CakNun.com

Napak Tilas Ngelmu Cak Nun, bersama Irfan Afifi di Michigan

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 9 menit

Syukuran ini tentu bukan seperti kenduri di tanah air, melainkan simposium satu setengah hari. Acara dimulai dengan pembukaan pada Ahad sore, berlanjut dengan lima panel diskusi pada Senin keesokan harinya. Pemaparan makalah dan diskusi dilakukan seluruhnya di hadapan Bu Nancy. Para pemakalah ini merupakan murid-murid dan kolega-sahabat beliau, para peneliti nusantara yang terinspirasi oleh karya dan dedikasi penuh beliau. Semuanya adalah profesor di kampus masing-masing tempat mereka mengabdi (Alberta, Leiden, Yerussalem, Amerika Serikat).

Mereka adalah Ismail Fajrie Alatas, Webb Keane, Tony Day, Ronit Ricci, Julia Byl, Marc Benamou, Verena Meyer, Ben Arps, Daniel Andrew Birchok, Willem van der Molen, Els Bogaerts, dan Shazad Bashir. Semuanya telah menempuh studi doktoral yang panjang dan melelahkan di Amerika atau Eropa. Hanya satu figur yang berbeda, pemakalah lulusan S1 Filsafat Universitas Gajah Mada, yang tapi karya dan pemikiran serta laku hidupnya mengandung kualitas seorang doktor: Mas Irfan Afifi. Ia bahkan menjadi bagian dari sebuah kajian dalam penelitian doktoral seseorang di Eropa.

Narasi Sarjana Kolonial

Setelah dipicu oleh rintik salju tadi, titik sentimental saya tersentuh oleh keterkaitan antara Cak Nun, Mas Irfan, dan Bu Nancy. Semua bermula dari salah satu artikel Bu Nancy yang diterjemahkan oleh Mas Irfan dalam buku Jawa-Islam, “Menulis Tradisi di Masa Kolonial Jawa: Pertanyaan Terkait Islam”. Kandungan tulisan ini bagi saya mengejutkan sekaligus menyenangkan dan mencerahkan.

Mengejutkan karena tesis utama Bu Nancy menghantam narasi bentukan sarjana kolonial Belanda yang mengatakan bahwa Jawa dan Islam bertentangan dan berseteru. Mereka menyimpulkan bahwa Islam hanya lapisan tipis dari kebudayaan Jawa Hindu-Buddha. Bu Nancy melalui penelitian atas naskah-naskah Jawa kuno justru membuktikan sebaliknya, bahwa Jawa dan Islam telah manunggal, menyatu menjadi sebuah kesatuan.

Adalah sangat menyenangkan dan mencerahkan bisa mengetahui bahwa empat generasi keluarga pujangga Yasadipura/Ranggawarsita dari Keraton Surakarta yang masyhur itu, merupakan saksi besar bahwa Islam menyatu dalam keyakinan beragama orang Jawa. Ini bisa dibaca dalam semua karya sastra mereka. Ditambah, mulai Yasadipura I (abad ke-18) sampai Ranggawarsita III (abad ke-19), semuanya belajar di pesantren. Keluarga ini adalah keluarga santri. Mereka sinau sastra Jawa dan bahasa Arab di Pesantren Tegalsari, Ponorogo-Jawa Timur.

Karya-karya mereka mengandung khazanah kesusastraan sufi Jawa-Islam. Sebut saja: Menak Amir Hamza, Serat Tajussalatin, Suluk Makmunuradi Salikin, Suluk Dewaruci, Serat Cabolek, Babad Giyanti, Serat Ambiya, Serat Musa, Suluk Burung, Babad Pakepung, Serat Centhini, Serat Jayengbhaya, Serat Kalathida, Serat Sabdajati, Wirid Hidayat Jati, Paramayoga, dst.

Bu Nancy membuktikan kesalahan klaim para sarjana kolonial, yang mendaulat karya-karya ini sebagai berbau Hindu-Buddha. Beliau menyampaikan data statistik. Dari 1450 judul naskah yang tersimpan di perpustakaan keraton, hanya terdapat 17 gubahan klasik dari kakawin (era Majapahit) ke tembang Jawa modern. Ini hanya mencakup 1 persen koleksi. Berkebalikan dari itu, lebih dari sepertiga koleksi secara utuh, sekitar 500 judul merupakan ragam kesusastraan Islam. Menurutnya, ini berarti kesarjanaan kolonial telah gagal melihat signifikansi melimpahnya inskripsi Islam di dalam keraton.

Bu Nancy menyadarkan saya, seorang pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera) dengan leluhur berasal dari Mataram, yang sedang berproses meneguhkan ke-Jawa-an diri, bahwa selama ini saya terkecoh oleh narasi kolonial. Jangankan saya yang awam ini, ilmuwan sekaliber Clifford Geertz, Syed Muhammad Naquib Al Attas, J.M.W. Bakker, James L. Peacock, dan Koentjaraningrat saja terkecoh dan menginternalisasi kesimpulan sarjana kolonial itu.

Antara Cak Nun, Mas Irfan, Bu Nancy

The Resonant Power of (Con)texts: Rethinking Colonial and Post-Colonial Worlds through the Work of Nancy K. Florida

Di sinilah pentingnya artikel Bu Nancy bagi Mas Irfan, sampai-sampai harus diterjemahkan dan dibukukannya. Dalam pengantar editorial terbitan buku Bu Nancy itu, Mas Irfan menceritakan betapa bahagianya dia ketika menemukan artikel yang masih berbahasa Inggris, “Writing Traditions in Colonial Java: The Question of Islam”. Pasalnya, saat bertemu artikel itu, dia sedang linglung akut dalam pergulatan diri terkait identitas kejawaan dan keislamannya.

Muatan artikel itu memberikan arah dan gambaran besar perihal narasi kesarjanaan kolonial. Sejak kekalahan Belanda dalam Perang Diponegoro, ada upaya sadar dan sistematis yang digawangi para sarjana kolonial untuk memisahkan realitas kemenyatuan Islam dengan Jawa. Kekalahan itu memang sangat traumatis bagi Belanda. Pemerintah kolonial ini bangkrut, yang menyebabkan merdekanya Belgia. Semua ini akibat perlawanan sengit Jawa yang dibahan-bakari semangat panji Islam dan dikompori tarekat Syatariah.

Pengakuan Mas Irfan itu bukan sekadar pemanis sebuah pengantar, melainkan refleksi dari apa yang benar-benar dia rasakan. Itu tampak ketika dia tidak sanggup menuntaskan pemaparannya di simposium. Di tengah menceritakan perjumpaannya dengan artikel itu, dia terharu, suaranya tercekat, tak kuasa menahan emosi. Dia lalu buru-buru menyudahinya dengan ucapan terima kasih. Bagi Mas Irfan, Bu Nancy, yang baru pertama kali dijumpainya langsung ini, telah membukakan pintu gerbang untuknya memasuki lelaku atau suluk, menyusuri titik terang dan meninggalkan kegundahan sebelumnya.

Melihat adegan itu, memori saya tiba-tiba terlempar ke banyak momen Maiyahan di tanah air. Satu ingatan kuat hadir dalam bayangan saya, pada masa awal ikut menemani Cak Nun dan KiaiKanjeng tahun 2016. Di sebuah pelataran masjid di pelosok Magelang, ditemani hujan deras, warga — utamanya ibu-ibu dan anak kecil — berkumpul rapat di panggung, menyimak Cak Nun. Malam itu, semua diajak Sinau Bareng bertemakan Mikul Dhuwur Mendem Jero. Pada intinya, Cak Nun mengajak warga untuk kembali kepada kesadaran kemenyatuan Jawa-Islam.

Jamal Jufree Ahmad
Staff Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng. Redaktur dan desainer grafis CAKNUN.COM. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:

Lainnya

Topik