CakNun.com

Mas Gandhie, Selamat Jalan

Ratri Dian Ariani
Waktu baca ± 4 menit

Astaga, tak pernah terbayang selintas pun saya bakal menuliskan sesuatu tentangnya, apalagi dalam suasana begini rupa. Saya kira sosok yang paling bisa diandalkan itu akan selalu ada, tegak menjadi cagak sekaligus cair menjadi perekat Maiyah. Sosok yang luwes tapi juga super disiplin, yang memahami peta besar Maiyah tapi juga sangat detail ketika melayani — mengurus apapun dan siapapun di mana-mana yang perlu diurus, mengatur jadwal, tidak hanya mengalokasikan tapi juga sekaligus meng-ada-kan sumber daya supaya apa-apa yang harus berjalan bisa terus berjalan, serta menjaga dan memelihara dokumentasi dalam beragam media.

Bahkan buat saya yang tidak pandai berteman dan sering malas kumpul-kumpul, Mas Gandhie adalah teman yang baik. Setelan mulutnya agak sialan sih, memang, tapi kepeduliannya kepada sesama konstan adanya. Lebih dari itu, Mas Gandhie adalah juga ‘rekan kerja’ terbaik yang pernah saya punya.

Ngos-Ngosan Bersama

Sekian belas tahun lalu Mas Gandhie pernah memarahi saya yang ogah-ogahan datang Reboan — sebuah forum setiap hari Rabu di mana para penggiat berkumpul dan bersilaturahmi sekaligus membahas perencanaan dan evaluasi Kenduri Cinta. Waktu itu saya ngelès, beralasan merasa tidak bisa berkontribusi apapun di Reboan, sementara waktu tiga atau empat jam itu bisa saya gunakan untuk mengerjakan dan merapikan reportase Kenduri Cinta yang lalu-lalu. Dia tak bilang apa-apa, tapi besoknya tak ada komplain lagi setiap kali saya nggak datang Reboan, ditambah dengan suplai file-file rekaman Kenduri Cinta yang susul-menyusul untuk saya kerjakan. Saya anggap itu sebagai oke.

Meskipun tetap, di banyak kesempatan dia tak bosan-bosan berpesan tentang pentingnya bersilaturahmi. “Kalaupun maunya berkontribusi, kan kontribusi wujudnya nggak cuma tulisan aja. Tahu kabar temen-temen, itu juga kontribusi,” kira-kira begitu ucapnya pada suatu malam. Mengabaikan teguran itu merupakan salah satu kebodohan besar yang saya sesali belakangan.

Lalu bergulirlah kerja-kerja pencatatan berikutnya. Penulisan reportase tak lagi terbatas pada Kenduri Cinta saja tapi meluas ke kegiatan Maiyahan di kota-kota dan di negara lain. Mas Gandhie berlompatan mendampingi Simbah dan kadang-kadang beserta Bu Via, mengambil foto-foto, dan gercep mengirimkan file rekaman acara kepada saya yang duduk manis di Jakarta. Dia mengirimkan rekaman itu secara bertahap dalam potongan-potongan sehingga proses pencatatan berjalan paralel dengan acara yang masih berlangsung. File reportase saya balas-berbalas dengan file audio darinya sehingga reportase bisa diterbitkan **secepat mungkin, bagian per bagian.

Kerja pencatatan juga meluas ke forum-forum diskusi yang lebih terbatas dengan topik-topik yang rasanya belum layak terbit karena terlalu spekulatif, serta proyek penulisan yang terhenti karena kendala di sana-sini. Untuk yang begini-begini, Mas Gandhie taat menjaganya tidak keluar dan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Tapi jikapun terlanjur keluar entah akibat ulah siapa, dia piawai meredamnya kembali.

Bekerja di bawah arahan (oke, maksudnya suruhan) Mas Gandhie memang bikin ngos-ngosan, tapi juga menyenangkan. Dia banyak mau — pokoknya secepat mungkin, tapi juga jangan kocar-kacir dalam kelengkapan dan kerapiannya. “Saling setor aja kita,” katanya. Tentu maksudnya adalah ayolah cepetan ngerjainnya, masa iya sampai harus ditagih.

Tapi tuntutannya yang meningkat dari hari ke hari itu terasa adil-adil saja sebab dia selalu yang duluan mengusahakan dan menyiapkan semua yang diperlukan entah bagaimana caranya — ya waktu, ya tenaga, ya uang, ya perlindungan dari kesalahpahaman-kesalahpahaman pihak lain. Dia menuntut banyak, tapi juga jungkir balik menyediakan fasilitas di tengah keriuhan jadwal hidupnya mengatur sisi-sisi lain di Maiyah dan yang di luar itu. Mungkin seluruh hidupnya memang tentang melayani dan mempersembahkan.

Ada saatnya Mas Gandhie membagi seiprit kegelisahan-kegelisahannya. Kadang dalam obrolan-obrolan sambil makan di Abuba Sabang, duduk-duduk malam di Taman Ismail Marzuki, ngopi-ngopi sampai Bakoel Koffie tutup, di sepanjang jalan, atau di tempat-tempat lain. Hanya sedikit dari seluruh kesulitan yang dia hadapi, saya yakin, tapi sudah sangat rumit bahkan hanya untuk saya simak. Saya selalu terheran-heran padanya setidaknya karena dua hal: ketahanannya bersetia di tiap titik perjalanan dan kepiawaiannya menyembunyikan dan menghadapi kesulitan. “Yo piye carane,” kata-kata andalannya.

Perjumpaan Terakhir

Tahun 2014 saya memutuskan untuk vakum Maiyahan. Tahun 2023 ketika pandemi mulai mereda baru saya mulai Maiyahan kembali berkat dorongan yang berasal dari mimpi-mimpi yang saya alami sejak tiga tahun sebelumnya.

Tahun itu beberapa kali saya berkesempatan bertemu dengan Mas Gandhie. Di Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Sastra Emha, Bakmi Jogja Tebet, dan di rumahnya di Cimanggu Bogor. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat saya memikirkan ulang beberapa hal. Lalu pada akhir tahun 2023, saya bersama keluarga pindah ke Merauke, Papua. Jauh dari persangkaan saya, ternyata itu perjumpaan terakhir kami.

Ketika datang kabar yang mengagetkan banyak sekali orang di Senin tanggal 14 Oktober lalu, hanya ada gelap. Lalu saya teringat pesan yang disampaikan oleh Simbah pada 27 Mei 2023 di rumah Mas Gandhie selepas tawashshulan serentak seluruh simpul Maiyah dalam rangka 70 tahun Mbah Nun. Ketika itu Beliau berbicara mengenai kegelapan paling pekat yang akan Beliau alami dalam waktu dekat. Tanpa konteks, tanpa petunjuk lebih lanjut.

Cahaya menerbitkan kegelapan, kegelapan juga menerbitkan cahaya, dan seterusnya. Ada dialektika dan ada hakikat alam yang selama ini kita memahaminya secara dikotomis.

Entah lewat mana dan bagaimana, mungkin kalimat ini bisa kita jadikan pegangan untuk melewati gelap yang kita alami akibat kepergiannya. Kita berduka, tapi hidup harus terus berjalan. Mengutip kalimat Simbah yang pernah Beliau ucapkan pada sebuah wawancara tanggal 2 Oktober 1990, kita mesti belajar untuk ‘berlari di sela-sela air hujan’ — terus bekerja di sela-sela rasa kehilangan yang dalam. Kita bersedih hati, tapi melanjutkan kesetiaan dan etos kerjanya untuk Maiyah adalah hal paling masuk akal yang bisa kita tempuh untuk terus mengenangnya. Mari kita lanjutkan merajut persembahan kita untuk Maiyah, saling setor dari area masing-masing.

Selamat jalan, Mas Gandhie. Semoga terang jalanmu, sebagaimana ribuan cahaya yang telah kau bawa untuk kami semua selama hidupmu. Terima kasih telah menjadi ruang yang entah di mana dinding-dindingnya — menampung hampir seluruhnya.

Merauke, 22 Oktober 2024

Lainnya