CakNun.com

Surat Husnul Khatimah untuk Presiden Soeharto

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 9 menit

Minggu 17 Mei, mereka berkumpul kembali di Hotel Wisata dan mengundang wartawan dalam negeri dan mancanegara. Surat yang sudah dirancang tadi dikonferensi-perskan.

Senin 18 Mei, konferensi pers itu menjadi berita utama di berbagai media. Hari itu juga, surat Husnul Khatimah ditipkan melalui Mensesneg untuk Presiden. Ada situasi penting lain senin itu yang menjadi faktor pendesak Soeharto. Tanpa diduga, Harmoko, ketua DPR/MPR yang dikenal setia kepada Soeharto, dalam sebuah pernyataan terbuka sore hari meminta Presiden mengundurkan diri dengan arif dan bijaksana. Ditambah sebelumnya, secara terbuka juga Amien Rais meminta pergantian pemimpin nasional.

Maka malamnya, setelah mempelajari surat Husnul Khatimah, melalui sambungan telepon ditemani Saadilah Mursyid dan Probosutedjo, Presiden Soeharto menanyakan keadaan di lapangan sesungguhnya kepada Cak Nur. Ia pun menceritakan pertemuannya bersama Cak Nun dkk., apa yang menjadi tuntutan mereka, dll. Di ujung pembicaraan, ternyata Presiden menyatakan bersedia mundur kapan saja. Saat ditanya Cak Nur kapan, secara mengagetkan Soeharto menjawab, “Besok.”

Kesediaan hati Presiden Soeharto mendengarkan, tak lepas dari ketokohan Cak Nur sebagai intelektual muslim yang santun, arif, dan bijaksana. Tidak seperti tokoh lain yang dijuluki wartawan sebagai Bapak Reformasi, yang selalu keras menyerang Soeharto. Pembicaraan via telepon itulah yang sering kali Cak Nun maksudkan sebagai peristiwa “akad nikah” lengsernya Soeharto. Dan “resepsi”nya direncanakan besok Selasa, 19 Mei 1998 di hadapan mereka yang merumuskan surat dan para tokoh sesepuh lain.

Nama-nama sembilan tokoh yang kemudian hadir di Ruang Jepara, Istana Merdeka itu berasal dari Cak Nur dan Soeharto sendiri. Munculnya nama Gus Dur, misalnya, berasal dari Soeharto. Cak Nur sebenarnya mengusulkan kawan sekolahnya di Universitas Chicago dan tetangga rumahnya di Hyde Park: Amien Rais. Tapi Soeharto menolaknya. Ada nama lain yang sempat ditolak Soeharto tapi Cak Nur tetap memaksakannya, yaitu Yusril Ihza Mahendra.

Keberadaan Yusril ternyata memang tepat. Cak Nur memandang, dari sembilan orang yang akan hadir, tidak satupun pakar hukum tata negara. Lagipula, Yusril saat itu sudah termasuk “orang dalam”. Untung Cak Nur memaksakan ada Yusril, karena kesiapan Soeharto mundur hari itu ternyata mengandung masalah konstitusional yang dijabarkan oleh Yusril.

Maka usai pertemuan, di hadapan para tokoh, dalam konferensi persnya Presiden memang tidak menyatakan mundur. Mundur atau tidak, itu tidak menjadi masalah baginya. Meskipun begitu, beliau siap memperbaiki keadaan. Ini sesuai dengan salah satu poin dalam surat Husnul Khatimah. Itu akan diwujudkan dengan membentuk Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi.

Laporan lengkap peristiwa penting pertemuan di Istana Merdeka itu beserta pidato presiden dan komentar dari Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun, Malik Fajar, dan Yusril, dapat pembaca simak dalam berita utama koran Kompas edisi Rabu, 20 Mei 1998 berjudul Pak Harto: Saya Ini Kapok Jadi Presiden.

Mengapa Harus Husnul Khatimah

Dari sekian banyak pembahasan Reformasi 1998 di berbagai laporan, catatan, berita, tulisan, analisa politik, dll. yang saya pelajari, transisi politik dengan konsep husnul khatimah ini sangat sedikit sekali dibahas. Bahkan cenderung seperti angin lalu dan terabaikan.

Sejauh ini sependek pembacaan saya, hanya dalam tulisan Cak Nun hal ini menjadi sorotan utama. Dugaan saya barangkali karena politik dunia, utamanya demokrasi yang lahir dari rahim peradaban Eropa-Amerika yang sekuler, maka konsep husnul khatimah yang lahir dari khazanah Islam menjadi tidak penting dan kurang nyambung. Maka dalam ilmu politik negeri ini yang berkiblat juga kepada Barat, konsep ini menjadi tidak berlaku.

Atau mungkin juga karena yang menekankan itu kemudian hanya Cak Nun. Meskipun beliau salah satu pelaku utama di lingkaran elit peristiwa, meskipun juga sudah panjang lebar dituliskannya dalam tiga buku—utamanya Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia (1999), tapi karena beliau dianggap bukan ilmuwan politik karena tak memiliki kesarjanaan ilmu politik, maka konsep husnul khatimah yang merupakan bagian penting dari sejarah bangsa ini menjadi tidak diperhatikan. Lagi-lagi, ini hanya dugaan saya saja.

Selain itu, Cak Nun memandang bahwa Cak Nur sebagai ‘komandan’ para tokoh  pertemuan 19 Mei dengan Soeharto tidak berupaya cukup keras mensosialisasikan konsep husnul khatimah ini kepada masyarakat luas dan kelompok reformis.

Lalu sebenarnya apa inti dari rumusan husnul khatimah yang digagas Cak Nur, Cak Nun, dkk. itu?

Sebelum masuk ke sana, mari kita lihat pondasinya. Cak Nun mengungkapkan, jika ada seorang maling berhenti dari kemalingannya, lantas tidak harus melalui peristiwa dikepung lalu dipukuli beramai-ramai dulu, baru ia berhenti. Tuhan masih memberi peluang ‘taubat’ dan ‘husnul khatimah’.

Dalam konteks Reformasi 1998, Cak Nurcholis Madjid dengan tegas di berbagai media massa menyampaikan rumusan teknis husnul khatimah. Bahwa Pak Harto harus memimpin reformasi agar proses peralihan kekuasaan bisa diminimalisir konfliknya. Rumusan ini memang bertentangan dengan psikologi masyarakat dan kaum reformis yang penuh dendam dan amarah. Itu hanya bisa dipahami melalui logika berpikir husnul khatimah.

Dalam logika ini, agar bisa husnul khatimah, maka Presiden Soeharto adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua kesalahannya, lalu bertaubat, memulai reformasi dan melakukan perbaikan atas dirinya sendiri—yaitu memimpin reformasi, membayar yang harus dibayar, mengembalikan yang harus dikembalikan menurut hukum Tuhan dan negara, serta meminta maaf kepada orang-orang yang disalahinya, dan mempasrahi dirinya kepada rakyat untuk memilih menghukumnya atau memaafkannya.

Karena Allah saja masih menyediakan pintu taubat dan husnul khatimah, maka surat dan pertemuan 19 Mei sejatinya adalah upaya mengambil perasaan dan psikologi Soeharto, sehingga ia menyadari memang perlu mereformasi yang akhirnya nanti mengundurkan diri. Sebagaimana Nabi Musa As diperintahkan Allah menemui Fir’aun dan menanyakan diktator takabur itu apakah ia mau bertaubat atau tidak. Jika mau, Allah akan membimbing ke jalan-Nya.

Lainnya

Penjaga Nilai Utusan Tuhan

Penjaga Nilai Utusan Tuhan

Setiap zaman memiliki tantangan dan persoalannya sendiri. Secara esensial, tantangan yang dihadapi oleh setiap ‘episode’ sejarah adalah keruntuhan moral yang berdampak menciptakan serentetan persoalan berikutnya, yaitu rusaknya tatanan hidup, ambruknya mental kebudayaan dan  lahirnya ketidak-adilan sosial.

Agus Sukoco
Agus Sukoco

Topik