CakNun.com

Tetap Kembali Ke Tarekat ‘Puasa’

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 2 menit
Photo by Rifky Nur Setyadi on Unsplash

Plenthi menjulurkan kedua kakinya di kursi panjang di depan TV, di rumahnya yang bisa dibilang sempit.

“Badanku sakit semua, rasanya seperti digebukin,” ujarnya.

“Aku juga begitu, Pak, rasanya pengen tidur saja, bawaannya ngantuk terus,” sahut anak wedok-nya yang ada di sebelahnya sambil nonton TV, yang tidak jelas apa acaranya.

“Bapak sih kebanyakan makan emping,” lanjut anaknya.

“Atau jangan-jangan enggak kontrol makan opornya Lik Sri? Padahal acara kita kan ya hanya ngobrol, silaturahmi, kumpul keluarga, dan berbagi cerita ngalor ngidul…Wong semalam anak-anak pada keluar, bapak kan engga ikut,”kata si anak wedok lebih lanjut lagi.

Sambil memiringkan badannya di kursi panjang, Plenthi bergumam, “Ndhuk, aku makan emping kan hanya beberapa keping saja, dan makan oporku kan hanya sekedar icip-icip saja. Bahkan ketupat yang ada di dalam piringku kemarin kan hanya separoh, dan separohnya lagi tak beri ke piringmu.”

“Iya sih, Pak, tapi kan Bapak enggak pernah makan-makan seperti itu lagi?” jawab anak wedok-nya.

“Aku memang sudah lama tidak makan seperti itu, Ndhuk.”

“Hanya sekadar ingin berbuka puasa dan berhari raya dari puasaku terhadap makanan-makanan enak semacam itu… eh tapi kok sepertinya badan wadagku tidak mau berkompromi,” lanjut Plenthi.

Plenthi memang sudah lama tidak memakan makanan yang enak-enak, terutama makanan yang berasal dari pati-patian. Tubuhnya sudah terbiasa dengan ‘puasa’. Badan wadagnya sudah sangat terbiasa dengan tidak meminum sesuatu yang manis, bahkan kalau Plenthi ‘melanggar’ makanan-makanan yang dipantang, maka tidak sampai lima menit dia akan terbirit-birit lari mencari WC.

“Sudahlah, Pak, nggak usah macam-macam lagi, wong ya Bapak sudah nyaman dan sehat dengan ‘laku’ yang Bapak jalan dan Bapak kan fine fine aja dengan tarekat itu, serta Bapak merasa sehat lahir dan batin. Kenapa juga Bapak memakan makanan yang ‘haram’ bagi Bapak!”

Plenthi diam seribu bahasa. Dalam hati dia membenarkan ‘ceramah’ anaknya. Dia pun sangat mahfum dengan penggunaan kata ‘haram’ yang disampaikan oleh anak wedok-nya. Plenthi tidak mengelak maupun menjawab. Mencoba memahami apa yang terjadi dalam dirinya maka dia bertekat akan kembali kepada tarekatnya agar tercapai kondisi biologis serta kondisi fisiologisnya.

Salah satu makna ‘Idul Fithri adalah kembali berbuka, kembali boleh makan, atau tidak berpuasa lagi. Tetapi bagi Plenthi ‘Idul Fithri ternyata tetaplah berarti kembali tetap ‘berpuasa’, kembali tetap berada pada ‘tarekat’ puasanya, seakan-akan tidak ada peluang baginya untuk ‘Idul Fithri sebagaimana salah satu makna harfiahnya tersebut, tetapi ‘Idul Fithri baginya adalah ‘Idush Shiyam/kembali tetap ‘puasa’.

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik