CakNun.com

Laparkah Engkau

Dari buku Emha Ainun Nadjib, Gelandangan Di Kampung Sendiri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, halaman 296-300
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Untunglah sudah berpuluh-puluh tahun lamanya penduduk desa ini terbiasa tak punya pemimpin. Ada, mungkin ada pemimpin, tapi yang dimaksud bukan Pak Lurah. Sampai tahun 50-an Lurah desa ini justru seorang tuan tanah yang feodal. Lurah berikutnya hingga menjelang 90-an adalah lelaki pandai mengaji tapi begitu menjadi Lurah segala macam ngaji Qur’annya itu tak mengimbas ke jabatan dan fungsi sosialnya.

Penduduk desa tak pernah menghormati mereka. Di muka bumi ini barangkali tak ada rakyat yang lebih tak menuntut dibanding penduduk desa ini. Tak apa-apa Lurah tak memikirkan mereka, sibuk kawin di mana-mana, memperkaya diri, atau berperilaku seperti apapun. Mereka tetap senyum-senyum dan membungkukkan badan apabila berpapasan dengan Pak Lurah.

Mungkin bagi mereka dunia dan kehidupan ini memang harus berlangsung sedemikian rupa. Sehingga yang namanya Lurah itu ya seperti itu, seperti halnya matahari ya memang terbit tiap pagi dan tenggelam memasuki senja. Tak ada yang perlu dipertanyakan, dituntutkan atau dihimbaukan. Ada sih ada, tapi itu terbatas pada gerundelan-gerundelan kecil sesaat yang dijaga betul kerahasiaannya.

Dengan demikian Lurah ketiga ini pun kelihatannya ya tetap mereka hormati seperti para pendahulunya. Tetap mereka sayangi seperti mereka menyayangi tanah, sungai, pepohonan dan udara.

Adapun urusan-urusan yang memerlukan kepemimpinan, sudah ada yang menanganinya sendiri. Jadi bukannya masyarakat desa ini tak memiliki konsep sosial tentang pemerintah dan tata desa. Seperti dalam natur komunitas kaum hewan, masyarakat desa ini juga senantiasa memiliki pemimpin-pemimpin alamiah.

Menurut Pak Guru Mataki itu namanya pemimpin informal, yang dalam kenyataannya jauh lebih berperan bagi kehidupan masyarakat dibanding pemimpin formal. Para Pamong Desa seringkali bukan hanya kurang mampu dan kurang mau memimpin: mereka tak jarang malah merepotkan dan menakutkan. Kalau berpapasan di jalan para Pamong mau tidak mau harus disapa melebihi kesopanan kalau orang menyapa rekan-rekan sesama penduduk. Dan kalau pada suatu siang ada pamong berkeliling mengetuk rumah demi rumah, mereka harus menyiapkan sejumlah uang — untuk iuran ini atau itu. Pokoknya ada-ada saja.

“Filsafat yang dipakai di sini”, kata Pak Guru Mataki. “Jangan tanyakan apa yang diperbuat desa ini kepada kalian, tapi tanyakan apa yang kalian perbuat untuk desa ini”.

“Apa tidak terbalik itu, Pak Guru?”, tanya salah seorang tetangganya.

Pak Mataki belum sempat menjawab karena tetangganya yang lain menyeletuk — “Mestinya pusat dan tujuan pembangunan adalah kesejahteraan penduduk. Kok ini setiap kali penduduk yang harus menyejahterakan desa. Memangnya desa itu butuh kesejahteraan?”

“Pamong yang butuh kesejahteraan!”, tetangga yang pertama tadi memotong.

Adapun pemimpin informal malah mengerjakan begitu banyak hal untuk penduduk. Ia seorang Kiai kecil yang merangkap jadi petani biasa, atau petani biasa yang merangkap jadi Kiai.

Pertama-tama dialah tempat orang bertanya tentang masalah-masalah syariat Agama, moral dan filsafat hidup. Selanjutnya ia juga harus menjawab berbagai pertanyaan tentang hukum formal yang menyangkut tanah atau apa saja. Kemudian ia ternyata juga harus bisa jadi semacam ahli kejiwaan — entah psikiater entah psikolog — atau bahkan ahli obat-obatan, baik yang bersifat fisik maupun yang psikis ataupun mistis. Pokoknya pemimpin nggak sengaja macam ini harus memenuhi apa pun saja kebutuhan batin penduduk.

Bahkan ia pula yang merintis diadakannya kegiatan berbagai macam olahraga, sekaligus menyediakan sejumlah sarana dan fasilitasnya. Kalau ada apa pun, terutama peringatan-peringatan Hari Nasional atau Hari Besar Islam, dia juga pelopornya, maecenasnya dan pemberi pengajiannya. Pokoknya ini pemimpin borongan, karena memang sedemikian jauh kebutuhan rakyat di sekitarnya. Malahan pada saat-saat tertentu, para pamong pun terpaksa atau tak terpaksa berkonsultasi kepadanya.

“Menurut para ahli ilmu kemasyarakatan”, Pak Guru Mataki berkata lagi, “pola kepemimpinan semacam itu sudah harus diubah. Sekarang sudah jaman modern. Kehidupan harus dikelola dengan pola managemen sosial yang berbeda. Kepemimpinan personal digantikan oleh kepemimpinan impersonal. Jadi dalam hal ini diperlukan pembagian kerja yang tertib. Sejumlah urusan ditangani oleh birokrasi desa. Hal-hal lain ditangani oleh lembaga-lembaga yang berbeda-beda. Misalnya kalau soal hukum tanah ya jangan datang ke Kiai. Kalau urusan olahraga ya Karang Taruna. Kalau sakit ya ke Dokter. Kalau sakit jiwa ya ke psikiater. Kalau melarat, silahkan cari makan sendiri. Kalau pas ketakutan kepada Pamong, baru kalian boleh datang ke Kiai….”

Akan tetapi di desa ini yang namanya kepemimpinan impersonal atau birokratis belum bisa jalan. Rakyat kehilangan tempat mengadukan nasibnya. Mereka harus berlaku seperti anak-anak ayam kehilangan induk. Kalau kelaparan, tak bisa lapor ke Pak Lurah. Kalau sakit parah, harus menyewa motor tetangga untuk mengantar ke Rumah Sakit. Kegiatan olahraga dan kesenian tak ada yang merintis. Betapa inginnya mereka ditanyai oleh Pak Lurah: “Apa kabar keluarga Bapak? Ada kesulitan apa? Tidak sampai kelaparan kan? Kok kelihatannya sedang bersedih?….”

Lainnya

Lelaki ke-1000 di Ranjangku

Lelaki ke-1000 di Ranjangku

Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri…

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version