Seperempat Abad Mocopat Syafaat
Seperempat abad, bagi saya terasa lebih gagah, bijaksana, berpengalaman dan berwibawa dibanding dua puluh lima tahun, bila itu diatribusikan kepada selain manusia. Sementara bila usiamu saat ini dua puluh lima tahun, sepertinya kamu enggak akan mau dibilang berumur seperempat abad, karena akan terasa tua. Memang, meskipun terlihat gagah, tapi kamu belum tentu bijak dan berwibawa. Pengalaman hidupmu belum banyak. Atau, jangan-jangan mungkin kamu masih pengangguran karena sekarang sedang sulit mendapatkan pekerjaan, kecuali bapakmu presiden!
Demikianlah, pada Juni 2024 ini, Mocopat Syafaat diperjalankan menjejaki waktu hingga seperempat abad. Seperti yang saya ungkapkan di awal, ada rasa bijak, wibawa, dan berpengalaman yang melekat di angka ini. Saya jadi ingin menuliskan sesuatu tentangnya.
Dari lima majelis ilmu Maiyah berusia senior, saya melihat ada dua perbedaan di antara kelimanya. Mocopat Syafaat, sama seperti ibu ilmu Maiyah, Padhangmbulan, digerakkan oleh keluarga Mbah Nun dan Progress. Ini berbeda dengan Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, dan Bangbang Wetan yang digerakkan oleh pegiat simpul.
Dalam dialognya dengan Mbah Nun, Om Sabrang mengatakan bahwa majelis-majelis ilmu Maiyah laiknya wajan. Mereka menjadi tempat segala macam gagasan, uneg-uneg, kritik, ilmu dari semua hadirin dimasak bersama-sama. Racikan bumbu dan komposisi bahan baku disinaui bareng supaya menghasilkan “makanan” ilmu yang mengundang selera, bergizi, dan tentunya enak.
Melanjutkan ibarat itu, ada yang mutlak diperlukan agar proses memasak bisa berjalan: kompor. Nah, untuk bisa hidup, kompor tentu butuh bahan bakar. Ia bisa berupa kayu bakar, minyak tanah, arang, atau gas. Tersedianya segala bahan bakar itu memerlukan biaya yang nyata senyata-nyatanya. Biaya mandiri. Pegiat simpul adalah mereka yang menyediakan kompor ini. Dalam konteks Padhangmbulan dan Mocopat Syafaat, “penggiat” itu adalah keluarga Mbah Nun dan Progress.
Selain perbedaan ‘para penyedia dan operator kompor’, dalam hemat saya ada pembeda berikutnya. Yaitu bahwa Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, dan Bangbang Wetan lebih punya ‘kesadaran ulang tahun’. Sementara Padhangmbulan dan Mocopat Syafaat tidak memiliki kesadaran perayaan hari jadi seperti itu. Semua berjalan begitu saja dan tanpa terasa Padhangmbulan sudah berjalan 30 tahun. Mocopat Syafaat telah melangkah 25 tahun.
Mungkin ketidaksadaran akan ulang tahun ini memang mengikuti nature-nya Mbah Nun dan keluarga Menturo yang memang tidak memiliki budaya ulang tahun sepanjang sejarah hidup mereka. Maka tidak heran bila selama dua puluh tahun lebih, Progress lebih banyak amnesia setiap sedang berada pada tanggal didirikannya: 27 Maret. Sekalinya ingat, terus ingin syukuran, paling pol ya makan lotek bersama, seperti hari-hari biasa. Karena lotek adalah kasta tertinggi dalam peradaban makanan di Progress.
Maka, saya ingin tegaskan, tulisan ini bukan dalam rangka merayakan ulang tahun. Ini hanya sekedar penanda dalam jejak perjalanan Mocopat Syafaat yang mulai melangkahkan kakinya sejak 17 Juni 1999. Tentang sejarah Mocopat Syafaat, Mbah Nun pernah meminta Mas Helmi dan bapak-bapak KiaiKanjeng untuk menceritakannya. Itu terjadi pada gelaran Mocopat Syafaat pada Januari 2023. Teman-teman bisa menyimaknya sendiri di YouTube.
***
Dalam penanda kali ini, saya ingin mentadabburi nama Mocopat Syafaat, khususnya kata ‘mocopat’.
Mocopat adalah sebuah bentuk puisi dalam khazanah peradaban Jawa. Ia dikreasi pada masa Wali Songo. Aslinya, ia ditulis ‘macapat’. Sedangkan penulisan ‘mocopat’ mengikuti vokal pengucapan. Tak ada perbedaan substansial dari keduanya.
Mocopat memiliki berbagai pola susunan kata, kalimat, baris, irama dan sajak. Ia juga memiliki beragam metrum yang dikelompokkan mengikuti watak isinya. Wali Sanga menciptakan sebelas metrum untuk menjelaskan perjalanan hidup manusia dari Allah, lahir sampai kembali kepada Allah lagi. Kesebelas metrum itu adalah maskumambang (ruh janin), mijil (kelahiran), sinom (anak-anak), kinanthi (remaja penuh cita-cita), asmaradana (dipenuhi cinta), gambuh (menikah), dhandanggula (hidup mapan), durma (penuh derma manfaat), pangkur (tantangan mengelola hawa nafsu), megatruh (meninggal) dan, yang terakhir, pocung (dikubur terbungkus kafan). Saya tidak akan membahas ini satu per satu. Seperti yang saya katakan di awal, saya ingin mentadabburi arti mocopat itu sendiri.
Mocopat bisa dimaknai banyak. Saya ambil satu dari sekian arti mocopat, yaitu moco papat-papat (membaca empat-empat). Secara sederhana, ‘empat-empat’ ini lebih gampang dimaknai sebagai cara membaca puisi yang terjalin tiap empat suku kata. Puisi mocopat harus ditulis mengikuti paugeran atau kaidah yang telah ditetapkan. Yaitu mengikuti usur guru gatra (jumlah baris pada tiap bait); guru wilangan (jumlah suku kata pada setiap baris; dan guru lagu (suara vokal pada tiap akhir baris atau rima).
Dalam penanda seperempat abad Mocopat Syafaat kali ini, saya ingin menyorot makna filosofis dari ‘membaca empat-empat’ di atas. Tentu ada banyak sekali bentuk ‘empat hal’ yang bisa “dibaca” dalam kehidupan ini. Saya ambilkan satu bentuk yang melekat pada diri kita yang sering juga diwedar oleh Mbah Nun, yakni sedulur papat limo pancer.
Sampai di sini, ternyata masih banyak juga pilihan pendekatan atas sedulur papat. Dari banyaknya pilihan ini, saya persilakan pembaca yang dirahmati Allah untuk memilih sendiri. Misalnya, ‘empat’ dalam sedulur papat itu bisa dimaknai sebagai karakter setiap khulafaur rasyidin yang empat. Atau, empat jenis manusia dalam konteks mengerti tidaknya atas sesuatu. Bisa juga kakang kawah, adi ari-ari, getih, dan puser. Mungkin juga empat malaikat yang menemanimu. Para penggemar Avatar bisa menyambungkannya dengan empat unsur: udara, tanah, air, api. Atau, ia bisa merujuk ke empat nafsu dalam diri kita: amarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Apapun itu, pada intinya, momen seperempat abad ini bisa kita gunakan sebagai pengingat untuk selalu sinau kewaspadaan, dalam arti membaca sedulur papat dalam diri kita. Ini dengan harapan semoga dalam perjalanan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, kita selalu diberikan syafaat oleh pancer kita: Allah Swt.
Demikian, mudah-mudahan kita tidak bingung akan sinau apa ketika nanti hadir di Mocopat Syafaat.[]
Chicago, 17 Juni 2024