Mocopat Syafaat Bulan Ini
Kemarin saya menerima pesan WhatsApp dari seorang teman yang ternyata diam-diam sering mengikuti Mocopat Syafaat. Dalam pesannya, ia berbagi cerita. Pertama yang ia sampaikan yakni alasannya merasa nyaman tinggal di Yogyakarta. Menurutnya, Jogja adalah tempat yang istimewa karena di sini ia tidak pernah merasakan tekanan atau kecemasan untuk mencari uang. Ia menggambarkan perasaannya dengan kalimat yang sederhana tapi penuh makna: “Ora duwe duit wae ya rapopo.” Kalimat itu seperti mencerminkan suasana batin Jogja yang damai, di mana hidup tidak selalu harus diburu-buru oleh urusan materi.
Tentu saja, alasan itu bukan sekadar ungkapan spontan. Teman saya merasa bahwa Jogja memberikan begitu banyak hal yang berharga dalam hidupnya, sesuatu yang sulit ia temukan di tempat lain. Salah satunya adalah kehadiran Mocopat Syafaat, acara rutin yang dipandu oleh Mbah Nun. Meski saat ini beliau sedang tidak begitu aktif, Mocopat Syafaat tetap memiliki tempat istimewa di hatinya.
Baginya, Mocopat Syafaat bukan hanya sebuah pertemuan biasa, tetapi sebuah ruang untuk merenung, berbagi pemahaman, dan meresapi nilai-nilai kehidupan. Acara itu menghadirkan suasana kehangatan, kebijaksanaan, dan kedamaian yang sejalan dengan karakter Jogja — kota yang tidak hanya menawarkan kenyamanan fisik tetapi juga kekayaan batin. Di sinilah ia merasa hidup tidak melulu tentang mengejar sesuatu, melainkan juga tentang menerima dan mensyukuri.
Pada Mocopat Syafaat edisi bulan November ini, suasana terasa berbeda mulai dari jam ke 03.22 menit. Acara kali ini menghadirkan teman-teman dekat Mbah Nun sejak masa mudanya. Mereka adalah sosok-sosok yang sudah bersama Mbah Nun dalam berbagai fase hidupnya, berbagi perjalanan, dan mewarnai ceritanya hingga kini.
Ada rasa salut yang mendalam melihat tekad dan keberanian para sahabat Mbah Nun ini. Meski usia mereka sudah semakin lanjut, semangatnya tetap menyala. Mereka rela menempuh perjalanan yang cukup jauh hanya untuk hadir dan berbagi cerita di panggung Mocopat Syafaat. Bahkan, acara yang berlangsung hingga dini hari itu tidak mengurangi antusiasme mereka untuk mengisi malam dengan kehangatan dan kebijaksanaan.
Keberadaan mereka menjadi pengingat tentang arti persahabatan sejati — tentang ketulusan untuk saling mendukung, meskipun tantangan usia dan jarak semakin terasa. Bagi para jamaah, kehadiran mereka membawa inspirasi dan energi baru yang tak tergantikan.
Pada edisi Mocopat Syafaat kali ini, Mbah Tanto Mendut membawa para hadirin dalam perjalanan mengenang salah satu sahabat Mbah Nun yang legendaris, WS Rendra. Dalam tuturannya, Mbah Tanto tidak hanya berbicara tentang Rendra sebagai figur penting dalam dunia kebudayaan, tetapi juga tentang kehidupan cintanya yang luar biasa dan penuh gairah. Sebuah kehidupan yang, menurutnya, mencerminkan intensitas dan keberanian yang jarang dimiliki oleh orang lain.
Sebagaimana menjadi ciri khas Mbah Tanto, ia tak pernah sendiri dalam menyampaikan pesan-pesannya. Malam itu, ia mengajak salah satu temannya, Mas Haris, seorang pengusaha properti berskala besar yang berdarah Tionghoa, untuk turut ambil bagian. Mas Haris didaulat untuk membacakan puisi berjudul Maskumambang, sebuah karya yang pertama kali dibacakan oleh Rendra pada tahun 2005 di Festival Lima Gunung, sebuah perhelatan seni yang digagas oleh Mbah Tanto di puncak Gunung Sumbing.
Momen pembacaan puisi itu menjadi salah satu highlight acara. Maskumambang, dengan segala keindahan dan kedalamannya, tidak hanya menghidupkan kembali memori tentang Rendra tetapi juga mengingatkan para hadirin akan kekuatan kata-kata untuk menyentuh jiwa. Kehadiran Mas Haris, yang mungkin jarang terlihat di ruang-ruang budaya seperti ini, justru menambah lapisan makna, menunjukkan bahwa seni dan budaya bisa menyatukan siapa saja, melampaui batasan identitas, profesi, atau etnisitas.
Puisi Maskumambang yang dibacakan malam itu memiliki kekuatan luar biasa, menarik garis yang tegas antara politisi dan budayawan. Dalam bait-baitnya, puisi ini seolah mengingatkan bahwa politik di Indonesia, dalam sejarahnya, justru lahir dari rahim para ulama — para pemimpin spiritual yang memilih menjauhi gemerlap istana demi menjaga keberpihakan kepada rakyat. Ironisnya, keadaan saat ini justru berbalik: banyak ulama yang kini tunduk kepada istana, menyembah “berhala kekuasaan” yang seharusnya mereka jauhi.
Mbah Tanto Mendut, dengan gayanya yang penuh kebijaksanaan, selalu mengingatkan hadirin tentang kedekatan istimewa antara dirinya, Cak Nun, dan WS Rendra yang terjalin sejak usia muda. Persahabatan ini, kata Mbah Tanto, adalah sebuah monumen kehidupan — bukan hanya sebuah kenangan pribadi, tetapi pelajaran berharga bagi generasi saat ini. Ia ingin generasi muda memahami bahwa seni, budaya, dan persahabatan sejati memiliki daya tahan melampaui waktu dan dapat menjadi dasar kokoh untuk melawan arus dunia yang semakin pragmatis dan materialistis.
Dalam refleksi Mbah Tanto, hubungan mereka bukan hanya tentang nostalgia, tetapi tentang menjaga nilai-nilai kehidupan yang terus relevan. Monumen ini tidak berupa patung atau prasasti, melainkan hidup dalam semangat kebebasan berpikir, keberanian berbicara, dan kecintaan pada kebenaran yang mereka wariskan melalui karya dan perjalanan hidup mereka.
Setelah sesi pembacaan puisi selesai, giliran Habib Anies mengambil alih panggung untuk menyampaikan pesan yang begitu mendalam. Ia memulai dengan membahas Surat Al-An’am, yang secara harfiah berarti “binatang ternak.” Namun, Habib Anies menjelaskan bahwa makna sejatinya jauh lebih dalam. Ia mengaitkan surat ini dengan realitas peradaban modern, yang menurutnya menyerupai sebuah “peternakan” besar bagi umat manusia.
Habib Anies mengaitkan hal ini dengan krisis yang tengah berlangsung di Gaza, yang ia sebut sebagai simbol terbukanya agenda peradaban Barat selama lima abad terakhir — sebuah sistem pendidikan dan kehidupan yang dirancang untuk menjadikan manusia seperti binatang ternak, dikendalikan dan diarahkan tanpa kesadaran akan kemerdekaan sejatinya.
Dalam pesannya, Habib Anies mengajak para hadirin untuk kembali merenungi inti ajaran yang dibawa oleh lima nabi besar menurut Gusti Allah. Ia menekankan pentingnya memiliki tekad yang besar, sebuah keyakinan mendalam untuk melakukan sesuatu yang mungkin dianggap mustahil. Ia mengilustrasikan hal ini dengan kisah Nabi Nuh yang membangun kapal raksasa di tengah padang pasir. Sebuah tindakan yang, pada awalnya, tampak absurd dan menjadi bahan ejekan, tetapi pada akhirnya terbukti sebagai langkah penyelamatan ketika bencana air bah datang.
Habib Anies juga menghubungkan tekad besar ini dengan semangat yang ditunjukkan oleh Mbah Tanto Mendut dan dirinya sendiri. Meski situasi saat ini tidak ideal dengan ketidakhadiran Cak Nun, mereka tetap memilih untuk hadir dan mengisi acara Mocopat Syafaat. Keputusan itu, menurutnya, bukan sekadar keterpaksaan, tetapi cerminan dari sebuah tekad besar untuk terus menjaga ruang kebudayaan ini tetap hidup, meskipun tantangan dan keterbatasan mencoba menghadang. “Semua ini adalah bagian dari perjalanan keyakinan,” tutup Habib Anies, meninggalkan para hadirin dengan refleksi mendalam.[]