Titik Nadir Harga Diri
Tema Pengajian Padhangmbulan, Rabu, 24 April 2024, memang berangkat dari “Titik Nadir Demokrasi,” yang ditulis Mbah Nun pada April 1995. Dua puluh sembilan tahun telah lewat. Gagasan substansial, sunyi kepedihan, rintih keprihatinan yang dikandung tulisan itu tetap aktual hingga sekarang.
Hampir tiga puluh tahun terhitung sejak tulisan itu dibaca publik kita mengalami bukan sekadar “titik nadir demokrasi”. Hingga hari ini dan entah sampai kapan kita berada dalam titik nadir harga diri. Titik nadir demokrasi adalah akibat jangka panjang setelah harga diri manusia berada dalam titik jurang paling bawah. Titik nadir harga diri itu semakin melorot hingga berada pada koordinat nadir yang paling rendah.
Hari di mana kita perlu waspada: jangan-jangan kita menjadi bagian dari manusia kebanyakan yang telah kehilangan alamat kemanusiaan, alamat moral, alamat rohani, bahkan ketingslut pula alamat hamba dan kekhalifahan kita. Entah beralamat di mana kebanyakan manusia saat ini karena cita-cita hidupnya adalah meraih kekuasaan untuk menjadi kaya sekaya-kayanya.
Jamaah Pengajian Padhangmbulan dapat mempersiapkan diri untuk mengelaborasi contoh-contoh faktual bagaimana manusia kehilangan alamat kemanusiaan, alamat moral, alamat rohani, alamat penghambaan dan kekhalifahan. Terbuka kesempatan lebar bagi Jamaah Pengajian Padhangmbulan dengan hak kreativitas berpikirnya masing-masing mengemukakan simulasi dan analisis titik nadir harga diri melalui keberangkatan sudut pandang: manusia nilai, manusia istana dan manusia pasar.
Manusia nilai adalah manusia yang orientasi hidupnya bergantung pada khoirunnaas anfa’uhum linnaas. Manusia paling berkualitas adalah manusia yang paling bermanfaat pada manusia lainnya. Ini merupakan antitesis bahwa kualitas manusia tidak dilihat dari ilmunya, hartanya, pangkat jabatannya. Indikator kualitas manusia berlamat pada nilai kemanfaatan hidup yang ditampilkan melalui tindakannya yang berdaya guna (amal saleh).
Manusia istana adalah manusia yang hidup dan matinya, jaga dan tidurnya, diam dan geraknya fokus pada bagaimana dapat berkuasa dan menguasai. Ruang lingkupnya bisa luas dan sempit, bukan terbatas pada politik kekuasaan saja. Ini manusia tipologi manusia perabot. Manusia istana dapat dijumpai di pasar, terminal, sekolah, organisasi sosial masyarakat, jamaah tahlil hingga di bilik paling rahasia politik undertable.
Adapun manusia pasar adalah manusia yang ucapan dan perilakunya, pikiran dan perasaannya, kalkulasi tindakan jasmani dan niat rohaninya bertujuan untuk memperoleh bathi alias keuntungan materi. Setiap langkahnya berorientasi wani piro. Pada taraf paling nadir manusia pasar menukar ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah (Q.S. Al-Baqarah: 41). Kendati harga yang murah menurut Tuhan terlihat mahal dan mewah menurut pandangan mata mereka.
Titik nadir harga diri terjadi manakala manusia kehilangan alamat nilai-nilai yang sejati. Manusia tidak perlu mengenal dirinya karena mengejar bayang-bayang yang disangka dirinya. Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (Q.S. At-Tin: 4-5). Tempat yang serendah-rendahnya itu menjadi ordinat politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan peradaban di mana harga diri dan martabat manusia berada pada titik nadir yang paling nadir.