Andai Para Penguasa Mau Tidak Ompak-Ompakan


“Kapan kita mengadakan buka bersama, Pak Dok?” tanya Mbak Kris, kepala perawat kamar bayi.
“Bapak Dokter nggak kangen masakan mamaknya Ami po?” lanjutnya.
Ami adalah perawat kamar bayi yang sekarang sudah resign. Mamaknya jago memasak ingkung ayam dan bothok mandhing. Bumbunya sangat terasa dan meresap. Pokoknya dua jempol untuk urusan ini.
Saya mengangguk dan kemudian mendiskusikan waktunya. Kontak dengan Ami saya pasrahkan Mbak Kris. Untuk menu dan lain-lainnya nanti disengkuyung bareng-bareng teman-teman di kamar bayi.
Sebenarnya bukan tentang berbukanya, bukan makannya, tetapi tentang kebersamaan, kumpul bareng, ketawa-ketiwi, menghilangkan penat dan beban rutinitas yang dipikul mereka.
Saya sudah bekerja bersama mereka hampir 20 tahun. Tetapi ada pula yang baru bekerja beberapa bulan atau beberapa tahun ini.
Gaji kawan-kawan saya ini kurang lebih setara dengan UMR di Jogja ini. Saya nggak tahu sudah berapa kali mereka yang sudah lama di sini, mengalami naik gaji. Atau belum pernah naik gaji? Ah./, entahlah. Dengan gaji segitu rasanya berat, padahal jarak tempuh mereka ke tempat kerja cukup jauh.
Ada yang rumahnya dari Klaten, ada pula yang berasal dari daerah pesisir selatan. Bahkan yang paling jauh adalah dari daerah Temon, Kulon Progo, dekat bandara baru YIA. Kalau saya hitung, biaya transportasi sehari menghabiskan dua liter BBM, setara dengan 60 L BBM dalam sebulan (Rp 600.000) untuk pertalite. Lalu berapa sisa rupiah yang mereka miliki setelah dikurangi dengan biaya makan, biaya hidup, dan lainnya.
Belum lagi risiko perjalanan yang mereka tempuh. Aaaaaah tak bisa membayangkan beban mereka yang harus mereka junjung. Belum lagi saya mendengar berita bahwa sudah beberapa periode THR mereka tidak dibayar secara penuh. Saya hanya bisa ikut sedih dan miris mendengar berita itu.
Mendekati waktu berbuka saya baru nongol. Di dalam ruangan sudah berkumpul kawan-kawan kerja saya ini. Mereka sedang asik ngobrol sambil ketawa-ketawa dan sebagian menyusun makanan di atas meja. Ada gorengan, buah-buahan, es buah, cincau, macam-macam kripik dan peyek, dan yang spesial ada kripik gembus!
Makanan utama yang mereka siapkan cukup sederhana. Tempe garit dengan sambal tomat, sambal gepeng yang terbuat dari kedelai dan ada ikan asin kecil-kecil, ada ceker balado, urap dan lauk utama adalah ayam ingkung, bikinan mamaknya Ami, yang datang khusus dari Klaten. Tak lupa krupuk rambak.
Setelah saya melihat lihat persiapan ini saat berbuka pun tiba.Saya pun mengambil minuman saya yang kemarin saya pesan, yaitu cincau dengan santan. Minum segelas cincau ini pun saya sudah cukup kenyang, ditambah dengan dua putung tempe garit.
Dalam ruangan ini ada dia orang ‘tamu’ yang diundang. Sebenarnya juga bukan tamu beneran, tetapi karena unit kerjanya berbeda, maka mereka berdua itu, Nita dan Lita disebut tamu.
Saya mengamati kedua tamu tersebut. Mulai saat berbuka, mereka berdua memulai dengan makan buah dan es buah.
Lama mereka menikmati hidangan ‘pembuka’ itu, baru mereka berdua makan urap dan (mungkin) tempe.
Sampai sampai teman-temannya berkomentar dan bertanya, “Lohhh nggak pakai nasi?”
“Nggak Mbak…,” jawab mereka.
“Lha itu ingkungnya…, ” sahut si Kris.
“Iyaaaa…, ” jawab Lita, namun sepertinya mereka berdua berhenti pada makan urap saja.
Kebetulan siang tadi saya ketemu mereka berdua di poliklinik, dan mengobrol tentang acara bukber kemarin sore.
“Kalian kemarin kok makannya dikit?” tanya saya.
“Apa nggak nyesel, kan ada ingkung yang sangat lezat?”, lanjut saya.
“Ya sebenarnya…, tapi nggak kok Dok terima kasih sudah diundang. Tapi kami berdua rikuh…, sungkan.”
“Kenapa sungkan? Lha wong teman-temannya makan banyak jemis makanan kok!”
“Iya memang, Dok.”
Kemudian suasana hening. Saya merenungi sikap dan jawaban mereka berdua. Demi menjaga ‘rikuh’ dan ‘sungkan’ mereka harus menjaga agar tetap ‘berpuasa’ walaupun saat berbuka sudah tiba. Tidak serta merta makan semua yang ada, ‘ompak-ompakan’ kata orang Jawa. Walaupun secara fisik, mereka pasti masih lapar, tetapi nyawa dan jiwa mereka sangat kenyang dan berkecukupan.
Andaikata para penguasa bisa belajar dari Nita dan Lita!
16 Ramadhan 1446 H