CakNun.com

Mbah Nun 1996

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 6 menit

“Okay siap-siap, mari ngene tak susul,” pesan balasan WA Mbah Nun masuk. Waduh, kok malah Mbah Nun yang menjemput. Sebegitu penting kah saya sampai harus dijemput langsung? Saya hanya menjawab, “Nggih Cak.”  Saya tak menyangka, penjemputan dan pertemuan sabtu pagi itu adalah peristiwa penting sebagai titik awal dalam goresan hidup saya selanjutnya. Sebuah garis kehidupan yang menguatkan keyakinan kepada Allah.

Ketika itu saya baru benar-benar mendarat di Jogja pada jumat malam, setelah menempuh hampir 30 jam penerbangan New York-Frankfurt-Singapura-Jakarta-Yogyakarta. Saya masih jetlag. Beberapa minggu sebelumnya di Philadelphia, Mbah Nun berpesan jika saya sampai di Yogya agar segera mengabarinya. Maka pagi itu saya langsung WA beliau, tapi tak membayangkan kalau akan langsung dijemput.

Memang sih, ada batu akik hasil perburuan saya dan teman-teman Al-Falah di New Jersey yang memang kami siapkan khusus untuk Mbah Nun. Maka ketika segera diajak bertemu pagi itu juga, anggapan saya, Mbah Nun utamanya menjemput batu-batu itu, bukan saya. Karena saat pulang dari Amerika sebulan sebelumnya, Mbah Nun membawa sangat banyak batu akik hasil perburuan di “surga”nya batu mineral di kota Atlanta. Akan tetapi batu-batu itu langsung ludes saat dihamparkan di hadapan bapak-bapak KiaiKanjeng. Berangkat dari situasi itu, maka batu-batu akik yang saya bawa menjadi penting.

Mbah Nun juga meminta saya mengajak istri pagi itu. Tak lama setelah instruksi agar saya bersiap, Mbah Nun mengabari kalau sudah di depan kos kami di bilangan Semaki, Kota Yogya, dengan naik Pajero putih. Disupiri Pak Gatot, Mbah Nun bersama Ibu Novia membawa kami meluncur ke Kadipiro untuk sarapan di Soto Kadipiro Plus. Cak Zakki ternyata sudah menunggu di sana.

Usai sarapan, kami geser ke Rumah Maiyah, yaitu di Perpustakaan EAN karena kata Bu Roh, pendopo sedang dipakai kegiatan yoga. Di perpustakaan sudah ada Patub Letto dan Mas Helmi. Saya merasa semakin aneh karena disambut banyak orang. Jeda bincang-bincang sebentar, segera saja saya berikan oleh-oleh batu akik itu, yang langsung menjadi sorotan utama. Sembari memperhatikan batu-batu itu, Mbah Nun mengusik mata Mas Helmi yang tergoda oleh batu akik. “Piye Hel?” tanya Mbah Nun. Mas Helmi hanya bisa terkekeh, “Hehehe, sae Cak.”

Yoga sudah rampung, kami pun geser lagi ke pendopo. Lebih banyak orang menyambut di sana. Saya merasa tambah aneh lagi. Di pendopo sudah ada Pak Toto, Mas Adin, Mas Ale, Mas Yudhis, yang intinya hampir semua warga Progress datang. Perbincangan pun berlanjut hingga menjelang siang. Di ujung pertemuan, barulah saya tahu bahwa saya diminta membantu untuk berkontribusi di Progress. Makanya Mbah Nun meminta semuanya hadir.

Minim Pergaulan di Yogya

Selama lebih dari 30 tahun sejak lahir, intensitas kepergian saya ke Yogya bisa dihitung jari. Hingga masa kuliah, hanya dua kali saya ke Yogya. Pertama saat studi tur SMA, dan kedua ketika mendaftar ke IAIN Sunan Kalijaga yang kemudian ujian masuknya saya abaikan. Selebihnya setelah itu, hanya saat mengunjungi pacar, sebelum akhirnya saya menikahinya. Hanya ada satu-dua teman di Yogya yang sudah lama sekali kami tak jumpa. Bisa dikatakan, saya hampir tak punya kenalan, kecuali satu: ya istri saya.

Setelah kami menikah, saya tinggal di Jakarta, karena sudah sepuluh tahun sejak kuliah tinggal di sana. Sementara istri hampir sepuluh tahun sejak kuliah tinggal di Yogya. Kami masing-masing berkegiatan terpisah. Saya merintis usaha di Jakarta, ia mengajar di Yogya. Masa depan kami pun belum jelas apakah ia akan ikut saya, atau sebaliknya saya pindah menemaninya. Bisnis rintisan saya belum berhasil, sementara istri masih dosen honorer. Sampai akhirnya istri kuliah magister lagi di Amerika. Ketika ia berangkat, saya tetap di Indonesia. Baru setelah setahun saya menyusulnya.

Setelah saya menyusul pada awal 2014, ternyata aktivitas kami juga harus terpisah. Ia kuliah di kota Hartford, negara bagian Connecticut. Sedangkan saya harus berburu dollar, menempuh empat jam perjalanan ke kota Philadelphia di negara bagian Pennsylvania. Itu kami lakukan untuk membantu pembiayaan kuliah istri karena beasiswa yang ada tak cukup. Tapi ternyata tanpa keterpisahan kami itu, saya tidak mungkin berinteraksi langsung dengan Mbah Nun.

Di Philadelphia, saya membantu teman-teman imigran Indonesia muslim dalam menghidupkan masjid yang mereka miliki. Masjid Al-Falah ini mereka upayakan pembelian bangunannya dengan patungan, yang alhamdulillah cicilan pembeliannya ke bank sudah lunas. Masjid ini memiliki kegiatan rutin yasinan setiap malam jumat dan pengajian setiap malam ahad.

Selama ewang-ewang di Al-Falah, beberapa kali saya mengikuti kabar Mbah Nun saat mengunjungi para imigran bangsa kita di berbagai negara seperti di Timur Tengah, Malaysia, dan Korea Selatan. Dalam pandangan saya, keberadaan para imigran Indonesia di Amerika memiliki situasi yang sama dengan mereka di berbagai negara itu, utamanya situasi yang umumnya berstatus bekerja “di bawah meja”. Mereka memiliki problematika yang khas, salah satunya adalah ketidakrukunan di antara mereka, termasuk dalam komunitas Masjid Al-Falah ini.

Jejak panjang Mbah Nun, bagi saya laiknya seorang dokter spesialis merukunkan mereka yang bertengkar. Maka tahun 2014 itu, dalam percakapan internal di grup media sosial, saya menawarkan gagasan barangkali bisa dicoba mengundang Mbah Nun. Kayaknya kok cocok dengan kondisi sosiologis para imigran negara kita di Philadelphia. Bagi masyarakat muslim imigran nusantara di Amerika, mengundang tokoh agama dari Indonesia setiap tahun adalah hal biasa.

Para pengurus masjid yang sedang berseteru bergeming. Usulan yang saya hembuskan hanya menjadi angin lalu. Memasuki Oktober 2014, ternyata saya ‘dipaksa’ pulang ke Indonesia karena istri saya harus mengikuti ujian perekrutan ASN dosen di UIN Sunan Kalijaga. Saya yang hanya berstatus visa pengikut, mau tak mau harus angkat kaki. Rangkaian tes penerimaan ASN yang diikuti istri, pelaksanaannya dilakukan di Yogya.

Kami pun harus tinggal di Yogya. Selama itu, saya dua kali menghadiri Mocopat Syafaat. Saya menjadi jamaah pada bulan Desember 2014 dan Januari 2015. Itu adalah Mocopat pertama yang saya ikuti. Mengapa? Karena sebelumnya tidak ada alasan saya ke Yogya karena tidak punya kenalan, apalagi ikut Mocopat. Semua aktivitas saya full di Jabodetabek.

Tapi meski saya sudah berkegiatan sepuluh tahun di Jakarta, saya tidak sekalipun pernah menghadiri Kenduri Cinta. Sebab sebagai mahasiswa dari kampung yang tinggal di Ciputat, pergi ke Cikini dan pulang tengah malam adalah satu hal yang merepotkan karena tak punya kendaraan pribadi. Selama di Jakarta, saya menyaksikan Mbah Nun dan KiaiKanjeng hanya saat diundang ke kampus saya, UIN Syahid. Seingat saya sebanyak tiga kali. Dua kali saya hadir, yang satunya saya ketiduran di kos. Tapi kalau majelis Padhangmbulan, sudah banyak kali saya hadiri tatkala masih SMA, antara tahun 1999-2002.

Alhamdulillah istri saya lulus menjadi ASN. SK calon ASN-nya mulai berlaku pada bulan Juli. Karena itu masih lama, kami bisa kembali ke Amerika, ke Philadelphia dan ke Hartford lagi. Saya mencoba cari pekerjaan baru  karena otomatis saya keluar dari pekerjaan sebelumnya akibat pulang kampung empat bulan. Beruntung saya langsung dapat kerja, sehingga bisa segera aktif lagi di Masjid Al-Falah.

Selama saya meninggalkan Al-Falah, ternyata banyak perubahan internal yang terjadi. Salah satunya dengan “kembali”nya Mas Adit. Arek Suroboyo ini sempat uzlah, menjauh dari aktivitas di Al-Falah karena sesuatu hal. Sekembalinya ke masjid, ternyata dia membaca usulan saya. Sebagai salah satu anggota dewan pembina, Mas Adit semangat mendorong para pengurus untuk mengundang Mbah Nun.

Mengetahui hal itu, saya pun senang. Saya mencoba memberi pagar perihal etika mengundang Mbah Nun. Walaupun saya tidak pernah berinteraksi langsung, tapi saya paham, saya mengerti roso yang harus dijalankan dengan tepat. Seperti jangan sampai undangan ini bersifat transaksional apalagi bertanya tentang tarif. Undanglah Mbah Nun sebagai seorang bapak yang menyambangi anak-anaknya.

Alhamdulillah pengurus Al-Falah menjalankan proses mengundang itu dengan sangat baik. Roso yang dijaga itu pun sampai dan terasa pada Cak Zakki sebagai punggawa kesekretariatan Progress—pintu masuk berbagai undangan. Sehingga semua akhirnya klik. Mbah Nun pun setuju, bersama Ibu Novia pada bulan September 2015 mengunjungi “anak-anak”nya, para imigran Indonesia di Amerika.

Yakin dan Diperjalankan

Ada banyak sekali cerita dengan Mbah Nun selama saya membersamai beliau di berbagai kota hampir dua minggu. Misalnya wudhu di jantung Time Square di New York, atau upaya Mbah Nun menembus Pentagon di Washington DC. Tapi sepertinya lain kali saja saya ceritakan.

Cerita kali ini sampailah pada saat menjelang kepulangan Mbah Nun ke tanah air. Saat hari-hari pertama Mbah Nun di Amerika, situasi saya masih seperti rencana semula. Yakni istri saya pulang duluan karena SK calon ASN sudah berjalan, sementara sesuai izin tinggal yang diberikan oleh Departemen Keamaman Dalam Negeri, saya masih bisa tinggal sampai akhir Desember 2015.

Namun saat Mbah Nun terbang beberapa hari ke kota Atlanta, mendadak ada kabar dari istri. Pihak kampus akhirnya mengetahui istri saya sudah tidak di Amerika lagi. Mereka menanyakan apakah mulai semester tahun ajaran baru nanti bulan Oktober, apakah akan berada di Hartford. Bila tidak, maka izin tinggal otomatis terputus. Saat izin tinggalnya diputus, otomatis itu berlaku juga buat izin tinggal saya.

Maka situasi menjadi clear. Karena kehidupan karir istri saya ke depan sudah jelas, maka saat saya kembali, sudah pasti akan hidup di Yogya. Saat bertemu Mbah Nun lagi usai dari Atlanta, saya sampaikan kalau tidak lama lagi saya harus pulang ke Indonesia dan akan menetap di Yogya. Pada malam terakhir sebelum Mbah Nun pulang, dalam perbincangan santai di Masjid Al-Falah, sambil dipijat beliau bilang ke saya kalau besok di Yogya agar melu ngewangi arek-arek.

Dan akhirnya pulanglah saya ke Yogya seperti yang saya ceritakan di awal. Awalnya sebelum pulang, saya tidak punya bayangan mau ngapain hidup di Yogya. Saudara tak ada, teman segelintir, apalagi jaringan. Dan tentu tidak punya pekerjaan. Pengalaman dan jaringan perkenalan saya selama sepuluh tahun, semuanya di Jabodetabek. Walaupun begitu, saya sebenarnya tenang-tenang saja. Justru istri saya yang khawatir.

Tapi Allah memang sudah punya rencana. Dan kita hanya perlu yakin dan manut saja dengan rencana-Nya. Semua rencana untuk saya dan istri itu dituliskan lewat Mbah Nun. Tanpa menunggu lama, begitu saya menapakkan kaki di Yogya, Mbah Nun mempersaudarakan saya dengan semua warga Progress, Letto, KiaiKanjeng, dan masyarakat Maiyah. Saya jadi punya teman dan saudara sekaligus, bahkan tidak hanya di Yogya, tapi ke seluruh penjuru nusantara. Saya jadi punya kegiatan jelas di Yogya.

Untuk itulah, tak ada hentinya rasa syukur saya dengan maturnuwun sangat kepada Mbah Nun sekeluarga. Keteguhan aqidah kepada Allah yang menancap kuat dalam diri Mbah Nun, yang selalu dijalankannya di dunia ini, yang selalu diajarkannya, kepada saya itu semua tidak pernah sekedar disampaikannya, tapi saya langsung diajak menjalaninya.

Pun perjalanan saya dan istri kembali ke Amerika lagi sekarang. Semua itu tak lepas dari hidayah ilmu Allah yang dititipkan lewat Mbah Nun, yang menjadi intisari perjalanan studi S3 istri saya. Sekarang saya menyadari jika Allah ternyata sudah menggariskan dua pertiga usia saya, untuk tak bisa lepas dari Mbah Nun. Bermula sejak 1996 silam, saat saya masih 12 tahun.

Sekali lagi, Alhamdulillah. Maturnuwun Mbah Nun. []

Chicago, 26 Mei 2024

Lainnya

Tadabbur Teman-Teman Kita Untuk Quiz Ular Mbah Nun (2)

Tadabbur Teman-Teman Kita Untuk Quiz Ular Mbah Nun (2)

Eliyas Yahya, Jombang

Menjawab tugas atau dawuh dari SiMbah, soal Quiz Ular, pekerjaan saya selain dagang online adalah kehutan atau kehilir sungai, mencari beberapa tanaman herbal ataupun non herbal.

Redaksi
Redaksi