Pergeseran Tata Nilai
Beberapa bulan terakhir ini saya agak sering wira-wiri, nyeberang pulau di daerah-daerah luar Jawa, untuk suatu kepentingan yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam perjalanan wira-wiri ini, saya menjumpai ada banyak perbedaan di antara daerah atau kota yang saya singgahi, baik dari struktur geografi, budaya maupun hasil pertanian, termasuk masakannya.
Namun ada pula kesamaannya. Apa kesamaannya? Kesamaannya adalah banyak bertebaran baliho-baliho dalam berbagai ukuran. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang dibuat mewah, ada juga yang seadanya. Ada yang memasang foto formal, dengan jas, dasi dan tak lupa kopiahnya. Penting lho memakai kopiah ini, sebagai identitas orang Indonesia dan (yang lebih penting lagi) agar terkesan agamis. Nampak alim sekaligus tambah ganteng.
Namun ada pula yang memasang foto dengan memakai kostum baju daerahnya, barangkali untuk memikat orang yang melihat dengan cara menunjukkan keberpihakan dan kecintaanya pada budayanya.
Fenomena yang saya lihat ini adalah senomena yang umum terjadi, apakah itu di Makassar, Gorontalo, atau di Medan. Bahkan di Batam atau bahkan di Jakarta pun sama fenomenanya. Dalam mobil yang membawa kami dari bandara di Gorontalo menuju penginapan kami, saya ditanya oleh Mas Andi, pimpinan rombongan kami.
“Dot, piye pendapatmu tentang baliho-baliho kuwi?
“Maksudnya, Mas?” Saya balik bertanya.
“Apa maksudnya mereka memasang-masang foto mereka dalam bentuk baliho-baliho besar, yang tentu tidak memakan biaya yang sedikit?,” jelas dia.
Saya berpikir sejenak untuk mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan ini. Belum sempat saya menjawab, Mas Andi kembali bersuara.
“Piye yen fotomu dipasang dalam bentuk baliho koyo kuwi?”
“Haaaaah… Maturnuwun, Mas!” Jawab saya singkat.
“Yen aku kok isin ya Mas, siapakah aku….”
Saya pun terlibat dalam omongan yang sersan — serius serius santai.
“Mas, mereka itu memasang baliho-baliho itu dimaksudkan agar tekenal.”
“Lalu?” tanya Mas Andi.
“Lalu kalau sudah terkenal maka masyarakat yang melihat gambar orang di baliho tersebut akan terkesan, sehingga kesan tersebut akan dibawa sampai bilik suara, dengan harapan masyarakat akan memilihnya?” respons saya.
“Jadi… Memilih seseorang itu berdasar apakah terkenal atau tidak?”
“Yaaaa begitulah, Mas…!” sahut saya.
Zaman sekarang ini, di era medsos ini,enjadi terkenal itu sangat penting. Bahkan sangat penting. Parameter ‘nilai’ sekarang sudah sangat berubah. Karya seseorang, apakah itu berupa foto, tulisan, pidato atau video dinilai seberapa banyak ‘like’-nya. Bukan berdasarkan isi atau makna dari karyanya.
Seseorang akan dinilai berdasarkan berapa ratus ribu jumlah follower-nya.
Dalam hal ini, media sangat berperan dalam membantu dan menciptakan kondisi seperti yang terjadi sekarang ini. Tentu media juga berperan membantu menyebarkan hal-hal yang baik serta positif. Tinggal kita saja yang harus bijak menyikapi dan menggunakan media untuk kepentingan apa.
Saya jadi ingat salah sebuah kuliah Cak Nun bahwa dalam struktur masyarakat kita, sekarang sudah bergeser tata nilainya.
Dulu, menjadi orang bijak adalah sangat terhormat dan ditempatkan di tempat paling tinggi dalam struktur masyarakat. Orang bijak menjadi panutan, menjadi role model bahkan menjadi tumpuan pertanyaan dan tempat mengadu semua orang, bila dalam masyarakat tersebut ada masalah. Lapis berikutnya adalah orang pandai. Disusul orang kuat, orang berkuasa, dan yang terakhir adalah orang kaya.
Sekarang struktur itu sudah berubah dan terbalik.
Perubahannya ya itu tadi, menjadi terkenal adalah (SANGAT) penting, bahkan kadang tanpa mempertimbanglan bagaimana moral dan etikanya.
Orang kaya sekarang juga menjadi penting, karena dengan kekayaannya dia bisa ‘membeli’ kepopuleran. Sehingga dia bisa menempati struktur sosial teratas. Demikian juga orang yang berkuasa. Dengan kekuasaannya dia bisa menjadi kaya dan akhirnya juga terkenal. Orang pandai pun demikian juga. Dengan kepandaiannya dia bisa kaya dan seterusnya.
Zaman sudah berubah, tapi orang bijak tidak terpengaruh perubahan zaman.
Yogyakarta 8-10 Februari 2024