Pak Mif, Kepergian Seorang Guru IPA yang Kiai
Sabtu pagi (14 Desember 2024) pukul 05.00 WIB, salah seorang marja’ Maiyah dan guru kita semua, Mbah Mif (Miftachussurury), yang tak lain adalah kakak Mbah Nun, meninggalkan kita semua menghadap Allah Swt. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Hari itu pula siang menjelang waktu ashar jenazah beliau dimakamkan di Sentono Arum komplek Ndalem Mentoro Sumobito Jombang.
Bagi teman-teman di Kadipiro, Mbah Mif atau selama ini akrab dipanggil Cak Mif atau Pak Mif, bukanlah sosok yang asing, karena Mbah Mif adalah ayah dari sahabat kami, seorang fotografer dan dokumentator, yaitu Mas Adin Progress yang selama ini kita nikmati karya-karya fotografinya, foto-foto Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng, di CakNun.com dan IG: Gamelan KiaiKanjeng.
Dari Mbah Nun, kita tahu bahwa Mbah Mif adalah sosok pendidik tulen dan sepanjang hayat. Kala itu, di tengah menjalani kuliah di Fakultas Farmasi UGM, Mbah Mif remaja diminta pulang Sang Ayah (Mbah Muhammad) dan langsung didapuk memimpin rapat guru-guru sekolah yang didirikan keluarga Ayah Muhammad dan Bu Halimah di Mentoro.
Dalam keadaan tidak tahu apa-apa yang harus dibahas dan diurus dalam rapat itu, Mbah Mif dipaksa untuk “wis tho iso, iso!“. Tak ada pilihan lain, kecuali mengiyakan. Perintah seorang ayah pula. Momentum ini rupanya menjadi pintu awal proses regenerasi khidmat pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan keluarga Ayah Muhammad dan Ibunda Halimah. Karena, ternyata tidak lama berselang, Ayah Muhammad dipanggil oleh Allah Swt.
Kuliah di Fakultas Farmasi UGM pun akhirnya tak sampai selesai. Amanah meneruskan roda perjalanan lembaga pendidikan ada di tangan Mbah Mif. Sejak saat itu, Mbah Mif remaja mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Nama sekolah tersebut adalah Madrasah Islamiyah Mansya’ul Ulum. Kelak dalam perjalanannya, kiprah dalam dunia pendidikan yang dijalankan keluarga Ayah Muhammad dan Ibunda Halimah dengan anak-anak beliau terus bermetamorfosis dan berkembang sampai kini di antaranya dengan telah berdirinya SMK Global di Mentoro di bawah Yayasan Al-Muhammady.
***
Suatu ketika dalam acara di hadapan para guru, Mbah Nun memperkenalkan kepada para guru tersebut, bahwa kalau diperhatikan, DNA atau bidang kehidupan beliau dan saudara-saudara beliau adalah pendidikan. Mbah Fuad adalah dosen pendidikan Bahasa Arab di Universitas Negeri Malang dan pernah menjadi dekan. Merintis berdirinya Asosiasi guru-guru bahasa Arab di Indonesia yang bernama Ittihadul Mudarrisin lil Lughatil Arabiyah (IMLA). Sementara itu, Mbah Nas (Nasrul Ilah) juga sehari-hari bekerja sebagai seorang guru di Jombang sekaligus peneliti sejarah dan tradisi Jombang. Bu Inayah dan Bu Izzah — adik-adik putri Mbah Nun — menggawangi sekolah pendidikan dasar TKIT Alhamdulillah di Yogyakarta yang didirikan oleh Mbah Nun dan Ibu Novia Kolopaking.
Mbah Nun sendiri melalui cara yang berbeda — menulis di media massa, menggelar pengajian rutin Padhangmbulan hingga melatarbelakangi lahirnya pengajian-pengajian lain di banyak kota seperti Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Kenduri Cinta (Jakarta), dan Bangbang Wetan (Surabaya), berbicara dalam banyak forum nasional dan internasional, berkarya di dunia sastra dan kebudayaan, menjejakkan kiprah unik di dunia politik dan keummatan, keliling menggelar acara Sinau Bareng dari satu daerah ke daerah lain — juga tidak lain adalah dalam rangka menjalankan peran seorang guru, yang mengajarkan nilai dan perspektif mendasar kehidupan langsung kepada masyarakat dalam spektrum yang lebih luas dari sekolah dalam arti formal.
Di antara yang kerap menghadirkan Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng adalah juga dunia pendidikan, dari Universitas, SMA, hingga Pondok Pesantren. Dalam acara-acara tersebut Mbah Nun menunjukkan concern-nya terhadap masalah pendidikan dengan mendorong pentingnya guru-guru menerapkan konsep Ta’dib. Suatu pola pendekatan praktikal yang dilangsungkan untuk menggali dan mengeluarkan potensi-potensi terpendam anak-anak atau para siswa sekaligus proses penumbuhan karakter anak. Mbah Nun memberikan contoh langsung melalui workshop atau game yang mengajak siswa untuk aktif mengolah badan, pikiran, dan hatinya.
Dan Mbah Mif, seperti sudah kita sebut di awal adalah seorang pendidik sejati, yang “dipaksa” oleh keadaan untuk mengurus sekolah sejak dini, sejak sebenarnya belum waktunya bekerja, karena masih menimba ilmu di UGM. Takdir itu bergulir terus menapakkan kaki Mbah Mif di jalur pendidikan. Yang belakangan, ketika Mbah Nun dan keluarga Mentoro merintis berdirinya SMK Global, Mbah Mif adalah salah satu orang yang memegang peran penting dalam proses pendirian sekolah kejuruan atau vokasi tersebut dan kemudian selama beberapa tahun dipercaya menjadi kepala sekolahnya.
Sebelumnya, kiprah pendidikan Mbah Mif tidak hanya ngurusin sekolah di Mentoro, tetapi juga beliau mengajar sebagai guru senior di SMA Muhammadiyah 1 Jombang dan sebelumnya mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Jombang. Totalitas beliau di bidang pendidikan tidak hanya dengan menjadi guru, melainkan pernah menjadi “ketua” dari sebuah perkumpulan kepala-kepala sekolah di Jombang. Beliau menjadi marja’ pendidikan.
Suatu hari, beberapa bulan sebelum Mbah Mif gerah, saya berkesempatan bertemu beliau. Kendatipun beliau sosok yang gagah dan serius, namun ketika berbicang-bincang cukup ramah dan mengalir. Di tengah obrolan itu, saya bercerita tentang salah seorang guru saya: Pak Kusnadi namanya. Beliau adalah Kepala Sekolah SMA A. Wahid Hasyim Ponpes Tebuireng pada tahun 90-an — yang selepas menjabat sebagai kepala sekolah, beliau bertugas di Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang.
Saat saya sebut nama Pak Kusnadi beliau langsung berubah ekspresi wajahnya, menjadi lebih bersemangat lagi bercerita, karena ternyata Pak Kusnadi cukup dekat dengan beliau. Mbah Mif menuturkan, Pak Kusnadi sering bertemu beliau untuk meeting, berkonsultasi, atau sharing soal pengembangan pendidikan. Hal yang menebalkan bukti bahwa Mbah Mif adalah guru, pelaku, dan marja’ pendidikan di Jombang. Pengakuan lain datang dari salah satu keluarga besar Ndalem Mentoro yaitu Ustadz Fikri — adik-adik Mbah Nun memanggilnya Ami Fikri — yang saat pemakaman Mbah Mif beliau diminta memberikan sambutan mewakili keluarga.
Setelah menyampaikan hormat, ta’dhim, dan rasa kehilangan, Ami Fikri menegaskan bahwa Mbah Mif adalah teladan dalam jagat pendidikan — di mana tema belajar, pendidikan, dan menjadi guru, kata Ami Fikri, memerlukan porsi dua bab sendiri dalam Kitab Riyadhus Sholihin sebagai gambaran pentingnya ilmu dan pendidikan — Ami Fikri bercerita setiap kali bertemu Mbah Mif selalu yang dibicarakan tidak lain adalah soal pendidikan.
Demikian pula, sering saya mendengar pertemuan-pertemuan Mbah Nun dengan kakak-kakak dan adik-adik beliau baik itu di Jombang, Yogyakarta, maupun Malang, yang boleh dikata cukup besar prosentasenya merupakan agenda rembug dan koordinasi untuk menjawab kebutuhan, dinamika, dan tantangan-tantangan yang tengah dihadapi sekolah-sekolah beliau. Demikianlah core Mbah Nun dan saudara-saudara beliau, di mana Mbah Mif adalah satu yang terpenting dan dituakan.
***
Seperti apakah style Mbah Mif dalam mengajar? Tentu para murid-murid beliau dan guru-guru lain yang membersamai Mbah Mif memiliki banyak pengalaman yang layak dikisahkan. Tetapi, jejak keguruan Mbah Mif pernah saya dengar langsung dari beliau tanpa mungkin beliau menyadari, karena itu terjadi dalam obrolan santai.
Saat itu, lupa tahun berapa, saya hadir di Padhangmbulan. Selepas acara, saya bersegera pulang ke Jogja dengan naik bis. Oleh Cak Nang, saya disarankan ikut Mbah Mif yang akan pulang ke Jombang. Betul saja akhirnya, diajak bareng Mbah Mif menuju Jombang. Tengah malam itu, Mbah Mif menyetir sendiri mobilnya, menuju Jombang kota, dan sebelum beliau pulang ke rumah, terlebih dulu mengantar saya di depan Stasiun Jombang buat ngadang bis ke arah Jogja.
Sungguh bikin pakewuh, seharusnya saya cukup di-drop saja di pinggir jalan, itu pun tanpa Mbah Mif harus turun dari mobil. Culke gitu saja. Namun, yang terjadi sebaliknya. Mbah Mif turun, memarkir mobil, dan menunggu sampai saya dapat bis. Benar-benar salah tingkah saya. Siapalah saya ini. Tetapi itulah kemuliaan Mbah Mif. Agak lama menunggu datangnya bis, beberapa kali saya aturi beliau untuk meninggalkan saya, namun beliau tetap tidak mau. Subhanallah.
Dalam perjalanan dari Mentoro menuju Jombang dan selama menunggu bis itu, Mbah Mif banyak bercerita. Salah satunya, tidak sedikit anak-anak didiknya yang pernah merasakan dididik beliau belasan tahun silam, menemui beliau dan menyampaikan terima kasih bahwa berkat kedisiplinan yang diajarkan dan diterapkan oleh Mbah Mif sebagai guru, mereka dapat menjadi pribadi yang lebih baik, dan semua yang diajarkan Mbah Mif itu sangat membentuk kepribadian mereka dan itu bermanfaat di masa mereka memasuki dunia kerja.
Menekankan kedisiplinan dalam belajar dan memberikan contoh langsung. Itulah barangkali salah satu nilai yang diajarkan Mbah Mif dan patut diteladani oleh kita semua. Nilai semacam itu tentu sangat mendasar dan penting bagi pertumbuhan dan pembentukan karakter diri manusia. Pada awalnya kedisiplinan mungkin akan berat dijalani, karena jiwa kita lebih senang mengikuti hawa kemalasan. Tetapi, siapa yang enggan “menderita” oleh kedisiplinan, boleh jadi kelak akan menyesal karena tumbuh menjadi orang yang tidak kuat karakternya dan tidak menuai barokah dari riyadhoh kedisiplinan diri.
Di situlah, suatu hari dalam bincang-bincang di Rumah Maiyah Kadipiro, Mbah Nun menceritakan sosok Mbah Mif sebagai ayah atau orangtua bagi anak-anaknya. Mbah Nun menggambarkan, di masa kanak-kanaknya ketika anak-anak Mbah Mif menangis rewel, belum tentu langsung di-neng-neng-ke oleh Mbah Mif dan dituruti apa kemauannya atau bahkan dimanjakan. Yang terjadi, bocil-bocil itu dibiarkan saja sampai berhenti dan diam sendiri. Mbah Mif cukup tegen dan tatag untuk berlaku seperti itu, dan itu bukan tanpa hasil. Kata Mbah Nun, itulah salah satu pendekatan yang turut menumbuhkan anak-anak Mbah Mif menjadi orang-orang yang mandiri, survive, dan berdaya juang tinggi hingga saat ini.
Boleh jadi dalam kehidupan sehari-hari hubungan Mbah Mif dengan anak-anaknya tidak banyak diwarnai kehangatan-kehangatan komunikasi dan canda tawa layaknya anak dengan orangtuanya. Bicara-bicara mungkin seperlunya dan yang pokok-pokok saja, dan tampaknya hal itu juga sangat baik adanya. Seakan Mbah Mif mengajarkan bahwa yang terpenting anak-anak telah terbekali dengan tancapan-tancapan prinsip hidup yang telah ditanamkan orangtua sejak masa kecilnya. Maka ke-ta’dhim-an anak-anak beliau kepada orangtuanya adalah ke-ta’dhim-an yang sewajarnya tetapi sungguh-sungguh.
Ini tentu mengingatkan kita pada cerita lain dari Mbah Nun tentang Mbah Mif. Pernah beliau berdua naik kereta api zaman dahulu, di mana karena beliau berdua nggak kebagian tempat duduk, lalu berdiri berdua sambil tangan beliau gocekan besi di bawah plafon kereta. Sepanjang Jogja-Jombang tidak terjadi percakapan apa-apa, hanya satu potong kalimat puendek saja, “Kesel, Nun?”. Yang ditanya lalu menjawab dengan agak canggung dan kaku: “Hehe iyo, Cak!” Kita tahu dari cerita ini, bahwa Mbah Mif adalah sosok pendiam.
Namun, setelah saya renungkan lebih mendalam, Mbah Nun bukan sedang memotret Mbah Mif sebagai orang yang pendiam. Tidak. Sebab pada akhirnya, saya menangkap maksud Mbah Nun, bahwa sesungguhnya Mbah Mif adalah pribadi yang hanya akan berbicara tentang yang perlu dan penting-penting saja, tentang hal-hal yang beliau kuasai dan ketahui saja, alias entang apa yang menjadi kompetensinya. Suatu hal yang sangat langka di era media sosial (yang memfasilitasi orang bisa ngomong apa saja atau seenak saja) dan the death of expertise (tidak dipakainya lagi pakar, karena orang mudah mempercayai apa saja yang nongol di medsos tanpa filter kualifikasi kebenaran dan kompetensi) saat ini!
Satu lagi ihwal Mbah Mif sebagai seorang guru. Selain sebagai guru yang disiplin, pertanyaan lainnya adalah mata pelajaran apa saja yang beliau ampu? Beliau mengajar mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan pelajaran-pelajaran dalam rumpun eksakta atau IPA/Sains. Ini penting, karena ternyata iklim menggeluti pelajaran IPA/Sains ini menyumbangkan karakter beliau sebagai guru yang ternyata bukan hanya disiplin tetapi juga logis dalam berpendapat maupun sikap-sikap beliau itu.
Saya jadi ingat, saat perjalanan menuju Jombang bersama Mbah Mif usai pengajian Padhangmbulan yang saya ceritakan di atas, salah satu obrolannya adalah menyangkut Matematika. Ndilalah dunia media sosial kala itu sedang dihebohkan oleh topik 4×6 tidak sama dengan 6×4 — kalau tak salah ingat. Nah, di dalam mobil itu Mbah Mif membahas tema viral itu, dengan mengungkapkan perspektifnya yang unik tapi logis. Sayangnya, saya tak mampu mengingatnya dengan baik. Intinya berkisar pada kekurangutuhan pendidikan kita dalam mengintroduksi hakikat Matematika. Siswa kurang dikenalkan kepada apa yang ada di balik Matematika, yaitu keragaman atau macam-macam realitas yang dibahasakan oleh operasi Matematika.
Menariknya lagi, menurut pendapat Cak Nang, Mbah Mif yang background-nya adalah guru Matematika, Fisika, dan Kimia, ternyata dalam kesehariannya hingga saat sehari-hari memikul amanah sebagai kepala sekolah di SMK Global Mentoro dan hingga beberapa tahun kemudian sebelum meninggal dunia, profil kesehariannya ternyata lebih dekat sebagai seorang Kiai. Sebuah sisi yang mungkin tak banyak kita ketahui.
***
Pertemuan terakhir saya dengan Mbah Mif adalah saat KiaiKanjeng dan Teater The Jongos Dapoer Seni Djogja olahan Pak Toto Rahardjo dan kawan-kawan tampil di Padhangmbulan pada 19 Oktober 2024 lalu untuk turut mensyukuri Milad ke-31 Padhangmbulan. Saat itu, beliau duduk di teras Ndalem Padhangmbulan di tengah-tengah adik-adik beliau beserta keluarga. Beliau mengikuti Padhangmbulan malam itu dalam keadaan sudah menurun kondisi kesehatannya. Seperti para penggiat Padhangmbulan dan tamu-tamu lainnya, malam itu saya salim dan mencium tangan beliau.
Sampai berita itu tiba, di Sabtu pagi yang diliputi guyuran hujan sejak dini hari di Yogyakarta. Pun dalam perjalanan menuju Jombang bersama Cak Zakki, Mas Alay, dan Dik Arul, hujan terus mengguyur hingga siang hari. Saat menjelang pemakaman Mbah Mif, hujan mulai reda. Tiba di Ndalem Mentoro, kami segera ambil wudhu dan ikut shalat jenazah. Beriringan kami datang, Ibu Via pun juga tiba setelah terbang langsung dari Jakarta menuju Surabaya dan lanjut Jombang. Proses pemakaman Mbah Mif pun berlangsung lancar, cepat, tanpa kendala, bersahaja, tanpa aneka upacara, dan diiringi lantunan kalimat agung kalimat tauhid oleh Mbak Yuli.
Sugeng kundur, Mbah Mif…! Matursembah nuwun atas ilmu dan keteladanan yang Engkau berikan kepada kami semua.
Yogyakarta, 16 Desember 2024