Meneguhkan dan Menyemai Milad ke-31 Tahun Pengajian Padhangmbulan
Sabtu, 19 Oktober 2024, di desa Mentoro Kec. Sumobito Kab. Jombang, teman-teman jamaah akan bersama-sama muji dan syukur kepada Allah SWT atas Milad ke-31 Pengajian Padhangmbulan.
Dua minggu sebelum pelaksanaan acara, teman-teman Omah Padhangmbulan melakukan koordinasi di berbagai lini. Kendati Omah Padhangmbulan bukan organisasi resmi, tapi kerja sama (bukan sama-sama kerja) berlangsung layaknya organisme.
Tidak setiap organisasi berhasil melakukan transformasi mencapai kualitas organisme. Kendala dan tantangan, mulai pembagian job description sampai ganjalan-ganjalan psikologi interpersonal, kerap dijumpai sehingga terbentuk friksi-friksi yang melelahkan.
Omah Padhangmbulan tidak melalui proses itu semua. Teman-teman yang terlibat dan melibatkan diri dalam proses persiapan Milad ke-31 Pengajian Padhangmbulan menciptakan atmosfer kerja sama yang dimulai dari dalam diri mereka. Conditioning itu bernama niat: nawaitu khidmah untuk Padhangmbulan.
Apa motivasinya? Tidak ada motivasi. Apa latar belakangnya? Tidak ada latar belakang. Apa udang di balik batunya? Tidak ada udang apalagi nama-nama ikan di baliknya. Terus ngapain mereka bersusah payah melibatkan diri dalam proses pra hingga pasca milad?
Sebenarnya fakta ini menarik untuk diteliti karena mengandung novelty yang tinggi. Bagaimana tidak: teman-teman ini jiwanya tersusun dari anasir apa sehingga mereka mau melakukan khidmah kepada Pengajian Padhangmbulan justru ketika kebanyakan orang hanya punya satu pertanyaan di otaknya: wani piro?
Fakta itu tidak berdiri sendiri atau tiba-tiba ada begitu saja. Keluarga besar Ibu Halimah di Mentoro bersedekah kepada Indonesia selama 31 tahun melalui Majelis Ilmu Pengajian Padhangmbulan secara mandiri dan merdeka. Manusia yang waras akan berpikir bahwa durasi waktu selama 31 tahun bukan perjalanan yang singkat untuk istikamah, ajeg, dan rutin melayani masyarakat.
Ini bukan soal panjang atau pendeknya waktu, tetapi bagaimana ngugemi, memegang teguh nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebijaksanaan dalam laku hidup kita di tengah badai disrupsi nilai-nilai. Atas dasar apa kita mempertahankan nilai-nilai itu? Mengapa kita bertahan menggenggam “bara api” nilai-nilai kebaikan, keindahan, dan kebijaksanaan ketika orang-orang justru menjadi kutu loncat pragmatisme?
KiaiKanjeng dan The Jongos yang hadir di Pengajian Padhangmbulan bukan tanpa maksud. Kita tidak akan sekadar menyaksikan hiburan dan tontonan—kita tengah disuguhi nilai-nilai tentang paseduluran, persahabatan, ikatan tulus kemanusiaan yang berlangsung tidak hanya satu tahun atau dua tahun. Antara Mbah Nun dengan Pak Toto Rahardjo, Pak Isti Nugroho, Pak Indra Tranggono, Pak Nevi Budianto, Pak Joko Kamto, Pak Eko Winardi, dan lain-lain terjalin ikatan paseduluran dan persahabatan yang berlangsung selama puluhan tahun, dan akan selamanya berlangsung.
Kita menyebutnya paseduluran yang khalidina fiiha abada. Paseduluran yang kekal dan abadi. Semua berlangsung karena orientasi dan pegangan nilainya adalah kekekalan dan keabadian itu sendiri. Adakah nilai-nilai yang kekal dan abadi? Adalah orientasi dan tujuan yang menyandarkan dirinya pada lillahi (karena Allah), lahu (bagi Allah) dan pada akhirnya adalah Hu (Allah yang menjadi Tuan Rumah).
Semoga tidak berlebihan jika momentum Milad ke-31 Pengajian Padhangmbulan menjadi gerbang pembuka dan kita memasukinya dengan kesadaran untuk mengabadikan diri melalui upaya-upaya kecil nan sederhana untuk menyemai benih Padhangmbulan di ladang perjuangan kita masing-masing.
Jagalan, 19 Oktober 2024