CakNun.com

AJ(A)I MUMPUNG

Wawan Susetya
Waktu baca ± 5 menit
Image by Daniel Mena from Pixabay

MEMANFAATKAN suatu momentum atau kesempatan itu tidak selamanya mudah. Sebab dalam hal ini, meskipun kadang-kadang kita dihadapkan suatu kesempatan emas yang boleh dibilang ‘kesempatan itu tidak datang dua kali’, tetapi dapatkah kita benar-benar menentukan suatu pilihan pada kesempatan itu dengan tepat, benar atau presisi? Kalau kata orang Jawa, dapatkah kita menentukan suatu pilihan dalam kesempatan itu bukan hanya bener, tapi juga pener?

Dengan dimoderatori Sdr. Dhiya As-Shidiqy, tema AJ(A)I MUMPUNG itulah yang diangkat dalam diskusi rutin bulanan Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung pada malam Setu Legi tanggal 7 Pebruari lalu.di base camp Maiyah rumah Wawan Susetya di Boyolangu.

Berdiskusi mengenai aji mumpung, dalam hal ini, betapa banyak orang-orang yang terlibat dengan peran TS (Tim Sukses) suatu kontestasi Pilkada tingkat II, I hingga Pilpres yang kemudian mendapatkan suatu ‘tawaran’ peluang mendapatkan kedudukan atau jabatan sebagai imbalan dari jasa-jasanya. Kalau dia kebetulan memiliki kapasitas yang layak, katakanlah memiliki capable, acceptable dan credible, jelas hal itu tidak masalah. Tetapi yang kemudian menjadi persoalan bila penerimaan terhadap peluang tersebut malah menjadikan dia aji mumpung; senyampang sekarang ini mendapat kesempatan, maka dia tak mempedulikan lagi tentang syarat-syarat yang musti ia penuhi di atas. Yang penting baginya hanya kepentingan dirinya saja dan kelompok atau golongannya saja.

Kalau orientasinya hanya sebatas duniawi, entah mendapatkan kedudukan atau jabatan dan bahkan harta (materi), berarti ia tak mempedulikan lagi mengenai gunjingan banyak orang tentang pelanggaran terhadap KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang sekarang lagi gencar-gencarnya?

Maka, di sinilah perlunya menentukan suatu pilihan yang benar atau presisi dan tidak asal terima saja. Belum lagi kalau dihubungkan dengan wejangan-wejangan Cak Nun mengenai syarat kepemimpinan, yakni ada tiga:

Pertama, pemimpin harus bersih hatinya (spiritualitas).
Kedua, pemimpin harus memiliki kecerdasan (intelektualitas).
Ketiga, pemimpin harus memiliki keberanian (mentalitas).

Dalam berbagai kesempatan, Rocky Gerung juga kerapkali melemparkan pandangan kritisnya mengenai lahirnya pemimpin karbitan yang lebih banyak diukur elektabilitas-nya ketimbang etikabilitas dan intelektualitas-nya. Maka lahirlah pemimpin yang populis ketimbang pemimpin yang memiliki visi atau ke depan. Padahal pemimpin yang baik itu harus memiliki gagasan untuk memajukan bangsa dan negaranya, bukan sekedar bagaimana caranya agar menjadi orang terkenal yang seolah-olah dekat dengan rakyat dengan pemberian sembako. Memang, kenyataannya rakyat sangat membutuhkan bantuan sembako, tetapi sembako itu semestinya bukan sesuatu yang dijadikan andalan paling utama dalam kontestasi apapun.

Meski demikian ada pula jenis aji mumpung yang dapat dikatakan positif, sebagaimana disebutkan dalam Tembang Ilir-ilir yang diduga karya Sunan Kalijaga, yakni:

Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir,
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh temanten anyar,
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira,
Dodotira dodotira kumitir bedhah ing pinggir,
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore,
Mumpung padhang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Ya surak-a surak iya.

Tembang Ilir-Ilir tersebut jelas memberi isyarat mengenai makna kepemimpinan dengan sebutan ‘bocah angon’ (si penggembala ternak) yang sinkron dengan para Ulama atau tokoh agama ketika melakukan syi’ar dakwah Agama Islam di Tanah Jawa (Nusantara). Yakni pada masa awal pemerintahan Kasultanan Demak di Jawa Tengah pasca Kerajaan Majapahit. Ungkapan “Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar,” sebenarnya mengisyaratkan tengara mulai berkembangnya Agama Islam bagi ‘manusia Jawa’ di Tanah Jawa; ‘lahan subur’ atas perkembangan Agama Islam. Oleh karena itu, pujangga Jawa dulu mengingatkan hal itu kepada para anak cucunya dalam tembang tersebut. Pencipta tembang ‘Ilir-Ilir’ ini mengilustrasikan dengan ‘lir-ilir tandure wus sumilir’ (tanamannya—gambaran dari tanaman padi—sudah mulai nglilir; bangun), sehingga semakin didorong makin berkembang ‘tak ijo-royo-royo’ (agar makin menghijau dan berkembang), lalu diibaratkan seperti pengantin baru (temanten anyar). Tentu, suasana pengantin baru adalah gambaran yang menyenangkan untuk melukiskan situasi semangat dan bersungguh-sungguhnya ‘manusia Jawa’ dalam mendalami ajaran Islam.

Pada masa pemerintahan Kasultanan Demak pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, para Wali Sanga sedang getol-getolnya melakukan syi’ar penyebaran Agama Islam. Sementara, sebagaimana diketahui, agama nenek moyang Bangsa Indonesia dulu adalah Hindu-Budha selain Agama Kapitayan (Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa). Rupanya, bentuk dakwah atau penyebaran Agama Islam yang moderat, lentur dan persuasif oleh para Wali Sanga di Tanah Jawa benar-benar membuahkan hasil gemilang. Dan, Agama Islam pun menjadi agama mayoritas bagi Bangsa Indonesia, khususnya di Jawa. Mereka, memang, masih banyak yang anut grubyug (ikut-ikutan) pada mulanya, tetapi lambat laun makin berusaha memahami, menghayati, dan menjiwai serta memperdalam ajaran spiritual di dalamnya.

Bisa jadi, pengungkapan dalam perspektif ‘ilir-ilir’ ini bisa bermakna sebagai awal ‘masa kebangkitan’ Islam saat itu. Barangkali pula, ‘tandure wus sumilir’ dalam lagu tersebut menjadi titik awal perhatian para pujangga mengenai kebangkitan Kaum Muslim di Indonesia; bukankah dalam sejarahnya pada saat pemerintahan Demak menggunakan dasar syariat Islam?

Tembang ‘Ilir-Ilir’ ini kemudian menelorkan icon ‘bocah angon’ (penggembala) sebagai bentuk metafora bahwa ‘bocah angon’ adalah seorang yang memiliki komitmen perjuangan dalam berdakwah Agama Islam. ‘Bocah angon’ adalah gambaran dari seorang penggembala ternak yang ke mana pun pergi selalu membawa tongkat; yakni isyarat sebagai petunjuk, pegangan, pedoman, dan tuntunan (kitab suci; al-Qur’an dan sunnah Rasul).

Makna lirik “mumpung padhang rembulane” dapat dimaknai selagi terdapat peluang atau senyampang ada kesempatan yang baik.

Juga lirik “mumpung jembar kalangane” dapat dimaknai senyampang ada kesempatan yang luas dan terdapat ‘lahan subur’ untuk syi’ar dakwah Islam, sehingga lama-kelamaan Agama Islam makin berkembang di tanah air. Dan, puncaknya adalah Agama Islam menjadi mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia.

Kesempatan yang baik, kata orang bijak, terkadang datangnya hanya sekali saja dalam seumur hidup. Sebab, tak semua kesempatan baik bisa datang kapan saja seperti yang diinginkan orang per-orang. Oleh karenanya, jika seseorang mendapatkan peluang atau ‘kesempatan emas’, maka ia harus tanggap ing sasmita untuk menggapainya dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Dalam konteks ini, Rasulullah Saw juga menekankan mengenai kesempatan baik itu — yakni ke dalam lima peluang yang dimiliki manusia—yakni;

Pertama, Memanfaatkan waktu saat hidup sebelumnya matinya;
Kedua, Memanfaatkan waktu saat sehatnya sebelum jatuh sakitnya;
Ketiga, Memanfaatkan saat kayanya sebelum jatuh miskinnya;
Keempat, Memanfaatkan waktu mudanya sebelum masa tuanya;
Kelima, Memanfaatkan waktu luang (senggang) sebelum masa sempitnya.

Selain itu, Kanjeng Nabi Muhammad juga menasihatkan agar melakukan sesuatu dengan buru-buru atau segera, yakni menghormati tamu, menikahkan anak perempuan yang telah dewasa, segera memakamkan jenazah, dan membayar hutang.

Dengan wacana tersebut di atas, berarti betapa Nabi Saw sangat concern dan peduli terhadap pentingnya waktu bagi kaum muslimin. Jika salah satu waktu atau masa tadi terlewatkan, ia tentu hanya bisa menyesalinya saja, lantaran ‘nasi telah menjadi bubur.’ Makanya, mumpung masih ada peluang atau kesempatan, kenapa kebanyakan orang cenderung menghambur-hamburkan dan memboros-boroskan penggunaan waktu luangnya? Kenapa kebanyakan orang pada tak tanggap untuk menggunakan waktu secara efektif dan efisien, terutama dalam keadaan ‘mumpung padhang rembulan’ dan ‘mumpung jembar kalangane’?! Mereka, khususnya para pemuda dan remaja, tentu akan menyesalinya kelak di kemudian hari.

Jika sudah begitu, niscaya akan mengalami kegembiraan kolektif karena syi’ar dakwahnya telah mengalami keberhasilan yang gemilang, seperti diekspresikan dengan lirik “Ya suraka surak iya.”

Dan memang ada kalanya seseorang diposisikan oleh Allah ke dalam keadaan qabd (sempit) dan di waktu lain diposisikan dalam keadaan bast (lapang). Ketika berada dalam keadaan qabd (sempit), betapa pun besarnya keinginan dia untuk segera pindah ke keadaan bast (lapang), tetapi kalau Allah belum menghendaki tentu tidak akan bisa. Itulah suratan takdir Ilahi yang musti dijalani dan dihayatinya. Semakin ia meronta untuk memenuhi keinginannya (hijrah dari gelap ke terang), ia makin merasakan “kesakitan” yang luar biasa.

Bagaimana mungkin di waktu malam yang pekat seseorang berusaha mencari secercah sinar matahari?!

Itulah sebabnya, ulama kenamaan Syech Atho’illah Asy-Syakandari dalam kitab Hikam-nya menerangkan bahwa dalam keadaan qabd seperti itu, seseorang tadi hendaknya menenangkan dirinya dan bersabar menunggu datangnya fajar. Dalam keadaan gelapnya malam itu janganlah berharap mencari terangnya sinar matahari, tetapi hendaknya menikmati keadaan malam yang sesungguhnya tidak kalah dengan siang hari.

Dalam hal ini, para ulama tabi’ien dulu terinspirasi dari QS Ali ‘Imran :190 (“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”) yang kemudian menafsirkan malam sebagai qabd (sempit) dan siang adalah bast (lapang). Karena Allah telah merumuskan terjadinya silih bergantinya malam dan siang (begitu juga sebaliknya), dengan demikian dua keadaan qabd dan bast tersebut merupakan keniscayaan. Artinya, seseorang yang dihadapkan situasi demikian oleh Allah, maka bagaimana orang tadi menghadapinya.

Para ulama tabi’ien dulu banyak yang menggali dua potensi tadi; yakni malam (qabd) dan siang (bast). Ternyata, kesimpulan para ulama tadi menyatakan bahwa keduanya memiliki potensi yang seimbang; baik kelebihannya ataupun kelemahannya.

Lainnya

Sapta Pancitra Ratu

Sapta Pancitra Ratu

TEMA diskusi Lingkar Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung bersamaan dengan peringatan milad yang ke-7 (tujuh) di base camp Boyolangu (di rumah saya) pada Jumat malam atau malam Sabtu Legi (16/12) lalu yaitu mengangkat Sapta Pancitra Ratu.

Wawan Susetya
Wawan Susetya
Exit mobile version