocok ditempatkan dalam kasta Meica—kasta terendah yang bahkan berada jauh di bawah Sudra. Hal ini dikarenakan orientasi pemikiran akademik saat ini cenderung berakar pada konsep-konsep asing yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai tradisional masyarakat. Kampus bukan lagi semata-mata pusat pencarian kebenaran yang luhur, melainkan lebih sering menjadi corong bagi ideologi-ideologi luar yang tidak selalu sejalan dengan jati diri bangsa. Dalam konteks ini, dosen tidak lagi dipandang sebagai penjaga kebijaksanaan, melainkan lebih sebagai agen dari arus pemikiran global yang bisa jadi lebih melayani kepentingan asing dibandingkan kebutuhan nyata masyarakat lokal.
Dalam tatanan masyarakat tradisional, kaum pendidik di era modern tidak lagi berada pada puncak hierarki sosial sebagai Brahmana, melainkan semakin turun ke lapisan yang lebih rendah. Apakah ini sekadar refleksi dari perubahan zaman, atau justru pertanda bahwa dunia akademik telah kehilangan nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasinya?[]
Toto Rahardjo
Nitiprayan, 28 Maret 2025