Membayangkan Pun Saya Tidak Tega
Akhir minggu ini saya diundang oleh sejawat saya untuk berkunjung ke tempat beliau bekerja di Balikpapan. Sudah sangat lama saya ingin berkunjung ke tempat ini, tetapi belum ada kesempatan yang datang.
Saya hanya bisa melihat perkembangan dan kemajuan sarana pengobatan kanker anak di tempat sejawat saya ini lewat unggahan foto di Instagramnya. Nah, sekarang saya diundang oleh instasinya untuk berkunjung ke Balikpapan. Kali ini ada beberapa agenda yang sudah disusun rapi oleh beliau, di antaranya semacam acara seminar di mana saya harus berbicara tentang pengenalan kanker anak. Audiens pertemuan ini adalah para siswa dan guru SMP yang ada di lingkungan kota Balikpapan.
‘Sa…’ begitu saya memanggil sejawat saya ini yang mempunyai nama lengkap Elsa Maimoon. Ia seorang dokter yang hebat! Bukan hanya dokter, tetapi dokter anak yang juga spesialis penyakit kanker anak dan ahli penyakit darah anak. Satu-satunya di Balikpapan. Bahkan satu-satunya di Provinsi Kalimantan Timur. Provinsi yang sebentar lagi akan menjadi tempatnya ibukota baru Indonesia yang bernama IKN.
“Mosok sejak kamu lulus dari nyantrik di UGM kok sekali pun aku belum melihat bagaimana tempatmu bekerja?”
“Malah kamu pamerin aku gedung barumu, teamwork-mu yang hebat dan enerjik serta kompak, dan kegiatan-kegiatan sosialmu dalam edukasi masyarakat tentang penyakit kanker.”
“Bukannya kamu mengundangku eh malah ada orang lain yang sudah melihat kehebatan gedungmu yang baru,” begitu canda saya ke dr. Elsa pada suatu saat.
Elsa pun ngeles.
“Dokter Eddot sih engga mau dateng ke sini…, ” katanya pada suatu saat ketika saya berkesempatan berbincang melalui text WA.
Balikpapan adalah kota yang pertama kali saya tuju sesudah saya dilantik menjadi seorang dokter. Saya bekerja di lepas pantai Balikpapan dan sekitarnya, dengan base-nya di kota Balikpapan. Waktu itulah pertama kali saya naik pesawat. Landing di Sepinggan, kemudian dijemput dengan helikopter diantar ke rig (anjungan pengeboran minyak). Berbagai tempat masih saya kenal nama dan tempatnya, seperti, Handil, Samboja, Sanga-Sanga, dan Manggar. Itulah tempat-tempat yang pernah saya singgahi waktu itu.
Saat ini, 35 tahun sejak saya pertama kali menginjakkan ke kota ini, saya kembali berkunjung ke sini atas undangan sejawat saya. Saat mendarat saya menengok ke arah laut yang di situ beberapa tugboat yang menarik batubara, beberapa anjungan pengeboran minyak, yang rasanya lebih banyak dibanding 35 tahun yang lalu. Saya hanya bergumam.
“Negeriku sangat sangat kaya!”
“Tapi kenapa di negeriku banyak orang miskin? Banyak pengangguran? Banyak kejahatan?”
“Tetapi di negeriku banyak orang kaya, banyak rumah besar, dan banyak mobil mewah.”
“Tetapi di negeriku juga banyak pengemis, rumah di pinggir bantaran sungai, di pinggir-pinggir rel, banyak yang ‘terpaksa’ muncuri untuk sekedar membeli beras untuk anak-anaknya.”
Lamunanku terhenti ketika penumpang sebelahku mengajakku segera keluar dari pesawat.
Saya terhenyak dan kaget dengan kemajuan kota ini. Mulai dari bandara yang sudah tidak saya kenali, karena sudah berubah sama sekali. Jalan-jalan yang saya lalui, bahkan toko-toko di pinggir jalan. Saya minta dr. Elsa untuk dilewatkan ke daerah Kebun Sayur, malah Elsa nanya, “mau cari apa, Dok, di sana sudah sepiiiii.”
“Pengen nostalgia saja,” jawab saya.
Benar saja, daerah yang dulunya menjadi pusat ekonomi dan sangat macet, kali ini saya jumpai dalam kondisi lengang. Sepi!
Ketika diajak untuk hospital touring, saya terperangah dengan perkembangan Rumah Sakit ini. Rumah sakit daerah yang dipimpin oleh seorang direktur yang menjabat posisi direktur hampir sepuluh tahun lamanya. Saya berjalan dari gedung ke gedung yang belum dihubungkan dengan doorloop, sehingga saya merasakan bagaimana menyengatnya matahari Balikpapan siang/sore itu.
Di tengah perjalanan dari gedung ke gedung saya bertanya bagaimaa kondisi air di sini dan bagaimana listriknya.
“Air di sini krannya mengalir selama 2 hari, kemudian mati selama 2 hari, kadang matinya 3 hari,” jawab Toni yang menyertai hosptial touring ini.
“Lalu listrinya bagaimana?”
“Dulu awal-awalnya sering sekali mati, sehingaa saya harus beli genset. Tapi sekarang sekali dua kali saja matinya,” jawabnya.
“Lha bagimana ini Ton, ini kan daerah penyangga IKN tho?”
“Pak Eddot mau po pindah ke IKN?” tetiba saya ditanya.
Saya diam tak menjawab.
Jangankan untuk pindah ke tempat yang baru, yang hutannya dibabat. Sedangkan untuk beradaptasi dengan panasanya Balikpapan saja saya tidak sanggup, apalagi saya harus berpindah ke tempat yang sama sekali baru, yang belum pernah saya lihat. Belum lagi kalau saya mendapat gaji besar — ini angen-angen saya — belum lagi kalau saya membayangkan bagaimana duitnya disediakan untuk membangun daerah ini, di lain pihak banyak pasien-pasien kanker anak yang belum tersentuh pelayanan yang optimal, anak-anak yang terpaksa harus tidak sekolah karena harus membantu mencari nafkah orangtuanya.
Membayangkan pun saya tidak tega.
Balikpapan, 2 Maret 2024