CakNun.com

Napak Tilas Ngelmu Cak Nun, bersama Irfan Afifi di Michigan

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 9 menit

Pun pada episode-episode Maiyahan lainnya, baik sebelum maupun sesudah di Magelang itu, telah terentang panjang puluhan tahun Cak Nun mengajak masyarakat kepada kesadaran bahwa Jawa dan Islam itu ibarat tumbu ketemu tutup. Pas. Klik. Menyatu. Ini selaras dengan jawaban Bu Nancy ketika ditanya wartawan Kompas, mengapa tasawuf sangat kuat dalam mayoritas karya sastra Jawa abad ke-16 hingga ke-19. Dengan enteng ia menjawab singkat, “Karena jodoh…”

Kita diingatkan kembali bahwa piweling-piweling dari khazanah Jawa sejatinya sangatlah Islam. Satu yang paling pokok dan sangat mendasar adalah sangkan paraning dumadi, Innaa lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Piweling yang mendasar ini melekat kuat dalam diri saya. Ada satu periode ketika Cak Nun meminta saya dan Mas Helmi Mustofa untuk membuat bagan ilmu Maiyah. Beberapa waktu kemudian saya menggambarnya dalam kertas folio besar. Yang langsung terbersit di benak saya adalah membuat lingkaran.

Lingkaran itu dimulai dari sebuah titik, melingkar searah jarum jam. Saya menderet ilmu-ilmu yang sudah diajarkan Cak Nun dan cabang-cabang pembahasannya, yang berada segaris dengan lingkaran dan berakhir kembali ke titik semula. Dari Allah, kemudian Nur Muhammad, sampai kembali kepada Allah lagi. Itulah ngelmu yang menjadi lelaku hamba-hamba-Nya.

Bagan ini sudah pernah saya tunjukkan ke Cak Nun, dan beliau tidak membantah. Malah, beliau meminta saya untuk melanjutkan, yang sayangnya sampai detik ini belum juga selesai.

Amunisi, Legitimasi Ilmiah, dan Menjadi Otentik

Buku-buku hasil kerja keras Bu Nancy pada akhirnya menemukan posisinya dalam keterkaitannya dengan Cak Nun. Yaitu, menjadi amunisi tambahan dan legitimasi ilmiah atas upaya Cak Nun mengajak kembali kepada kesadaran kemenyatuan Jawa-Islam. Ini bukan berarti mengabaikan realitas sosiologis masyarakat Jawa hari ini, untuk kembali hidup seperti masa sebelum Abad ke-19 dan menolak modernitas. Namun, semuanya dipangku, atau didialektikakan seperti bagaimana musik Gamelan KiaiKanjeng bekerja. Atau, kalau pakai filosofi masyarakat Merapi: Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat.

Dalam laku dialektika itu, Cak Nun selalu menekankan pentingnya berdaulat dan menjadi otentik. Dua hal itu saya lihat juga ada pada diri Mas Irfan. Dalam perjalanan 5 jam menuju Ann Arbor itu, banyak hal kami perbincangkan, termasuk bagaimana dia sangat salut dan menghormati Cak Nun.

Ada masa dalam perjalanan hidupnya, Mas Irfan senantiasa menyimak pemikiran Cak Nun. Ia selalu terkaget. Tatkala permenungan dan pencariannya mencapai sebuah titik, ternyata Cak Nun sudah pernah mengatakan itu. Cak Nun selalu melampaui beberapa titik di depan. Akhirnya, karena saking sayangnya, mulai tahun 2010, dia memutuskan untuk “meninggalkan” Cak Nun, semata agar ia bisa menggali pemikirannya sendiri dan menjadi otentik.

Sejauh ini, saya melihat, Cak Nun dengan Maiyah dan Mas Irfan dengan Langgar.co-nya, keduanya, melakukan diagnosa atas pergeseran yang terjadi dalam lanskap cara pandang dan kebudayaan manusia hari ini, yang berhadapan dengan modernitas yang sekuler dan materialis.

Mereka mencoba mengajak bersama-sama mengkontruksi ulang cara pandang itu. Caranya adalah dengan berjangkar pada siapa kita sesungguhnya, yang terhubung dengan para leluhur melalui warisan mereka di satu sisi, dan tidak menolak hal-hal baru di sisi lain. Kerja-kerja seperti ini adalah kerja yang melalui jalan sunyi dan panjang, yang mungkin berbeda dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun ormas.

Mas Irfan memahami betul bahwa perjalanan Cak Nun di atas, yang berusaha mengkonstruksi masyarakat muslim Jawa hari ini dengan segala kompleksitasnya, akan mengundang resistensi. Untuk itu langkah dan pendekatan yang dilakukannya berbeda, walaupun esensinya sama. Mas Irfan, dalam hemat saya, lebih tidak konfrontatif. Apapun, saya melihat pada diri keduanya sebuah posisi yang melampaui NU maupun Muhammadiyah dalam lanskap Islam di tanah air.

Pada akhirnya, kepada teman-teman pembaca yang budiman, selain karya-karya Can Nun, sangat afdol untuk sinau hasil kerja Bu Nancy. Dan kiranya karya-karya Mas Irfan juga sangat perlu dipelajari, minimal dua bukunya, Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan, dan utamanya Saya, Jawa, dan Islam

Ketiga tokoh ini, bagi saya, memiliki jangkar yang jelas, kokoh, dan dalam, yang menghidupi tulisan-tulisan mereka. Kita tidak meragukan kejawaan dan keislaman Cak Nun dan Mas Irfan. Bu Nancy pun ternyata juga sungguh-sungguh menghidupi dua hal itu.

Demikianlah cerita sentimentil saya dalam melihat “pertemuan” Cak Nun, Bu Nancy, dan Mas Irfan yang indah di Michigan.[]

Chicago, 27 Maret 2024

Jamal Jufree Ahmad
Staff Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng. Redaktur dan desainer grafis CAKNUN.COM. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:

Lainnya