CakNun.com

Pseudo Kedaulatan Rakyat

Totok Yudiadnanto
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Rafli Firmansyah on Unsplash

Ungkapan rakyat selalu menjadi anak tiri, yang sering dipermainkan dan diperlakukan tidak adil adalah sejarah yang terus berulang hingga sekarang. Sama rata sama rasa sebagai nilai fundamental komunis praktiknya dikendalikan politbiro yang kekuasaan dan kekayaannya berlimpah.

Sementara di dunia kapitalis, para pemilik modallah yang mendominasi pusaran kekuasaan ekonomi dan politik sebuah negara. Rakyat selalu menjadi obyek bagi elit, yang bisa dikendalikan dan diarahkan sesuai keinginan hasrat kekuasaan. Rakyat diberi sedikit, mereka mengambil banyak dan seringkali itu cukup untuk menidurkan daya kritis atas penderitaan, ketidakadilan dan keburaman masa depan yang dirasakan.

Seiring zaman, penguasaan elit terus bermetamorfosa. Era keterbukaan dan informasi teknologi media mengharuskan mencari cara mempertahankan eksistensi kekuasaan dengan menyamar dan bermain di balik layar demokrasi. Sistem hukum dan demokrasi bisa ditekuk-tekuk, diulur-ulur, disisipi, dipotong, ditambahi agar sesuai dengan rencana. Dominasi dukungan diupayakan berbagai cara termasuk menciptakan polarisasi yang menyedot melemahkan energi rakyat. Sementara ketua-ketua partai seperti raja-raja kecil berikut kultur feodalistiknya yang memiliki kekuasaan besar yang bisa memberhentikan dan menunjuk seseorang untuk sebuah jabatan partai. Paslon pemimpin daerah atau pusat pun harus “sowan” dulu ke ketua partai agar pencalonan resmi.

Vox populi vox dei seperti yang sering digaungkan para demokrat menjadi hanya sebuah ungkapan utopis demokratis tak nyata. Vox populi direkayasa untuk ambisi berkuasa. Aturan tertinggi yang menyatakan kedaulatan di tangan rakyat hanyalah de jure ataupun setengah-setengah saja. Rakyat dipaksa untuk hanya punya 3 pilihan yg ditetapkan oleh para elit melalui aturan batas yang justru memunggungi demokrasi, presidential thresholds, sebuah aturan yang tidak ada dalam sistem demokrasi di negara manapun di dunia, sekalipun di Amerika Serikat yang konon negara paling demokratis sejagad.

Syarat batas tersebut menginfeksi sistem dengan tentakel-tentakel yang menjalar, mempengaruhi perilaku berdemokrasi di semua sendi bernegara yang berpotensi penyalahgunaan sistem politik atau pemilihan, rentan korupsi, jual beli suara atau jabatan dan ketidaksetaraan akses yang membuat proses berjalan tidak adil dan tidak mencerminkan kehendak sejati pemilih. Dampaknya akan menjerat langkah pemimpin terpilih selama 5 tahun ke depan dan berpengaruh pada kebijakan-kebijakannya karena tersandera kontrak politik dan hutang budi, baik dengan elit partai maupun pemodal swasta.

Prinsip demokrasi yang menegaskan bahwa kehendak rakyat seharusnya menjadi kehendak yang mengendalikan atau menentukan kebijakan politik menjadi tidak aktual. Kedaulatan rakyat tidak benar-benar nyata namun ditentukan oleh sekelompok kecil orang. Pseudo kedaulatan rakyat sedang dihingarbingarkan dalam wujud pilpres dan pileg dianggap sebagai “tugas suci” berbangsa dan bernegara. Sementara para demokrat berujar tak ada rotan akar pun tak apalah, lebih baik setengah-setengah daripada tidak sama sekali.

Kondisi sungsang demokrasi tersebut menjadi sangatlah mudah untuk dikendalikan dengan dana dan kekuasaan. Konon sedemikian besarnya kekuasaan, siapa yang akan menang sebenarnya sudah diketahui sebelum pilpres, seloroh seorang pejabat negara tetangga beberapa waktu lalu.

Dengan penguasaan besar, dana tidak terbatas akan mampu untuk melemahkan oposisi, membungkam suara, memanipulasi citra, menggunakan fasilitas negara dan mobilisasi instansi untuk kepentingan kelompok, mengebiri akademisi, memutar kiblat para ahli agama yang pada ujungnya adalah totaliterianisme. Seperti halnya Fir’aun memerintah, bedanya Fir’aun “Zaman Now” bertubuh demokrasi setengah-setengah, dibungkus feodalisme yang halus, sopan santun dan basa basi, tapi brutal. Budaya nenek moyang yang sublim implementasinya kamuflase pembodohan dan tipu daya.

Namun ada yang mereka lewatkan, sebagaimana Israel yang pongah dengan kekuatan penuhnya, firmly confirmed dapat menguasai Gaza tapi hingga saat ini justru mereka hanya memperlihatkan wajah bopeng di mata dunia dan Gaza masih melawan dengan gagah. Israel juga meleset membaca kekuatan riil “vox populi medsos”. Laju perkembangan medsos tidak terkejar oleh pembacaan para elit. Kata Gaza dan Palestina diucapkan berkali lipat di medsos dibanding kata Israel sementara demonstrasi pro Palestina digelar secara global dari New Zealand, Australia hingga Amerika, dari South Africa, Chile di Selatan hingga Kanada, Finlandia, Rusia di Utara.

Opini masif global ini adalah gelombang kekuatan riil tersembunyi yang bisa memadat muncul kapan saja pada waktunya. Dan ini adalah salah satu indikasi nyata bekerjanya “kekuatan tak terlihat” yang tidak sepenuhnya disadari oleh para elit baik nasional maupun global.

Dua minggu sebelum pilpres, salah satu kubu paslon menyatakan sudah pasti akan menang satu putaran dengan angka 52%. Bisa jadi, karena seluruh kekuatan telah terkonsolidasi, mayoritas survei menujukkannya, dukungan partai mayoritas sudah sekubu, tapi bisa juga tidak karena kekuatan ambisius mungkin justru yang akan menenggelamkannya. Kepastian-kepastian matematik tidak mesti paralel dengan kepastian-kepastian politik. Tank tercanggih sedunia, Merkava, menjadi peti mati ribuan tentara IDF.

Ataukah jangan-jangan pernyataan itu secara tidak langsung adalah sebuah bentuk klaim penuhanan diri?, sebuah titik dimana keruntuhan dimulai. Gusti Allah mboten sare, begitu kata orang Jawa dan apa yang ditanam akan dituai. Fir’aun bersama sistemnya ditenggelamkan ketika mengejar memasuki lautan kemurnian mereka yang teraniaya, tentang saatnya, mungkin dalam beberapa hari ke depan, bulan atau tahun yang pasti di waktu yang tepat. Seolah alam berkata, dunia ini tidak akan lebih baik oleh analisis-analisismu, prasangka-prasangkamu, strategi-strategimu tapi dunia akan lebih baik dengan caranya sendiri. Dunia sedang menuju kehancuran sekaligus kelahiran baru. Vox populi vox dei, dan Dei pun berkata, “Siapa bilang?”.

Banyon Klaten, 5 Februari 2024

Lainnya

Topik