MEDIOKRASI
Apakah politik benar-benar bisa dilepaskan dari kehidupan manusia? Pada batas yang mana dari lini kehidupan kita yang bisa dipisahkan dari politik? Mereka yang berada di elit politik sangat mungkin berbalik arah setiap detik, hari ini menyatakan A, besok memutuskan B. Tentu kita yang mayoritas adalah termasuk kelas menengah kebawah sangat mungkin akan terdampak dengan apa-apa yang akan mereka putuskan. Elit politik sepertinya acuh dengan realita yang dirasakan oleh masyarakat.
Mereka yang semestinya membawa aspirasi rakyat justru asik dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan tanggung jawab yang akan dan sedang mereka emban. Beban APBN semakin membengkak, hutang negara dan pemerintah yang tidak jelas peruntukannya, dan daya beli masyarakat yang semakin menurun seolah tidak mereka pedulikan. Sebaliknya yang nampak justru mereka sibuk dengan kasus-kasus remeh-temeh soal urusan keluarga dan kepentingan serta kesenangan pribadi pada kemewahan ala borjuis norak. Sedangkan pada tanggung jawab yang mereka embaan malahan dijalani dengan sekenanya saja, tidak serius.
Padahal belum lama ini mereka mengemis-ngemis untuk mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Thariqat Demokrasi mereka dengungkan sebagai satu-satunya jalan terbaik menuju keadilan sosial. Tapi sepertinya masyarakat kita saat ini justru bukan dibawa dalam suasana Demokrasi, tapi Mediokrasi.
Mediokrasi adalah sebuah portmanteau, dua istilah yang digabungkan dan menjadi istilah baru. Terdiri atas dua suku kata; pertama, mediocrity yang bermakna ‘ala-kadarnya’; dan kedua, kratein yang bermaka ‘kepemerintahan’. Mediokrasi merujuk pada suatu konsep mengenai politik kekuasaan baik yang bersifat formal maupun informal, dimana standar ‘ala-kadarnya’ menjadi normal yang dipaksakan, menggantikan keunggulan atau excellence pada meritrokrasi. Konsekuensinya, segala sesuatu yang berpotensi melebihi standar harus tunduk dan menyengaja mereduksi potensinya at all cost sehingga jangan sampai melampaui standar ‘ala-kadarnya’ tersebut. Dalam mediokrasi, kompetensi dari orang-orang yang berkompeten harus menepi atau ditepikan. Ala kadarnya, tidak berorientasi pada perbaikan, tidak ada tujuan menjadi lebih baik. Medioker.
Elite memaksakan praktek dari konsep mediokrasi ini sebagai anti-thesis dari meritokrasi, yakni sistem tata-kuasa yang menggunakan kriteria seleksi berbasis keunggulan atau excellence. Ditinjau dari perspektif industri-politik, mediokrasi berakar pada non-kompetensi, sebaliknya meritokrasi adalah berbasis kompetensi. Elit justru menghendaki orang-orang yang tidak kompeten berada disekitarnya supaya posisi dirinya sebagai Elit tidak tergantikan. Selain elit, hanyalah orang-orang medioker. Rakyat biasa hanya menjadi medioker.
Ditinjau dari perspektif ruhani, mediokrasi adalah anti-thesis dari konsep ihsan atau ‘kautaman’, sebagai indikator tercapainya maqom ma’rifatullah. Dengan kata lain, mediokrasi adalah pelembagaan dari salah-satu cabang kejahiliyahan berupa keengganan untuk menjadi ihsan, dan kedegilan untuk terus-menerus mengambil jarak dan mengabaikan Gusti Allah Yang Maha Tinggi (Excelsis Deo), sebagai perwujudan dari Par Excellence atau ke-Maha-Sempurnaan itu sendiri.
Akibatnya, mediokrasi cenderung alergi terhadap segala-sesuatu yang dianggap ‘terlalu baik’, dan bahkan memandang segala sesuatu yang unggul sebagai suatu ‘keburukan’. Keengganan ber-ihsan (excellence) atau kemalasan ber-ma’rifat bahkan membuat sang mediocrats merasa cukup puas hanya dengan memenuhi formalitas prosedural, tanpa mempedulikan kesempurnaan.
Mediokrasi lazim dijumpai di dunia berkembang, sebagai residual effect dari struktur kuasa kolonialisme-imperialisme di masa lampau, yang memerlukan pelestarian mediokritas di kalangan pribumi untuk keberlanjutan eksploitasi dan perbudakan atas mereka. Tak heran, tata kuasa neo-kolonialisme-imperialisme alias nekolim-pun tetap memerlukan mediocrats, untuk melanjutkan eksploitasi mereka dalam bentuk lain.
Tanpa mediocrats, takkan ada mediokrasi. Tanpa mediokrasi, nekolim takkan bertahan lama. Oleh karena itu, tak luput kiranya jika dikatakan bahwa Mediokrasi pada esensinya adalah suatu kuasa kedunguan, the rule of ignorance, atau al-‘imarah al-jahl.
Lantas bagaimana kita menghadapi politik-kekuasaan yang menempatkan orang-orang tidak kompeten malahan justru yang mengurusi hajat-hidup kita sebagai masyarakat. Bagaimana sikap kita sebagai Rakyat ketika Pemerintahan yang akan dan sedang menjabat dalam kebijakannya tidak benar-benar menyentuh persoalan yang benar-benar dirasakan oleh Rakyatnya. Apa jadinya jika ketika kebutuhan lapangan kerja meningkat justru pekerja asing yang tidak kompeten justru dipaksa untuk dipekerjakan, apa jadinya jika pemerintah belanja ratusan triliun untuk proyek-proyek yang diklaim sebagai proyek nasional tapi tidak serius dalam mengatasi meningkatnya angka anak-anak stunting. Bagaimana menyikapi gerakan politik yang mengatasnamakan solidaritas tetapi berisi orang-orang yang tidak solider pada kondisi masyarakat. Pamer belanja barang mewah di tengah daya beli masyarakat yang semakin menurun.
Mediokrasi, the rule of ignorance. Diangkat sebagai judul Kenduri Cinta edisi Oktober 2024, menghadapi situasi politik hari-hari ini yang penuh ketidakpastian, yang dapat kita lakukan tentu terbatas pada lokal kehidupan aktifitas keseharian kita. Aktifitas keseharian untuk meningkatkan kemandirian dan kompetensi setiap individu di tengah keluarga dan kehidupan sosialnya. Di tengah-tengah mayoritas masyarakat kelas menengah kebawah yang kepentingannya semakin tidak dipedulikan, hanya dijadikan sebagai faktor minor dalam urusan kepentingan para elit politik, Kenduri Cinta menggelar sinau bareng sebagai peringatan kepada semuanya pentingnya kepedulian. Karena Ignorance bukan hanya ada di Elite tapi juga di masyarakat umum. Tentu memaksakan orang untuk peduli dengan kita sesuatu yang susah, tapi bagaimana kita serius berusaha asik pada apa yang kita kerjakan tentu akan lebih menarik orang untuk terlibat.