CakNun.com

Lewat Cak Fuad, Saya Sinau Jadi Hamba yang Tidak Kurang Ajar pada Allah

Aly Reza
Waktu baca ± 4 menit

Di luar acara meriung dalam forum Maiyah — sepanjang 2017-2023 saya rutin mengikuti Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya sebelum akhirnya pindah kota — saya memiliki jadwal khusus untuk membaca tawashshul yang disusun Mbah Nun. Saya membuat kesepakatan dengan diri saya sendiri: membacanya setiap malam Rabu.

Saya tak punya alasan filosofis-spiritualis yang panjang nan mendalam kenapa memilih rutin melakukan tawashshulan (ala Maiyah) di malam Rabu. Saya mendasarinya pada prasangka baik pada Allah Swt. Sedari nyantri (2011-2017), kepala saya sudah kadung menghafal penggalan kitab Ta’lim al-Mutaallim ini: Tiada segala sesuatu yang dimulai pada hari Rabu, kecuali akan menjadi sempurna.

Oleh karena itu, saya hanya modal husnuzon saja pada Allah Swt. Bahwa ketika saya memilih malam Rabu sebagai waktu khusus untuk tawashshulan, ya saya yakin saja Allah akan berbaik hati menjadikan tirakat tawashshulan itu berbuah baik. Tentu tanpa mengurangi keyakinan bahwa tawashshulan di hari-hari lain pun sama sempurnanya.

Pokoknya wa’bud robbaka hatta ya’tiyaka al-yaqin (menghamba sampai ke level yakin total pada pertolongan Allah).

Kurang Ajar Pada Allah

Saya tidak hendak terlihat sok saleh atau sok alim. Wong sebagai santri saya ini terbilang mbalelo: tidak lurus-lurus amat. Jauh dari dua kategori tersebut. Tapi memang kalau sedang dalam ruang tawashshulan — yang sering saya kerjakan di kamar kosan — itu, saya kerap menangis sesenggukan.

Sungguh saya kelewat malu terhadap Allah Swt. Rangkaian wirid dan salawat yang Mbah Nun susun dalam naskah tawashshulan betul-betul menyadarkan saya, kalau sebagai hamba ternyata selama ini saya kurang ajar sekali.

Tawashshulan pada intinya adalah untaian doa alias panyuwun kepada Allah Swt. Hanya saja, prinsip doa dalam tawashshulan ala Maiyah bukan kok semata-mata minta, tapi justru wujud pengakuan: kita ini lemah selemah-lemahnya kalau tidak ada pertolongan dari Allah Swt.

Maka, meminjam istilah dari Mbah Fuad, dalam tawashshulan itu kita sudah selayaknya mengemis, sambat, dan mengiba-iba kepada Allah Swt agar Ia tak memutus kebaikan pada hamba kurang ajar seperti kita.

Doa kita — khususnya doa saya sendiri — selama ini lebih cenderung intimidatif dan mendikte. Kalau berdoa, saya lebih sering mengintimidasi dan mendikte Allah, “Ya Allah pokoknya saya minta ini, kabulkan!” “Ya Allah, pokoknya saya butuh ini, turuti!” “Ya Allah pokoknya harus keturutan hari ini juga!”

Lalu kalau rasanya doa tak kunjung terkabul, lantas dengan lancang kita menagih-nagih Allah. Bahkan kadang juga sampai di titik menuding Allah ingkar janji.

Doa semacam itu adalah doa yang penuh kesombongan. Sebab kita kelewat percaya diri meminta — yang lebih terkesan menuntut — pada Allah agar Ia kabulkan. Tanpa menyadari, apakah doa-doa itu pantas Ia kabulkan? Tanpa mengoreksi apakah kondisi jasad dan batin kita sudah memenuhi kriteria layak untuk Allah sembadani?

Wong kita ini kalau urusan melanggar larangan Allah dan mengabaikan perintah-Nya sregep luar biasa kok. Wong kita ini begitu fasih dan telaten kalau berbuat dosa. Bolos salat, ngeblong puasa saja juga tak menyisakan penyesalan di hati sama sekali. Lah kok pede nemen nuntut-nuntut Allah Swt. Itu namanya sombong, gedhen rumangsa (ge-er).

Itulah kenapa Mbah Fuad pernah mengurai kisah teladan dari sosok Hasan al-Bashri.

Singkat riwayat, setiap ada orang yang minta solusi agar hajatnya terkabul, Hasan al-Bahsri memberi jawaban: hal yang pertama-tama harus dilakukan adalah “istighfar”. Mengakui kesalahan dan memohon ampun kepada Allah Swt atas ketidakmaksimalan kita dalam pengabdian sebagai hamba-Nya. Merujuk Q.S. Hud: 3, al-Anfal: 33, dan al-Baqarah: 58, kalau kita sudah memohon ampun kepada Allah, maka ia akan memberi segenap kenikmatan kepada kita. Termasuk di dalam kenikmatan itu adalah terwujudnya hajat.

Maksa-Maksa Allah

Tapi Mbah Fuad pun mengingatkan, doa itu tidak mesti langsung terkabul. Kalau tak kunjung terwujud dalam skema hitungan waktu kita, bukan berarti tidak terkabul. Jangan salah sangka dulu.

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt sudah banyak menegaskan kalau Ia bakal mengabulkan doa hamba-Nya. Dan Allah menegaskan tak pernah ingkar janji soal hal itu.

Kalau tidak terkabul hari ini, bisa saja Allah sudah menyiapkan untuk mengabulkannya di lain waktu, yang dalam hitungan-Nya jauh lebih baik dan lebih tepat. Atau kalau tidak sama persis dengan apa yang kita minta, Allah mungkin saja menggantinya dalam bentuk lain yang lebih istimewa. Atau jangan-jangan sebenarnya sudah terwujud, tapi gelapnya batin membuat kita tak menyadari terwujudnya hajat atau doa tersebut.

Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang gak duwe isin ini.

***

Tawashshulan, sinau bareng di Maiyah, mencatat pitutur-pitutur para marja (dari Mbah Nun hingga Mbah Fuad), menyeret saya pada kesadaran-kesadaran vital tersebut. Karena kalau tidak segera sadar, entah sampai kapan lagi saya bakal terus-menerus kurang ajar.

Di samping Mbah Nuh, Mbah Fuad menjadi salah satu marja Maiyah yang nasihat-nasihatnya sangat merasuk dalam hidup saya. Halus, tapi begitu berenergi.

Uraian di atas adalah satu bagian dari nasihat Mbah Fuad yang kemudian membuat saya membenahi betul adab saya dalam meminta pada Allah. Tidak sok seperti yang saya lakukan selama ini.

Selama hidupnya, Mbah Fuad sudah banyak mengudar pitutur-pitutur yang menggugah kesadaran. Khususnya dalam konteks membangun hubungan mesra dengan Allah Swt.

Allah Sangat Gembira Melihat Taubat Hamba-Nya

Pitutur-pitutur Mbah Fuad itu, kini terangkum dalam sebuah buku berjudul Allah Sangat Gembira Melihat Taubat Hamba-Nya. Dari judulnya saja sudah cukup jadi bukti, bahwa ikhtiar Mbah Fuad untuk anak cucu Maiyah selama ini adalah bagaimana agar antara kita dan Allah terjalin hubungan yang saling menggembirakan. Kita gembira kepada Allah, Allah pun gembira kepada kita.

Buku dengan total 130 halaman tersebut terbagi dalam enam bagian. Keenam bagian tersebut pada prinspinya berisi panduan Mbah Fuad, dari yang pendek maupun panjang, tentang bagaimana membangun intimitas antara kita dengan Allah Swt. Buku ini baru saja terbit bulan ini. Naskahnya bersumber dari rubrik “Tetes” di caknun.com.

Buku ini sudah sepatutnya ada dalam rak buku anak cucu Maiyah. Berjejer di antara buku-buku Mbah Nun hingga Syaikh Nursamad Kamba. Menjadi semacam buku saku untuk hidup yang lebih Allah oriented. Memangnya, kita mau ke mana kalau tidak menuju Allah?

Catatan: Informasi lengkap mengenai buku Allah Sangat Gembira Melihat Taubat Hamba-Nya bisa dilihat bukumojok.com. Untuk pesan, silakan klik https://wa.me/6287845801366 (Mojok Store). Buku dikirim dari Jogja sampai alamat Anda.

Lainnya

Topik