CakNun.com

Surat Husnul Khatimah untuk Presiden Soeharto

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 9 menit

Foto: JB Suratno/Kompas

Pilihan Teknis Husnul Khatimah

Ada empat bentuk aspirasi reformasi yang muncul kala itu. Semua bentuk ini sudah disampaikan kepada Presiden Soeharto dalam surat Husnul Khatimah.

Pertama, reformasi masih dalam kerangka sistem pemerintahan Orde Baru, yang berarti dilakukan bertahap hingga selesainya masa jabatan tahun 2003. Kedua, reformasi dalam sistem yang sangat berbeda dari Orde Baru. Yaitu Soeharto harus mundur. Ketiga, reformasi dengan proses kudeta.

Dijelaskan dalam surat bahwa bentuk pertama tidak banyak menjanjikan dan terlalu lama. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga akan memunculkan gerakan penentangan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Maka Cak Nur, Cak Nun, dkk. menawarkan bentuk keempat yang tetap mengandung kesulitan, tetapi relatif aman dan dapat memberi landasan legitimasi baru yang kuat untuk pemerintahan yang akan datang.

Bentuk keempat inilah sebuah husnul khatimah, yang intinya bahwa Soeharto bertekad memimpin sendiri reformasi secara menyeluruh.

Ini sejalan dengan pembicaraan dalam pertemuan 19 Mei ketika semua tokoh menyampaikan pandangan mereka yang intinya Presiden Soeharto sudah saatnya mundur.

Ada beberapa pilihan teknis turun jabatan bagi beliau. Pertama, mengembalikan mandat kepada MPR. Pilihan ini kurang realistis karena dua sebab. Satu, MPR tidak mungkin bersidang karena gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa yang memandang MPR tidak lagi legitimate. Dua, bisa jadi bila bersidang pun, MPR malah memilih ia kembali jadi presiden.

Pilihan kedua, menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie. Dalam pertemuan, pilihan ini tidak terlalu dilirik, karena mengandung potensi kontroversial yang parah dan berkepanjangan.

Maka pilihan jatuh pada teknis ketiga, dengan membentuk dan memimpin sendiri Komite Reformasi. Sekali lagi, pilihan ini sudah sesuai dengan semangat dan prinsip husnul khatimah.

Dengan memimpin Komite Reformasi, Soeharto bertekad memimpin sendiri reformasi secara menyeluruh dengan menyesali terjadinya krisis moneter, mengakui semua kesalahan dan segala kekeliruannya. Lalu menyerahkan kekayaan pribadi dan keluarga untuk kepentingan bangsa dan negara. Kemudian ia memimpin perbaikan-perbaikan yang ketentuan-ketentuannya dituangkan dalam legal-formal-konstitusional.

Ia juga menyatakan bersedia mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara-cara damai dan konstitusional. Lalu membimbing bangsa Indonesia memasuki abad baru. Disampaikan pula teknis waktu yang matang, yaitu selama 20 bulan berikutnya, sampai tidak lebih dari tanggal 10 Januari 2000 pemilihan umum sudah harus terlaksana. Maksimal tanggal 11 Maret 2000 sudah terpilih presiden baru.

Namun semangat husnul khatimah itu hanya berlaku satu hari. Rencananya, Komite Reformasi akan beranggotakan 45 orang dari berbagai kalangan yang dikenal reformis-progresif. Cak Nur dan Cak Nun sejak awal sudah menolak berada di dalamnya. Mereka berdua bersepakat harus berada di luar setiap peluang kekuasaan. Ini demi agar rakyat percaya bahwa yang mereka lakukan hanyalah mengusulkan perbaikan negara dan bukan mengincar kekuasaan.

Yusril dan Saadilah ditugasi menghubungi 45 calon anggota hari Rabu, 20 Mei. Hingga malam, tidak satupun ada yang bersedia dengan berbagai alasan. Ditambah lagi, empat belas menteri Kabinet Pembangunan VII telah mengundurkan diri.

Melihat situasi itu, semangat husnul khatimah Soeharto semakin pudar. Termasuk tidak bersedianya Cak Nur yang sangat diharapkan Soeharto masuk dalam Komite Reformasi, memupuskan kesempatan husnul khatimah.

Akibatnya, pilihan teknis mundur jatuh kepada penyerahan jabatan presiden kepada wapres besoknya, Kamis 21 Mei 1998. Presiden Soeharto merasa tidak diberi kesempatan taubat dan husnul khatimah.

Hikmah Konsep Husnul Khatimah

Seandainya saja husnul khatimah itu diterima semua masyarakat dan semua pihak sehingga berjalan dengan baik, menurut Cak Nun, setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita ambil.

Pertama, langkah reformasi tidak mubadzir dalam waktu yang lama. Kedua, kita sebagai bangsa akan menjadi lebih dewasa. Tidak seperti sikap masyarakat dan kaum reformis yang hanya sanggup memperlakukan Soeharto dengan kebencian, dendam, dan sikap brutal. Dengan sikap-sikap seperti itu, kita menjadi tidak punya kesanggupan kolektif untuk memperlakukannya dengan lebih berbudaya.

Kita menjadi bangsa yang takabur, melebihi Allah yang masih menyediakan kita kesempatan taubat dan husnul khatimah. Artinya, kita tidak memandang Soeharto sebagai manusia hamba Allah juga yang punya hak memperbaiki diri dengan memimpin reformasi, bertaubat, membayar utang, dan mengembalikan barang curian.

Untuk itu, seandainya di masa depan terulang lagi otorianisme dan kesewenang-wenangan pengurus negara ini yang menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan, mudah-mudahan konsep husnul khatimah bisa menjadi solusi transisi kepemimpinan dan kekuasaan. Karena menurut hemat saya, konsep ini memiliki jangkar nilai yang lebih kuat, dalam, dan bermakna.

Terlebih lagi kita sudah terlanjur ber-Pancasila, dengan sila pertama telah meneguhkan kalau kita bangsa yang ber-Tuhan Yang Maha Tunggal. Dan husnul khatimah ini adalah konsep langsung dari Tuhan. Supaya pilihan penyelesaiannya nanti tidak lagi ala masyarakat luar sana yang hanya lewat cara kudeta, impeachment, atau pemberontakan. Wallahu a’lam[]

Chicago, 19 Mei 2024

Sumber cerita:

  • A Dictator Bows Out. Journeyman Pictures (1998)
  • Majalah Tempo. 18 Mei 2003
  • Kompas. 20 Mei 1998
  • Majalah GATRA. 17 Mei 2003
  • Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. Bentang Pustaka (2016)
  • Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia. Hamas dan Padhangmbulan (1999)
  • Demokrasi La Roiba Fiih. Kompas (2009)
  • Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur. Republika (2008)
  • Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Yayayasan Pustaka Obor (2003)
  • Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Kompas (2010)
  • The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Gramedia (2007)

Lainnya

Penjaga Nilai Utusan Tuhan

Penjaga Nilai Utusan Tuhan

Setiap zaman memiliki tantangan dan persoalannya sendiri. Secara esensial, tantangan yang dihadapi oleh setiap ‘episode’ sejarah adalah keruntuhan moral yang berdampak menciptakan serentetan persoalan berikutnya, yaitu rusaknya tatanan hidup, ambruknya mental kebudayaan dan  lahirnya ketidak-adilan sosial.

Agus Sukoco
Agus Sukoco

Topik