Unser Herzlichstes Beileid, Mas Gandhie
Pagi itu selepas mengganti popok Baby Z, seperti biasanya saya baru kemudian menyalakan hape yang semalaman berada di flugmodus (mode pesawat). Tak dinyana beragam grup Whatsapp sudah rame, DM di Instagram juga bermunculan, salah satunya dari Mas Faris Maneges Qudroh (MQ), “Mas Gandhie sedo Mbak”. Hati pun mencelos, dan tak terasa mrebes mili, serasa mimpi. “Masak secepat ini ya Allah?,” batin saya dalam hati. Karena masih denial, layar hape pun berselancar ke berbagai penjuru untuk meyakinkan berita tersebut. Semakin dicari tahu, semakin benar adanya bahwa berita-berita diatas valid. Mas Gandhie, memang sudah berpulang keharibaanNya.
Pertanyaan-pertanyaan random di kepala mulai menyembul tak berarah? Apa kabar Mas Fahmi? Bagaimana kelanjutan Maiyah?
Dari sudut lain, Teh Nissa juga sudah mengupload IG-Story saat terakhir kali bersama Mas Gandhie 15 April 2016 lalu. Yang tak lain adalah hari keberangkatan saya untuk pertama kalinya ke Jerman, diantar Teh Nissa dan Mas Gandhie ke CGK Airport. Sebelumnya sempat pula bertemu Mas Silok Korea di pelataran bandara sebelum masuk Boarding.
The Real Gugur di Musim Gugur
Suhu di Hape menunjukkan 14 derajat celcius, suhu tertinggi pada tanggal 14 Oktober 2024 yang sudah memasuki musim gugur. Siang itu ditengah pikiran yang berkecamuk, akhirnya saya putuskan untuk berjalan keluar rumah membersamai Baby Z dengan kereta dorong bayi di tengah pepohonan yang menguning dan daun yang berjatuhan disapa angin khas musim gugur Jerman. Tak selang lama dia pun tertidur. Saya duduk di taman sambil meng-update berita soal Mas Gandhie, denial, rasa penolakan, ketidakpercayaan akan kondisi atau berita yang diterima masih menggunung. Sesekali atau pada akhirnya juga harus banyak kali menyeka air mata di pelupuk mata.
Ingatan mulai mencuat, sepertinya momen makan bersama di Soto Kadipiro Jogja sekitar awal tahun 2015 itu untuk pertama kalinya bertemu Mas Gandhie. Dalam rangka apa di Jogja kala itu saya sendiri masih terus berusaha mengingatnya. Karena bulan Agustus 2015 baru wisuda sarjana di Kota Malang, jadi itu hanya pertemuan singkat yang mungkin tak sempat berlama-lama pula mampir di rumah Magelang.
Persimpangan dengan Mas Gandhie sepertinya semakin intensif saat Maneges Qudroh ditunjuk menjadi tuan rumah perhelatan Silatnas Maiyah 2015 di Magelang. Kebetulan saya sudah pulang total dari Kota Malang dan mulai aktif di Maiyah Maneges Qudroh. Waktu 3 pekan untuk menyiapkan momen besar itu membuat dulur-dulur MQ semakin raket gotong royong dan mempersiapkan yang terbaik untuk menyambut dulur-dulur Maiyah dari berbagai kota.
Mas Gandhie seingat saya menjadi kunci hadirnya tiga Marja Utama sekaligus, Mbah Fuad, Syeikh Kamba dan Mbah Nun duduk bersama dalam satu forum Maiyah di tlatah Pakuning Jawi, Magelang. Pun pasca acara tim literasi menjadi cukup sibuk karena Mas Gandhie meminta verbatim dari setiap momen diskusi, terutama sekali dari tiga Marja. Akhirnya saat itu bagi tugas antara saya, Bu Limpat Istri dari Pak Dhida dan beberapa orang lain untuk menuliskan dari setiap rekaman acara. Reportase kala itu harus dituntut segera tayang dan verbatim bisa agak belakangan. Menulis verbatim mengingatkan saya akan penelitian kualitatif skripsi yang saya tulis di fakultas Psikologi. Dan Maiyah dituntut berada di tataran itu dalam mendokumentasikan momen sepenting itu.
Setiap Momen adalah Penting dan Takkan Terulang
Momen lanjutan irisan ruang dan waktu dengan Mas Gandhie adalah saat kebetulan saya harus ke Jakarta pada bulan Maret 2016 untuk mengurus visa di Kedubes Jerman. Ndilalah momennya tak jauh-jauh dari agenda bulanan Maiyahan di Kenduri Cinta. Kesempatan yang tak boleh terlewatkan untuk mencicipi atmosfer maiyahan di Ibu Kota. Entah gimana ceritanya, saya tiba-tiba termasuk orang yang ditunjuk duduk di panggung Kenduri Cinta malam itu, siapalah saya anak baru lulus kuliah yang masih tak tau apa-apa tiba-tiba harus duduk di depan ribuan orang begitu. Ini feeling saya tak lain dan tidak bukan ada peran Mas Gandhie dibelakangnya.
Malam itu beberapa teman-teman Simpul yang hadir diminta duduk di panggung Kenduri Cinta. Dini hari usai maiyahan, perjalanan dilanjutkan dengan menginap di kosan Mbak Nink. Tak cukup dengan surprise karena disuruh duduk di panggung KC, ada lagi momen surprise saat keesokan harinya. Tiba-tiba Mas Gandhie meminta saya untuk menuju suatu kafe, ternyata disana ada Mbah Nun juga. Belum pernah sebelumnya punya kesempatan seekslusif itu bisa ngobrol langsung dengan Beliau sedekat itu. Tak lama ngopi dan ngobrol di café itu, kemudian ngopi pun bergeser ke dekat ruang tunggu di Bandara Halim sebelum Simbah terbang ke Jogja.
Dalam kesempatan lain, sebulan setelahnya, saya diajak oleh Mas Gandhie untuk hadir ikut reboan, semacam rapat rutin para penggiat Kenduri Cinta setiap minggunya sebelum malamnya berangkat terbang ke Jerman. Saya yang bukan siapa-siapa, ga kenal dekat juga, hanya anak simpul dari daerah tiba-tiba diberi kesempatan seberharga itu. Diperlihatkan dapur kreativitas berprosesnya teman-teman kenduri Cinta, belum termasuk saat Mas Gandhie dan Teh Nissa mengantar saya ke Bandara Soekarno-Hatta sebelum untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Jerman. Salah satu momen yang sangat bersejarah dalam perjalanan kehidupan saya. Terima kasih Mas Gan, orang yang enthengan dalam membantu sesama tak peduli baru kenal ataupun sudah lama bersaudara. Semoga saya dapat melanjutkan kebaikan yang sudah Njenengan contohkan.
Bersambung…
München, 17 Oktober 2024