Mengharukan Allah
Andaikan Tuhan merasa jengkel kepada manusia, kemudian meniadakan semua makhluk-Nya, dari Nur Muhammad, para Malaikat, alam semesta, Jin dan manusia, sehingga tidak ada apapun selain Ia sendirian — lantas Ia punya nama: siapa yang akan menyapa-Nya?
Kemudian Tuhan berkehendak untuk dalam sekejapan mata mengadakan kembali semua makhluk itu, lantas memperkenalkan diri-Nya “Aku lah Allah”: apakah itu karena Ia benar-benar bernama Allah, ataukah sekadar berlaku memberi nama kepada para makhluk agar ada inisial untuk menyapa dan menghadirkan-Nya dalam kesadarannya? (Emha Ainun Nadjib, Berendah Hati Kepada Cahaya – 2016)
Kapan terakhir kita merasa terharu? Pada fenomena atau peristiwa apa yang kemudian kita merasa terharu? Kita yang memiliki anak, saat ia berjuang mempersiapkan sebuah perlombaan, dengan gigih ia berlatih setiap hari, hingga akhirnya pada hari perlombaan, ia berhasil mencapai posisi tertinggi. Atas prestasinya itu kita akan terharu. Atau, atas sebuah peristiwa kecil di pinggir jalan, saat kita melihat seseorang membantu orang lain, dengan hanya memayungi orang lain karena kehujanan, kita bisa saja kemudian terharu atas peristiwa itu. Ada banyak kebaikan-kebaikan yang terjadi di sekitar kita yang membuat kita terharu.
Sebagai orang Maiyah, kita telah memiliki bekal yang lebih dari cukup dari Cak Nun untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Jika kemudian kita putus asa menyaksikan hasil Pemilu tahun 2024 ini, betapa meruginya kita. Hidup kita tidak hanya berhenti pada 14 Februari 2024 saja. Kita akan terus menjalani kehidupan ini, sampai kelak nanti Allah sendiri yang menentukan kapan kita harus berhenti. Cak Nun beberapa tahun lalu memiliki satu terminologi yang sangat berkelas; Liannaka ta’isyu ’Abadan. Karena memang sejatinya, kita itu hidup abadi. Ada banyak ayat di Al Qur’an yang meyatakan bahwa kehidupan kita itu abadi. Ada beberapa ayat di dalam Al Qur’an yang menegaskan dengan kata: Khoolidiina fiiha abadaa. Kekal selama-lamanya di dalamnya. Ada yang di surga, ada yang di neraka.
Maka, seperti di dalam Surat Al Bayyinah ayat 8; Radhliayallahu ‘anhum wa rodhlu ‘anhu. Ada dialektika antara ridhlonya Allah dengan ridhlonya manusia terhadap ketetapan Allah dalam kehidupan ini. Tidak bisa hanya satu pihak saja yang merasa ridhlo, lalu selesai. Sehingga pada ayat Al Qur’an yang lain Allah menyatakan; irji’ii ilaa robbiki radhliyatan mardhliyyah. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridhlo dan diridhloinya.
Pada kesempatan yang lain, Cak Nun pun menegaskan bahwa agar kita mendapat ridhlo dari Allah, terlabih dahulu kita harus mampu untuk ridhlo terhadap ketetapan Allah. Karena hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita kehendaki. Bahkan, jika kita prosentase, hidup kita ini lebih banyak berlaku sangat berkebalikan dengan apa yang kita inginkan. Benar begitu bukan? Tidak usah jauh-jauh hingga urusan politik di negeri ini. Dalam kehidupan sehari-hari saja, hati kita menginginkan sesuatu terjadi namun fakta yang kita alami justru jauh dari apa yang kita inginkan.
Begitulah adanya hidup. Seringkali Cak Nun juga mengingatkan kepada kita bahwa hidup ini seperti kita menanam. Selayaknya petani, tugas kita adalah berjuang untuk menanam kemudian merawat tanaman yang sudah kita tanam. Sementara hasil panen dari tanaman itu, bukan kita yang menentukan. Kita lihat di musim hujan ini, ada lahan pertanian yang sudah siap panen, hanya menunggu hitungan hari untuk panen, seketika batal panen karena lahan tersebut terdampak aliran banjir bandang. Begitulah perjuangan dalam hidup.
Paradoks memang. Atau kita mau contoh lebih ekstrim lagi? Jika ada gempa bumi, gunung meletus atau fenomena alam lain yang kemudian mengakibatkan meninggalnya beberapa kerabat kita, saudara kita di sekitar lokasi terjadinya fenomena alam itu, bagaimana seharusnya sikap kita? Apakah kemudian kita akan bersyukur karena kita selamat dari dampak fenomena alam itu? Sehingga kemudian kita merasa lebih layak untuk diselamatkan dari fenomena alam itu? Atau justru sebaliknya, mereka yang menjadi korban adalah fihak yang diselamatkan oleh Allah?
Ada peristiwa tergelincirnya pesawat terbang saat mendarat di sebuah bandara, kemudian ada beberapa korban meninggal dunia atas peristiwa itu, sementara sebagian yang lain berhasil selamat dari peristiwa itu. Apakah kemudian layak mereka yang selamat atas peristiwa itu mengucapkan syukur atas diselamatkan nyawanya sehingga sampai hari ini dia masih hidup? Lantas, apakah yang menjadi korban meninggal dunia itu dianggap tidak selamat? Lagi-lagi, jangan-jangan logika Allah itu memang sangat berbeda dengan logika kita sebagai manusia.
Rasulullah SAW berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Di usia 40 tahun, beliau resmi dilantik sebagai Rasulullah. Ditandai dengan wahyu pertama saat Malaikat Jibril mendatanginya di Gua Hira’. Kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW berdakwah, dari Mekah ia hijrah ke Madinah. Ada satu peristiwa saat Rasulullah SAW berhadapan dengan kaum kafir quraisy, pada posisi terjepit Malaikat Jibril ‘melamar’ kepada Rasulullah SAW untuk memohon agar Rasulullah SAW meminta kepada Allah untuk menghancurkan pasukan kafir quraisy dengan cara meledakkan beberapa bukit, sehingga bebatuan di bukit itu menjatuhi pasukan kafir quraisy. Tapi Rasulullah SAW bergeming, karena memang bukan itu yang beliau inginkan. Atau mungkin juga Rasulullah SAW sendiri mampu menjangkau logika Allah yang Malaikat Jibril sendiri pun tidak mampu menjangkaunya.
Sekian abad Islam berkembang, melalui dinamika zaman yang penuh ulang-alik. Sampai akhirnya kita bertemu dengan Maiyah. Cak Nun sedari awal sudah menegaskan bahwa filosofi Maiyah adalah segitiga cinta: Allah-Rasulullah-Manusia. Tidak bisa tidak, antara ketiganya ini harus saling bertautan. Jika kita menilik dari Padhangmbulan, maka usia forum Maiyah ini sudah berlangsung 3 dekade. Sebuah perjalanan panjang bagaimana kemudian forum ini berhasil membuktikan bahwa cahaya tetaplah cahaya. Ia tak lekang oleh zaman. Ia tak lekang oleh pengaruh di sekitarnya. Kenduri Cinta sebagai salah satu anasir Maiyah pun membuktikan bahwa perjalanan 24 tahun di Jakarta ini bukan perjalanan yang sebentar.
Dan semakin harus kita tegaskan bahwa dengan kita ber-Maiyah inilah kita memiliki tujuan untuk membuat Allah terharu kepada kita. Sudah tidak perlu kita data lagi satu persatu bahwa apa yang terjadi di Indonesia ini saja sudah lebih dari cukup untuk membuat Allah menurunkan adzabnya kepada kita. Atas perilaku yang mana yang kemudian membuat Allah tidak murka kepada kita. Sumber daya alam yang sedemikian kaya ini tidak dikelola dengan baik, sehingga persebaran rahmat Allah itu tidak dirasakan secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia. Pancasila hanya menjadi jargon semata, karena tidak benar-benar diaktualisasikan oleh Negara dan Pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada akhirnya, rakyat hanya menjadi pelengkap penderita. Setiap agenda Pemilihan Umum, rakyat diperdaya untuk dimanfaatkan suaranya. Skenario penguasa sudah disusun, secara alami serta dengan naluriah politis skenario itu dijalankan dengan sangat rapi. Kembali, sebagai rakyat kita hanya bisa menautkan harapan itu kepada mereka yang sudah kita prediksi bahwa mereka juga tidak akan mampu menunaikan janji-janji politik mereka. Sekian deret persitiwa penting yang menjadi tonggak sejarah Indonesia, nyata-nyata tidak melahirkan pembelajaran apa-apa bagi bangsa ini.
Lantas, bagaimana mungkin kita secara bangsa mampu membuat Allah terharu kepada kita? Kesalahan yang sudah kita lakukan ini sangat sistemik. Jika dihitung menggunakan kalkulasi ilmu medis, maka kerusakan yang ada di Indonesia ini sudah stadium paling tinggi. Pun dengan keadaan yang seperti ini, Allah tetap sayang kepada kita. Setiap hari Allah tetap menerbitkan matahari, menurunkan air hujan, menghembuskan angin, sehingga ekosistem alam semesta tetap berjalan atas sunnatullah.
Jika kemudian kita akhir-akhir ini begitu sibuk membicarakan Pemilihan Umum, pernahkah kita menghitung berapa besar prosentase dari hasil Pemilihan Umum ini yang akhirnya mengantarkan kita pada ridhlonya Allah kepada kita? Dari Pemilihan Umum yang kita jalani selama ini, apakah sudah sampai taraf mengharukan Allah?