Negeri Maiyah
Mocopat Syafaat edisi April lalu telah membahas GBHN (Garis Besar Haluan Nagari). Nagari atau desa ibarat satu sel pada tubuh besar bernama Negara. Nagari sebagai satu ekosistem kompleks memiliki lokalitas yang khas satu sama lain. Lokalitas tersebut merupakan rahmat untuk dikelola menjadi barokah, merupakan sumber daya untuk dikhalifahi sehingga menghasilkan kebermanfaatan yang berlanjut.
Negara sebagai tubuh besar amat tak terjangkau untuk dipikirkan bagi kebanyakan orang. Kita yang bukan siapa-siapa tentu kemekelen mikir negara. Tetapi nagari masih dalam rentang yang memungkinkan untuk dikelola dalam kolaborasi komunitas-komunitas warga di dalamnya bersama dengan pemerintah desa.
Ketika negara sedang tidak memiliki arah cakrawala tujuan yang jelas, nagari atau desa masih berpeluang untuk mengajak warganya menentukan cakrawala tujuannya. Namun seberapa mungkin peluang itu dapat ditempuh pada sistem politik dan aturan hukum yang berlaku saat ini?
“Maka setiap dan semua warga Negeri Maiyah adalah kaum Muhajirin sepanjang hidupnya, sekaligus kaum Anshor sepanjang usianya. Kalau mereka warga Indonesia, maka mereka tidak numpang, bergantung dan minta tolong kepada Indonesia. Melainkan memiliki bekal ilmu dan pengalaman, serta kesanggupan dan keikhlasan, untuk menolong Indonesia. Meskipun sekadar urusan sedebu di kampungnya.” (Kepemimpinan Hidup Warga Negeri Maiyah – EAN, 17 Februari 2018)
Maiyah sudah terang bagi kita sebagai Negeri. Bukan “Negeri “dalam kasunyatan kewilayahan fisik atau perkara geografis. Lepas dari kebakuan kamus, Mbah Nun sering menyampaikan di pelbagai gelaran sinau bareng bahwa Negeri adalah terminologi untuk dunia batin kita tentang suatu kebersamaan hidup.
Kita akan sinau bareng di Negeri Maiyah melanjutkan topik Nagari dalam rangka berupaya menjadi sel yang sehat di tubuh yang tengah tak sadar bahwa ia sakit.