CakNun.com

Membebaskan Diri dari Cangkang Formalisme Agama

Padhangmbulan edit Desember 2024
Omah Padhangmbulan
Waktu baca ± 3 menit

Padhangmbulan 16 Desember 2024 dibuka dengan tema “Membongkar Formalisme Agama,” yang dipandu oleh Pak Saiful dengan merujuk pada Surat An-Nisa’ ayat 36. Dalam sesi pertama ini, Pak Saiful mengajak jamaah mendalami ayat tersebut dan memetakan sembilan elemen penting yang terkandung di dalamnya: tauhid, berbuat baik kepada orang tua, kerabat dekat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya. Penekanan akhir dari Pak Saiful adalah bahwa Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.

Sesi pertama Pengajian Padhangmbulan merupakan sinau bareng yang nguri-nguri dan melanjutkan spirit tadabbur yang diteladankan oleh Mbah Fuad. Keterlibatan dan peran serta jamaah pada sesi pertama menjadi bukti bahwa dari sekian banyak teman-teman yang hadir kita menemukan pendaran-pendaran pengalaman yang berharga.

Pendaran pengalaman itu disampaikan oleh seorang jamaah dari Kec. Ngoro Jombang yang nekat merengkuh, mengayomi, memangku anak-anak yatim. Sedangkan kemampuan ekonomi dan kesanggupan finansialnya jauh dari rasionalitas orang yang disebut mampu atau kaya. Kenekatan ini ternyata dilambari oleh keyakinan manusia paling berkualitas adalah manusia paling bermanfaat bagi sesamanya. Tonggak keyakinan bahwa Allah pasti menolong hamba-Nya selagi hamba tersebut mau menolong sesamanya menjadi fondasi bagi sedulur kita menjalani proses ridla dan syukur.

Berbekal surat An-Nisa’ ayat 36 Pak Saiful mengajak jamaah memahami perbedaan antara sifat sombong dan membanggakan diri. Sering kali, kedua sifat ini disamakan, padahal jika ditelusuri lebih dalam, orang sombong dapat diartikan sebagai individu yang terjebak dalam khayalan dan ilusi diri. Bahasa tubuh dan perilakunya mencerminkan khayalan bahwa dirinya adalah manusia yang berkuasa, berilmu, kaya-raya, dan seterusnya. Sementara itu, orang yang membanggakan diri adalah mereka yang terjebak dalam kata-kata dan omongannya sendiri yang cenderung melebih-lebihkan kenyataan dirinya.

Lek Hamad memperkaya pemahaman mengenai Surat An-Nisa ayat 36 dengan menekankan dua prinsip penting: ayat ini berbicara tentang hati dan pikiran. Menurut Lek Hamad, Allah berada dalam hati orang-orang kecil, dan Rasulullah menempatkan perhatian pada mereka yang teraniaya. Ayat ini menunjukkan urgensi dan pembelaannya kepada kaum kecil dan lemah—mereka yang sering kali terpinggirkan oleh kemajuan zaman; jeritan mereka sering kali tidak didengar oleh kekuasaan yang angkuh. Dalam banyak kesempatan Mbah Nun juga menunjukkan keberpihakannya kepada kaum miskin dan lemah; sikap yang menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mencintai dan menyayangi mereka.

Selanjutnya, Mas Sabrang menyapa jamaah Padhangmbulan dan merespons tema “Membongkar Formalisme Agama.” Ia menjelaskan secara runtut konsep formalisme yang dibangun melalui struktur, bentuk, dan hukum. Formalisme diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara hal-hal yang pasti dan kaku dengan hal-hal yang dapat berubah dan bersifat lembut. Kendati demikian, Mas Sabrang mengingatkan bahwa formalisme tidak boleh memenjarakan manusia.

Ia memberikan analogi formalisme serupa tulang dalam tubuh manusia. Tulang berfungsi sebagai struktur yang menyangga tubuh dan keberadaannya tidak tampak. Namun, ketika tulang berada di luar tubuh, ia menjadi cangkang yang keras, mengakibatkan manusia tidak leluasa bergerak. Dalam konteks ini, tulang yang berada di dalam memungkinkan manusia untuk berekspresi dan menggali potensi diri, sementara tulang yang berada di luar justru membatasi gerakan dan ekspresi.

Paradoks muncul dalam ajaran Islam yang memberikan standarisasi yang sama kepada semua manusia, sementara di sisi lain, setiap individu diperintahkan untuk menemukan keunikan masing-masing (man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu). Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam dan kejernihan berpikir untuk menjembatani paradoks tersebut.

Mas Sabrang kemudian menjelaskan tiga level pemahaman manusia. Pertama, pemahaman fisik, yang mencakup keberadaan terluar manusia yang dapat dideteksi oleh indera. Kedua, pemahaman akal, yang berada satu tingkat di atas level indra dan tidak dapat dikonfirmasi oleh pemahaman fisik, tetapi keduanya tetap terhubung. Ketiga, pemahaman spiritual, yang merupakan level tertinggi dan esensial dalam kesadaran diri manusia. Level ini kesadaran ini tidak sepenuhnya dapat dijangkau dan dirumuskan oleh level fisik maupun akal.

Sesi kedua bersama Mas Sabrang juga diisi dialog bersama jamaah. Seorang pedagang asongan menyampaikan isi pikirannya secara sistematis, membaca fenomena secara kritis, dan meneguhkan sikap keyakinannya secara mantap. Malam itu jamaah Padhangmbulan sedang disuguhi hidangan anugerah: simak apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang bicara. Ringkasnya, teman-teman jamaah Padhangmbulan dan sedulur Maiyah menempuh dan mengalami Maiyah dengan sikap hidup yang sungguh-sungguh.

Sinau Bareng dalam Padhangmbulan tidak hanya menggugah kesadaran akan pentingnya memahami esensi ajaran agama, tetapi juga mendorong jamaah untuk merenungkan bagaimana mereka dapat mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terjebak dalam formalitas yang membatasi. Sinau Bareng kali ini menjadi panggilan untuk kembali menemukan inti ajaran agama yang menekankan pada keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan.

(Omah Padhangmbulan/Akhmad Arif Mushtofa)

Lainnya

Sinau Hayaty Khidmaty dari Cak Fuad

Sinau Hayaty Khidmaty dari Cak Fuad

Bangbang Wetan edisi Juli telah menayangkan Sinau Bareng Cak Fuad pada Sabtu malam (31/7) di kanal ofisial Youtube Bangbang Wetan.

Amin Ungsaka
Amin Ungsaka

Topik