CakNun.com

Membongkar Formalisme Agama

Mukadimah Padhangmbulan edisi Desember 2024
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit

Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (Q.S. An Nisa’: 36)

Di tengah lautan teks keagamaan yang kerap ditafsirkan secara rigid dan statis, Surat An-Nisa ayat 36 berdiri sebagai mercusuar pemikiran revolusioner— teks yang jauh melampaui cara berpikir manusia pada zamannya, mengajak kita untuk merekonstruksi ulang pemahaman tentang spiritualitas, kemanusiaan, dan keadilan sosial.

Bayangkan masyarakat Arab pra-Islam: struktur sosial yang keras, ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elit. Perempuan diperlakukan sebagai komoditas, budak tidak dianggap manusia, dan hierarki sosial begitu kaku dan menindas sehingga melakukan mobilitas sosial untuk menciptakan keadilan nyaris mustahil. Dalam lanskap inilah ayat 36 surat An-Nisa muncul—seperti ledakan pemikiran yang menggetarkan fondasi masyarakat.

Ayat ini memulai revolusinya dengan cara yang sangat subtil. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya,” lebih dari pernyataan teologis, melainkan serangan frontal terhadap struktur kekuasaan yang adigang adigung adiguna. Dengan menegaskan kesetaraan di hadapan Tuhan, ayat ini mendekonstruksi hierarki sosial yang selama ini dianggap absolut.

Surat An-Nisa ayat 36 adalah ajakan yang melampaui tindakan moral individu. Ia adalah manifesto sosial yang menggugah manusia untuk mendekonstruksi batas-batas artifisial dalam hubungan antarmanusia. Ayat ini dengan tegas menyebutkan pihak-pihak yang layak menerima kebaikan: orang tua, kerabat, anak-anak yatim, tetangga dekat dan jauh, hingga hamba sahaya. Di sini, konsep “berbuat baik” bukan hanya instruksi pasif, melainkan upaya aktif untuk meluruhkan hierarki sosial yang kerap kali menciptakan ketimpangan.

Ketika ayat ini menyebutkan “tetangga dekat dan jauh,” misalnya, ia sedang menggugat konsep kedekatan fisik sebagai satu-satunya tolok ukur relasi. Dalam konteks masyarakat tradisional hingga modern, istilah “tetangga jauh” bisa bermakna substansial—seperti mereka yang berada di luar lingkar komunitas kita, baik secara geografis maupun kultural. Ayat ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tidak boleh dibatasi oleh jarak, status sosial, atau sekat-sekat lainnya. Manifestasi “berbuat baik” adalah jalan kolektif yang menembus sekat-sekat tersebut.

Kita bisa melihat bagaimana ayat ini meruntuhkan pandangan dualistik antara “kita” dan “mereka,” “minna dan minhum.” Dunia sering kali membagi manusia ke dalam kategori yang dikotomis—keluarga dan bukan keluarga, tetangga dekat dan asing, hamba dan tuan.

Surat ini mendobrak dikotomi tersebut dengan menempatkan setiap manusia dalam spektrum kesetaraan yang diikat oleh nilai kebaikan. Ayat ini menantang kita untuk merevisi pengertian tentang “tanggung jawab sosial,” yang tidak lagi terbatas pada lingkaran hubungan personal, tetapi mencakup umat manusia secara universal.

Dalam ranah sosial modern, pesan ini menjadi sangat relevan. Ketika perpecahan berbasis identitas semakin nyata, ayat ini menuntut kita untuk bertanya ulang: apakah identitas-identitas yang kita banggakan—agama, bangsa, ras, mazhab, ormas—membatasi keluasan kita dalam berbuat baik?

Surat An-Nisa ayat 36 menawarkan narasi tandingan: manusia diminta untuk melebur ego kolektif demi harmoni universal. Kebaikan di sini bukan lagi sekadar tindakan, tetapi cara untuk menghapus batas, mendekatkan yang jauh, dan menemukan irisan persamaan.

Ayat ini juga memberi kritik tajam terhadap dunia yang sering kali terkotak-kotak. Berbuat baik, dalam perspektif An-Nisa, adalah “aksi radikal” yang merobohkan tembok dan menghubungkan manusia dalam solidaritas lintas batas.

Selain itu, An-Nisa ayat 36 menghadirkan gagasan yang mencengangkan tentang transformasi spiritual. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang ibadah dalam kerangka ritual, tetapi menggeser maknanya menjadi gerakan sosial yang berorientasi pada kemanusiaan.

Ia mendekonstruksi pandangan tradisional tentang agama yang sering kali terperangkap dalam ruang-ruang privat, dan memperluas cakrawala keberagamaan menjadi praktik sosial yang hidup dan menyentuh langsung kehidupan orang lain.

Yang paling radikal dari pesan ayat ini adalah redefinisi hubungan dengan Tuhan. Dalam bingkai ayat ini, kualitas relasi vertikal manusia dengan Tuhan tidak diukur dari intensitas ritual, tetapi dari kualitas relasi horizontal antarmanusia.

Spiritualitas tidak berhenti di atas sajadah, melainkan mengalir dalam bentuk empati dan kepedulian terhadap sesama. Ayat ini dengan tegas mengaitkan esensi keberagamaan dengan aksi sosial, seakan-akan tengah berkata bahwa hubungan dengan Tuhan tidaklah utuh jika tidak disertai dengan hubungan yang baik dengan manusia.

Transformasi ini menjadi revolusi teologis. Ia menantang paradigma lama yang sering kali memisahkan ibadah ritual dari tanggung jawab sosial. Ayat ini menyatukan keduanya dalam satu tarikan napas. Empati, dalam ayat ini, bukan sekadar sikap, melainkan inti dari keberagamaan itu sendiri.

Kepedulian kepada orang tua, kerabat, tetangga, anak yatim, hingga mereka yang termarjinalkan adalah bentuk paling nyata dari ibadah. Ayat ini menegaskan bahwa keberagamaan yang autentik adalah keberagamaan yang bergerak—yang memanifestasikan nilai-nilai Ilahi dalam tindakan sehari-hari.

Gagasan ini menggeser posisi ibadah dari yang semula individual menjadi kolektif, dari yang tertutup menjadi terbuka, dari yang eksklusif menjadi inklusif. Ayat ini membuka pintu kesadaran bahwa spiritualitas tidak terletak pada kemegahan simbol, tetapi pada bagaimana simbol itu diterjemahkan menjadi perubahan nyata.

Empati dan kepedulian bukan hanya ekspresi keimanan, tetapi menjadi esensi iman itu sendiri. Dalam bingkai ayat ini pula seorang yang tekun dalam ritual, tetapi abai terhadap tanggung jawab sosial, sesungguhnya belum menyentuh inti dari keimanan.

Pesan revolusioner ini menjadi relevan dalam konteks modern ketika agama sering kali terjebak dalam formalisme. Ayat ini mendesak kita untuk keluar dari ritualisme sempit dan menjadikan agama sebagai daya dorong transformasi sosial. Dengan menempatkan empati sebagai poros keberagamaan, ayat ini menantang umat manusia untuk merenungkan kembali: Apakah ibadah kita sudah menggerakkan? Apakah keberagamaan kita sudah merangkul?

An-Nisa ayat 36 menjadi pengingat bahwa Tuhan tidak hanya ditemukan di tempat ibadah, tetapi juga di wajah mereka yang dizalimi. Keberagamaan sejati, menurut ayat ini, adalah keberagamaan yang peduli, yang bergerak, dan yang memandang empati sebagai bahasa cinta antara manusia dan Tuhan. Di sinilah spiritualitas menemukan revolusinya, ketika ia melampaui ritual menuju aksi yang nyata.

Majelis Masyarakat Maiyah Padhangmbulan kembali hadir dalam Sinau Bareng pada Senin, 16 Desember 2024, pukul 20.00 WIB, di Mentoro Kec. Sumobito Kab. Jombang.

Kesetiaan menemani “wong cilik” menempatkan Pengajian Padhangmbulan dalam atmosfer persaudaraan yang diikat oleh Rahman Rahim Allah Swt. Mari kita jaga spirit paseduluran ini dengan tetap ngajeni manusia dan memanusiakan manusia.[]

Lainnya

Sunda Mengasuh___

Sudah sejak pukul 18.00 penggiat Jamparing Asih berkumpul di gedung RRI.

Jamparing Asih
Jamparing Asih

Topik