CakNun.com

Surat At-Taubah Ayat 40: Maiyatullah wa Maiyatur-Rasul

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit
Magelang, 26 Maret 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Surat At-Taubah ayat 40 merupakan salah satu ayat yang memiliki pesan mendalam tentang keimanan, kesabaran, dan pertolongan Allah dalam situasi yang sangat kritis. Ayat ini juga menjadi fondasi teologis bagaimana kita ber-Maiyah hingga sekarang. Ayat ini berbunyi:

“Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Pendekatan untuk mentadaburi ayat ini tidak hanya menyoroti makna yang tertera secara eksplisit, tetapi juga menggali lapisan makna yang tersembunyi atau bahkan membuka ruang ambiguitas yang terkandung di dalamnya. Pendekatan ini mengajak kita untuk tidak terpaku pada struktur makna tunggal, melainkan membongkar konstruksi pemahaman yang selama ini dianggap baku.

Membongkar Struktur Teks: Gua sebagai Ruang Transisi

Salah satu elemen penting dari ayat ini adalah kisah tentang gua. Secara historis, gua Tsur diidentifikasi sebagai tempat persembunyian Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar RA dari ancaman musuh. Namun, melalui perspektif pemaknaan yang lebih terbuka dan mendalam, gua bukan sekadar tempat fisik, tetapi simbol ruang transisi. Gua adalah ambang batas antara ketakutan manusiawi dan kekuatan ilahi, antara pengejaran musuh dan perlindungan Allah.

Pertanyaan yang bisa diajukan dalam perspektif ini adalah: apakah gua ini “sekadar” atau benar-benar “tempat perlindungan”? Atau, apakah gua ini justru mencerminkan keterbatasan manusia yang hanya mampu berlindung di ruang sempit, sementara pertolongan sejati yang datang dari Allah bisa terjadi di setiap ruang? Dalam konteks ini gua mencerminkan paradoks yang mendalam: di satu sisi, ia adalah simbol dari kerentanan manusia yang terdesak ke ruang yang sempit dan terbatas, tetapi di sisi lain, gua menjadi tempat yang lapang ketika manifestasi ketenangan diberikan Allah. Keberadaan gua menggambarkan dualitas eksistensial manusia—antara kelemahan fisik yang terikat ruang-waktu dan kekuatan spiritual yang datang dari iman kepada Allah.

Selain itu, gua juga mengajarkan bahwa perlindungan sejati tidak terletak pada fisik tempatnya, melainkan pada makna yang lebih besar: kehadiran Allah. Dengan demikian, gua menjadi simbol keberanian yang lahir dari keimanan, bukan dari rasa aman semata. Gua menjadi saksi perubahan—dari ketakutan yang manusiawi menjadi ketenangan yang ilahi. Dalam ruang ambigu inilah manusia diajak untuk menyadari bahwa segala keterbatasan dapat berubah menjadi kekuatan jika disandarkan kepada Allah.

Frasa “Janganlah Engkau Bersedih”

Ketika Nabi Muhammad SAW berkata kepada Abu Bakar RA, “Lā taḥzan” (janganlah engkau bersedih), ungkapan ini sering ditafsirkan sebagai bentuk penghiburan dan penguatan iman. Namun, dalam perspektif pemaknaan yang mendalam, kita dapat bertanya: mengapa ada perintah untuk tidak bersedih? Apakah kesedihan itu dianggap lemah, atau justru kesedihan adalah bagian alami dari proses penyerahan diri kepada Allah?

Pertanyaan di atas memungkinkan kita untuk melihat bahwa perintah ini bukan sekadar larangan terhadap kesedihan, tetapi juga pengakuan akan adanya kesedihan. Dengan kata lain, Allah tidak meniadakan realitas emosi manusia, melainkan menghadirkan kesadaran bahwa kesedihan itu harus ditransendensikan dengan keyakinan pada pertolongan-Nya. Dalam kontradiksi ini, keindahan makna muncul: kesedihan tidak dihapuskan, tetapi dimaknai ulang, dilangitkan, “di-Allah-kan.” 

Allah Bersama Kita: Keberadaan dalam Ketiadaan

Frasa “Allah bersama kita” (“innallāha ma’anā”) adalah inti spiritual dari ayat ini. Kita dapat memberikan penekanan bahwa kehadiran Allah yang bersifat metafisik memang tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak terindra. Namun, justru dalam “ketidakhadiran” Allah secara fisik, kehadiran-Nya menjadi lebih nyata.

Pernyataan ini membuka ruang pemikiran bahwa keberadaan Allah bukanlah sesuatu yang bersifat material atau terikat oleh ruang-waktu. Kehadiran-Nya yang tidak terdefinisi secara fisik dan akal justru menantang kita untuk memahami makna keberadaan yang melampaui batas indrawi dan akal. Kontradiksi antara keberadaan dan ketiadaan ini bukanlah sesuatu yang harus diselesaikan secara rasional, tetapi diyakini sebagai inti dari hubungan manusia dengan Tuhan di alam spiritual.

Bala Tentara yang Tidak Terlihat

Ayat ini juga menyebut tentang bala tentara Allah yang tidak terlihat (“junūdan lam tarauhā”). Apa yang dimaksud dengan bala tentara ini? Secara tradisional ini dipahami sebagai para malaikat yang membantu Nabi SAW. Namun, kita dapat  membuka kemungkinan makna lain: bahwa bala tentara yang tidak terlihat ini adalah simbol kekuatan ilahi yang tidak dapat didefinisikan atau dipahami secara logis oleh manusia.

Konsep ini menantang kita untuk memikirkan ulang apa yang dimaksud dengan “pertolongan”. Apakah pertolongan Allah harus selalu berbentuk fisik dan terlihat? Ataukah pertolongan itu justru hadir dalam bentuk keyakinan, keberanian, dan ketenangan yang ditanamkan dalam hati manusia? Dalam ambiguitas ini makna menjadi kaya dan tidak terbatas. Setiap manusia menemukan pengalaman ditolong oleh Allah melalui momentum yang autentik dan tidak disangka-sangka (min haitsu laa yahtasib).

Membuka Ruang Interpretasi Baru

Saya tidak bermaksud meruntuhkan keimanan atau keyakinan terhadap makna tradisional ayat ini. Sebaliknya, pendekatan ini mengajak kita untuk melihat dimensi-dimensi lain yang mungkin selama ini terlewatkan. Surat At-Taubah ayat 40 bukan sekadar narasi sejarah, tetapi cerminan kompleksitas hubungan manusia dengan Tuhan, antara ketakutan, harapan, dan keyakinan, antara keterbatasan manusia dan keagungan Allah.

Saya meyakini makna serangkaian teks tidak pernah final. Surat At Taubah ayat 40 tengah berbicara kepada kita sambil menabur-naburkan pesan yang relevan dengan konteks dan pengalaman kita masing-masing. Dalam “gua” kehidupan kita, dalam gua duka derita kita, dalam gua Maiyah—ketika kita merasa terpojok dan tak berdaya—ayat ini mengingatkan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang selalu bersama kita. Allah, dalam keberadaan-Nya yang Maha Ghaib, hadir untuk memberikan ketenangan dan pertolongan di saat-saat yang paling genting.

Menutup diskusi ini, alangkah indah jika kita kembali merenungi dan mengalami pesan Mbah Nun: “Saya ke sini untuk mengajak acak cucu saya semua untuk meneguhkan pemusatan perhatian hidup kita kepada Maiyatullah wa Maiyatur-Rasul. Saya hadir tidak untuk menolong Anda, melainkan mengajak Anda untuk bersama-sama minta tolong kepada Allah dan atau melalui Rasulullah. Harap ingat, Rasulullahnya bukan saya melainkan Nabi Muhammad Saw.” (Ngemis-Ngemis Tiada Tara)

Jombang, 21 Desember 2024

Lainnya

Topik