Mbah Nun Sang Guru Kami
Bulan Mei adalah sesuatu bagi kami — Jamaah Maiyah. Setiap Mei datang, kami antusias melewatinya: Mei adalah kelahiran Mbah Nun, Sang Guru kami. Kami tidak sedang menomorsatukan beliau dan menomorduakan yang lain, tapi ini bentuk energi cinta kami ke beliau. Energi datang, kami antusias, lalu membuat sesuatu yang bermanfaat.
Iya, Mbah Nun ulang tahun. Tokoh spiritual, kata sekelompok orang. Sosok pendobrak, kata para aktivis zaman Orde Baru. Tokoh nyeleneh, kata para intelektual kampus. Sosok oposisi sepanjang zaman, kata Pemerintah. Tempat yang nyaman buat sesambatan, bagi kaum yang penuh masalah. Tokoh yang dibenci juga dicintai banyak pihak. Dan bagi kami, civitas Maiyah, beliau adalah Sang Guru yang mengajarkan kami banyak hal tentang menjalani kehidupan.
Teman-teman LKMS Mocopat Syafaat Jogja, sudah sejak awal Mei (bahkan sudah dimulai sejak akhir April) membikin kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat: pelatihan usaha, workshop-workshop, dan lain-lain. Juga simpul-simpul Maiyah lainnya di luar Jogja. Mereka semua berlomba mengekspresikan energinya dalam melewati Mei.
Majelis Masyarakat Maiyah yang setiap bulan diadakan di berbagai daerah di bulan Mei ini, juga mengangkat tema sosok Mbah Nun. Ilmunya. Perannya. Perjuangannya. Karyanya.
Mas Tanto Mendut lewat jaringannya di kampung-kampung dan desa-desa, yang akhir-akhir ini mulai akrab dengan Maiyah, membuat acara Hari Peradaban Desa, dan dalam acara itu selalu menyelipkan tema Mbah Nun dalam kegiatannya.
Di “kantor pusat” yaitu Rumah Maiyah Kadipiro juga ketularan energinya jamaah Maiyah. Tanggal 26 Mei nanti kami khataman mulai siang dan lanjut Tawashshulan. Dan malamnya live Tafsir Nadjibiyah bersama KiaiKanjeng. Selanjutnya tanggal 27 Mei di puncak acara ada Gamelan KiaiKanjeng dan Letto yang akan memberi kado ulang tahun buat Simbah.
Dari Mbah Nun kami diajari cara berpikir jangkep. Dari Mbah Nun kami diajari melihat sesuatu dari banyak sudut pandang. Dari Mbah Nun kami diajari cara mempertahankan diri. Dari Mbah Nun kami diajari warna kebenaran. Dari Mbah Nun kami diajari kapan sabar dan kapan marah. Dari Mbah Nun kami diajari kapan ngegas kapan ngerim. Dari Mbah Nun kami diajari letak kearifan, kemuliaan, dan keagungan.
Dari Mbah Nun kami mengerti perbedaan martabat pisau dan keris. Dari Mbah Nun kami diajari menjadi manusia. Dari Mbah Nun kami diajari untuk tidak silau dengan kegagahan. Dari Mbah Nun kami diajari kekosongan dan ketenteraman. Dari Mbah Nun kami diajari cara mengawinkan kebenaran dengan cinta. Dari Mbah Nun kami diajari tidak gumunam. Dari Mbah Nun kami diajari untuk online kepada Allah. Dari Mbah Nun. Dari Mbah Nun. Sang Guru kami semua.
Lalu Mbah Nun menyindir kita semua di dalam syair “Semau-maumu.”
kalau memang itu maumu
mencari bahagia dengan menuruti nafsu
terserah kamu
pandailah sendiri
dan bodohlah sendiri
kehidupan dan kematian
keuntungan dan kerugian
kau sendiri yang menentukan sesudah Tuhan
ke utara atau ke selatan
cahaya atau kegelapan
kau sendiri yang mengambil keputusan
buat apa ku mengingatkan
kalau Tuhan saja tiada engkau dengarkan
silakan jalan
hebatlah sendiri
dan konyollah sendiri
kenikmatan dan kepuasan
bukanlah pada khayalan
tapi didalam sehatnya akal pikiran
mencari rahasia Tuhan
sejatinya kebahagiaan
memijakkan kaki di bumi kenyataan
lampiaskan semau-maumu
hanyutkanlah diri sesuka-sukamu
telanlah api dunia sekenyangmu
tapi jangan sesalkan akan cepat datang mautmu
Yogyakarta, 21 Mei 2024