Sapta Pancitra Ratu
TEMA diskusi Lingkar Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung bersamaan dengan peringatan milad yang ke-7 (tujuh) di base camp Boyolangu (di rumah saya) pada Jumat malam atau malam Sabtu Legi (16/12) lalu yaitu mengangkat Sapta Pancitra Ratu. Tentu, tema tersebut dikaitkan dengan momentum jelang pemilihan pemimpin di republik ini. Namun, sebelum diskusi berlangsung, para jamaah dipimpin Dhiya As-Shidiqy selaku kordinator lingkar Maiyah SWA Tulungagung mengirim hadiah Al-Fatihah terlebih dahulu kepada para Marjak, yaitu alm. Fuad Effendy (Malang), budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), alm. Syekh KH. Nursamad Kamba (Bandung), dan alm. Kyai Muzammil (Yogyakarta). Maiyah SWA Tulungagung yang dideklarasikan tanggal 17 Desember 2016 itu kini sudah berusia 7 tahun; ibarat usia anak kecil yang masih baru memasuki sekolah dasar (SD). Meski demikian, selama 7 tahun pula, para jamaah Maiyah SWA Tulungagung senantiasa mengadakan diskusi bulanan tiap malam Setu Legi secara rutin dan istiqomah.
Momentum milad Maiyah SWA (Seni Wilasa Agung) yang ke-7 itu setidaknya ada harapan yang sesuai dengan simbol bilangan angka 7 yang memiliki makna identik dengan pandhita (begawan, kyai, dst) atau orang yang berilmu mendalam dan dhuwur (tinggi) yaitu memiliki martabat yang tinggi. Dan, kebetulan rumah saya nomer 7 di Boyolangu Tulungagung.
Tema diskusi milad ke-7 Maiyah SWA Tulungagung pada malam Setu Legi itu, yakni Sapta Pancitra Ratu yang identik dengan tujuh citra seorang pemimpin. Berbicara mengenai kepemimpinan, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Cak Nun di berbagai kesempatan, sebenarnya syarat menjadi seorang pemimpin itu ada tiga, yakni;
Pertama, memiliki kebersihan hati (spiritual).
Kedua, memiliki kecerdasan (intelektual).
Ketiga, memiliki keberanian (mental).
Perspektif kepemimpinan tersebut tentu didasarkan pada gambaran kepemimpinan para Rasul/Nabi Allah sejak Nabi Adam a.s hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tetapi sayangnya, betapa banyaknya para pemimpin di negara kita yang hanya memiliki satu syarat saja dari tiga syarat itu, sehingga mereka identik dengan pemimpin sepertiga. Ada kalanya si pemimpin memiliki kebersihan hati (spiritual), tetapi tak memiliki kecerdasan dan keberanian. Ada pula yang memiliki kecerdasan, tetapi tidak dibarengi dengan kebersihan hati dan keberanian. Dan, lebih fatal lagi kalau modalnya hanya berani atau memiliki mental keberanian saja tanpa dibarengi dengan spiritualitas dan intelektualitas. Kalau pada masa Orde Baru dulu sering disebutkan bahwa syarat menjadi pemimpin itu harus capable, credible, dan acceptable. Dan, yang sekarang lagi ngetren mengenai syarat menjadi pemimpin seperti yang sering disampaikan Rocky Gerung yaitu bahwa semestinya syarat etikabilitas dan intelektualitas itu mendahului electabilitas. Tidak seperti sekarang, karena selalu diukur oleh hasil survey, maka electabilitas menjadi segala-galanya, bahkan mengabaikan etikabilitas dan intelektualitas.
Berbicara mengenai Sapta Pancitra Ratu nampaknya identik dengan 7 citra pemimpin sebagaimana perspektif mata batin Prabu Jaya Baya yang kemudian diunggah kembali oleh pujangga Jawa, Ki Rangga Warsita, yakni;
Pertama, Satriya kinunjara murwa kuncara (pemimpin yang lama dipenjara sekitar 12 tahun, tetapi namanya harum ke dunia atau internaional) yang ternyata identik dengan pemimpin pertama atau presiden RI pertama yaitu Bung Karno.
Kedua, Satriya mukti wibawa, kesampar kesandhung (pemimpin yang kaya-raya dan berwibawa, tetapi akhir dari kepemimpinannya dilengserkan dari kekuasaannya) yang ternyata identik dengan Pak Harto, presiden kedua.
Ketiga, Satriya jinumput sumela atur (pemimpin yang proses pengangkatannya hanya menggantikan saja atau langsung menempati posisi itu saja, tetapi pada masa kepemimpinannya paling banyak terjadi demontrasi atau unjuk rasa sebagai konsekuensi dibukanya kran kebebasan atau demokrasi pada saat itu yang ternyata identik dengan Presiden ketiga yaitu BJ Habibie.
Keempat, Satriya piningit hamong tuwuh (pemimpin sebagai capres alternatif saat itu karena capres utamanya BJ Habibie dan Mbak Megawati, yang memiliki empati dan kepedulian terhadap rakyat kecil yang ternyata identik dengan Presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Kelima, Satriya boyong pambukaning gapura (pemimpin yang boyong atau pindah dari rumah pribadinya ke rumahnya dekat ibukota dan pada masa kepemimpinannya terdapat perubahan besar-besaran mengenai amandemen UUD 1945 sehingga terdapat perubahan dalam demokrasi, salah satunya pemilihan presiden, gubernur dan bupati/wali kota secara langsung oleh rakyat) yang ternyata identik dengan Presiden Mbak Megawati.
Keenam, Satriya lelana brata milang kori (pemimpin yang senantiasa eksis di beberapa masa kepemimpinan, baik sebelum maupun sesudah masa kepemimpinannya, tetapi pada masa kekuasaannya sering terjadi berbagai bencana baik di darat udara dan laut sehingga harus dibarengi dengan keprihatinan yang ternyata identik dengan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).
Ketujuh, Satriya pinandhita sinisihan wahyu (pemimpin dengan sosok yang sederhana atau bersahaja sehingga dicintai rakyatnya, yang berdampingan dengan wahyu keprabon) yang ternyata identik dengan Presiden Jokowi.
Dengan mengacu kepemimpinan dengan kriteria poin 1-7 tersebut nampaknya sinkron juga kepemimpinan di republik ini sejak presiden pertama hingga presiden ketujuh sekarang. Meski demikian, apakah mesti seperti itu? Boleh jadi, perspektif tujuh citra kepemimpinan di Nusantara dalam pandangan mata batin Prabu Jaya Baya atau dikatakan sebagai Sapta pancitra Ratu tersebut diarahkan dalam seorang person atau seorang pemimpin yang sempurna dengan melewati fase atau tahapan dari poin pertama hingga ketujuh. Yakni dari fase satriya kinunjara murwa kuncara yang mengisyaratkan pemimpin yang lara-lapa atau penuh dengan ekspresi keprihatinan hingga mencapai fase ketujuh (terakhir) yaitu satriya pinandhita sinisihan wahyu (pemimpin yang sederhana dan dicintai rakyat yang senantiasa berdekatan dengan wahyu). Dengan demikian, masing-masing kriteria dalam Sapta pancitra Ratu tersebut bukan identik atau mengacu pada sosok perseorangan (individu), tetapi menjadi satu-kesatuan dalam kepribadian seorang pemimpin. Wallahu a’lam.