CakNun.com

The Jongos: Cerminan Tajam Praktik Kekuasaan di Indonesia

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 2 menit

Demokrasi di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Untuk memperkuat dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, Dapoer Seni Djogja akan menggelar pentas teater berjudul “The Jongos” pada hari Sabtu, 10 Agustus 2024 pukul 19.30 WIB. Pertunjukan ini akan berlangsung di Auditorium Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Sewon, Yogyakarta.

Pentas teater “The Jongos” merupakan karya yang ditulis oleh Indra Tranggono dan digarap oleh sutradara Isti Nugroho. Tiga aktor senior, yaitu Joko Kamto, Novi Budianto, dan Eko Winardi, akan tampil memukau di atas panggung. Musik dalam pertunjukan ini digarap oleh Azied Dewa dan Toto Rahardjo, memberikan nuansa yang mendalam dan emosional. Tata artistik dipercayakan kepada Si Us (Vincencius Dwimawan), dengan tata cahaya yang diatur oleh Wardono. Simon Hate juga berkontribusi dengan ide-idenya yang segar dan kreatif.Mari kita dukung upaya seni dalam memperkuat demokrasi dengan menghadiri pertunjukan ini dan menyebarluaskan pesan penting yang terkandung di dalamnya. Jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati seni teater yang penuh makna dan semangat perjuangan!

Proses kreatif “The Jongos” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Cak Nun. Orang-orang yang terlibat dalam produksi ini memiliki hubungan erat dengan beliau, dan inspirasi dari pemikirannya sangat terasa dalam setiap aspek pertunjukan. Keberadaan Cak Nun memberikan semangat dan arah yang kuat, menjadikan “The Jongos” bukan hanya sebuah karya seni, tetapi juga sebuah gerakan refleksi dan perlawanan terhadap kondisi demokrasi saat ini.

Menurut Isti, drama “The Jongos” dengan jelas merefleksikan kondisi politik mutakhir di Indonesia, di mana praktik kekuasaan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi dan hukum. “Jika ini dibiarkan, demokrasi dan hukum terancam lumpuh. Ketidakadilan jadi subur. Korupsi semakin menjadi-jadi. Ketimpangan sosial semakin parah. Jumlah orang miskin semakin bertambah,” ungkapnya.

Isti mengakui bahwa kesenian mungkin tidak bisa mengatasi dekadensi kekuasaan secara langsung. Namun, ia percaya kesenian memiliki kekuatan untuk menyadarkan publik, menjaga mereka tetap kritis terhadap kekuasaan yang menyimpang. Dalam hal ini, “The Jongos” memainkan peran penting sebagai medium refleksi dan kritik sosial.

Drama berdurasi sekitar 90 menit ini mengisahkan seorang hakim yang terjebak dalam permainan politik oligarki demi meraih kekuasaan. Tuan Hakim, tokoh utama dalam cerita ini, disergap rasa bersalah setelah menyadari bahwa dirinya tak lebih dari sekadar jongos, atau pelayan, bagi kekuasaan oligarki. “Di luar oligarki, semua hanyalah korban,” ujar Tuan Hakim dengan pahit.

Drama ini mencapai klimaksnya ketika Tuan Hakim, yang merasa diteror oleh massa yang menuntut keadilan, akhirnya harus mengakhiri hidupnya di moncong pistol. Penggarapan drama ini menggunakan gaya komedi tragedi, bertujuan untuk menghadirkan sajian yang segar namun tetap sarat dengan renungan mendalam.

Melalui “The Jongos”, penonton diajak untuk merenungkan realitas politik dan sosial di Indonesia, mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi dan hukum, serta mengkritisi setiap bentuk penyimpangan kekuasaan. Drama ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat untuk melihat dan memahami kondisi mereka sendiri.

Dalam rangka menyambut acara utama tersebut, penggalan fragmen dari “The Jongos” akan dibawakan lebih awal di acara Mocopat Syafaat pada tanggal 17 Juli malam. Pertunjukan ini diharapkan dapat menjadi wadah refleksi dan diskusi bagi masyarakat tentang kondisi demokrasi di Indonesia, serta menjadi sumber inspirasi untuk memperjuangkan kebebasan dan keadilan di negeri ini.[]

Lainnya