CakNun.com

Belum Sampai Sudah Menepi

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Agto Nugroho on Unsplash

Ho’o. Saat menulis ini saya sedang berada di Jogja. Tepatnya di sekitaran stasiun Tugu Jogja. Tepatnya lagi di Selasar Malioboro. Dari pintu keluar stasiun ambil kiri. Ramainya na’udzubilah. Mungkin karena hari ini tanggal 31 Desember 2024 menjelang Dhuhur. Terlihat jalanan dipenuhi dengan kendaraan. Sepertinya lebih cepat jalan kaki.

Ceritanya begini. Saya mau nyusul anak-anak ke Kebumen. Mencari irit dengan cara menaiki KRL dari Solo ke Jogja. Nawaitunya begitu sampai Jogja langsung ambil kereta Prameks ke Kutoarjo. Dari Kutoarjo naik bus ke Kebumen. Sungguh sangat dramatikal sekali di era gempuran kendaraan pribadi. Namun naasnya begitu sampai di Jogja ternyata masih harus menunggu Prameks yang jadwal keberangkatannya masih jam 13.48. Saya sampai di Jogja jam 10.36. Lumayan gabut gak tuh.

Ngapain ini enaknya. Jalan-jalan ke Malioboro? Hallo… Jiwa introvertku meronta melihat jalanan yang begitu sesaknya. Wes ora usah introvert, ekstrovert saya kira akan berpikir ulang untuk keluar dari rumah. Apalagi orang Jogja asli. Bisa dipastikan di rumah saja. Terbesit pula keinginan untuk menuju ke Syini Kopi di Rumah Maiyah gang Barokah Kadipiro itu. Sekedar melepas rindu mungkin. Tapi kok aku ngantuk gaes?

Tahu kan saking patriarkinya di negara ini kalau lelaki, kelihatan masih bagas waras kalau naik kereta KRL wolung ewunan kuwi lak yo wes mesti berdiri. Berdiri Solo – Jogja selama satu jam ki yo lumayan. Durung nanti nek naik kereta Prameks, ya sama saja peraturannya. Kaki ini memang kuat. Tapi istirahat sepertinya lebih tepat.

Saya memilih untuk melipir dari keramaian Jogja. Saya melipir ke mushola di belakang Selasar Malioboro. Jarang banger ya singgah di mushola yang kadang diselingi dengan bau sampah yang entah dari mana datangnya ini. Relatif lebih tenang. Nanti nek sudah lapar paling saya nyari angkringan sambil sedikit menahan rindu yang tak berkesudahan.

Jadi sedikit ingat apa yang dibicarakan di simpul Maiyah Suluk Surakartan, Jumat 27 Desember 2024 kemarin. Saya kaget karena ada personil baru. Ada empat remaja dengan gaya khas ngajinya. Yang tiga kompak, kemeja, sarung, kopyah. Yang satu kemeja celana panjang. Semuanya merokok. Ingat ya, merokok. Catatan penting mengingat usia mereka 15 tahun. Kelas X atau kelas 1 SMA. Mereka teman satu SMP dulunya.

Sedikit saya korek dong. Tahu Maiyah dan Mbah Nun dari mana? Dari Youtube. Wajar. Apa orang tua tahu kalian pergi sampai malam? Tahu jawabnya. Orang tua kalian tahu kalau merokok? Tahu jawabnya. Tadi pamitnya kemana? Pergi ngaji katanya. Sekolah masih dibayari orang tua? Masih jawabnya.

Teman saya mas Imam si profesor madu itu nyeletuk, kok detailmen mas takokmu, koyok interogasi.

Bukan begitu kisanak. Saya jelas bangga melihat generasi muda yang gigih belajar. Apalagi mereka punya jawaban yang menurut saya sangat cerdas ketika saya tanyakan bagaimana cara mereka mengolah informasi yang berseliweran begitu cepat. Mereka mantap menjawab mereka bisa menyaring dan harus disaring. Tidak serta menghakimi dan mencoba seadil mungkin dalam memandang informasi itu. Di bagian itu saya kagum. Ditambah sorot mata yang begitu antusias dan serius.

Cuma begini. Perihal keuangan juga saya ini menggali. Rokok, sekolah, kuota internet, bagaimana mereka menyikapi itu? Dan saya mendengar jawaban yang cukup melegakan. Mereka pelan-pelan membantu usaha orang tua. Semisal usaha isi ulang air galon. Dan mereka cukup presisi membagi waktu sekolah dan aktivitas selain sekolahnya.

Iya dong. Sampai malam lho itu. Jam 00.00 lebih. Dan yang jadi pegangan bagi saya sendiri adalah pernyataan Simbah yang lebih kurang, sama yang lebih muda pun harus tetap mau belajar dan menghargai. Dan jangan terlalu membatasi kreativitas mereka. Karena iya, regulasi waktu tak bisa dihindari.

Kau datang dan pergi oh begitu saja…
Semua kutrima ada apanya, eh apa adanya…
Pangestunya Mbah untuk menemani mereka. Salim…

Lainnya

Bus Kota dan Gua Hira

Bus Kota dan Gua Hira

Salah satu kenikmatan yang saya temukan ketika merantau di Jerman selama satu dekade adalah mudahnya bepergian ke berbagai penjuru negeri tanpa perlu memiliki kendaraan pribadi.

Andhika Yopi Setyawan Putera
Andhika Yopi SP

Topik