CakNun.com

Ketika Kita Tak Punya Kedaulatan Selera: Mata, Telinga, Hidung, dan Lidah yang Dijajah

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Photo by Magnus Mueller on Pexels

Kedaulatan selera adalah hak prerogatif yang seringkali diabaikan dalam keseharian kita. Sebagai manusia, kita cenderung percaya bahwa kita memiliki kendali penuh atas apa yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan. Namun, realitasnya seringkali berbeda. Seiring dengan kemajuan teknologi, globalisasi, dan industri, kita sering kali merasa diri kita tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas indra-indra kita sendiri: mata, telinga, hidung, dan lidah kita telah dijajah.

Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi yang melimpah, pandangan kita secara tak terelakkan terjebak dalam arus tak terputus dari citra-citra yang disajikan oleh media. Mata kita dijejali dengan gambar-gambar yang dimanipulasi, seringkali menimbulkan standar kecantikan yang tidak realistis atau bahkan merugikan. Kita tidak lagi memiliki kontrol penuh atas apa yang kita lihat, karena kebanyakan dari apa yang disuguhkan kepada kita telah disaring dan diarahkan oleh kepentingan komersial atau politik tertentu.

Tidak hanya itu, telinga kita juga tidak luput dari pengaruh luar yang memengaruhi persepsi kita terhadap dunia. Bunyi-bunyi yang kita dengar, baik itu dari musik, siaran berita, atau percakapan sehari-hari, seringkali menjadi alat untuk memanipulasi pikiran dan emosi kita. Kita menjadi rentan terhadap propaganda, disinformasi, dan stereotip yang dapat membentuk pola pikir dan pandangan kita terhadap berbagai hal.

Hidung kita juga menjadi sasaran bagi industri-industri besar yang ingin mengendalikan keinginan dan kebutuhan kita. Aroma-aroma buatan, parfum, dan bau-bauan lainnya diciptakan tidak hanya untuk memikat indera penciuman kita, tetapi juga untuk mempengaruhi emosi dan perilaku kita. Kita sering kali tidak menyadari bahwa kita menjadi korban dari manipulasi ini, terjebak dalam lingkaran konsumsi tanpa akhir.

Selain itu, lidah kita pun tidak luput dari pengaruh luar. Makanan dan minuman yang kita konsumsi sering kali diubah dengan tambahan bahan-bahan kimia untuk meningkatkan rasa atau membuatnya lebih menarik secara visual. Kita tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas pilihan makanan kita, karena sebagian besar dari apa yang tersedia di pasaran telah dimanipulasi oleh industri makanan dan minuman.

Dalam kondisi di mana kedaulatan selera kita telah dijajah oleh berbagai kepentingan komersial dan politik, penting bagi kita untuk mempertanyakan dan mengkritisi apa yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan. Kita harus belajar untuk membangun kembali kedaulatan selera kita dengan menjadi lebih sadar akan pengaruh-pengaruh luar yang memengaruhi indra-indra kita. Dengan demikian, kita dapat membebaskan diri dari penjajahan yang tak terlihat ini dan kembali memiliki kontrol penuh atas hidup dan persepsi kita.

Pengalaman kita sebagai manusia sangatlah terikat dengan indera yang membentuk jendela utama bagi kita untuk memahami dan merasakan dunia di sekitar kita. Mata memberi kita akses visual terhadap lingkungan, telinga memungkinkan kita mendengar suara-suara yang mengisi ruang, hidung memberikan aroma yang khas, dan lidah memberi kita kemampuan untuk menikmati rasa dari makanan dan minuman. Namun, seringkali kita tidak menyadari bahwa indera-ini, yang seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita, juga rentan terhadap pengaruh eksternal yang dapat mengganggu kedaulatan selera kita.

Pertama-tama, mari kita perhatikan mata kita. Mata adalah jendela menuju dunia visual yang penuh dengan keindahan dan keajaiban. Namun, dalam era di mana media massa menguasai sebagian besar informasi yang kita terima, mata kita menjadi sasaran dari berbagai bentuk manipulasi. Iklan, film, dan media sosial seringkali memanipulasi citra yang kita lihat, menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis atau bahkan merugikan. Sehingga, apa yang seharusnya menjadi pandangan pribadi kita tentang keindahan, sering kali tertutup oleh citra-citra yang telah dimanipulasi oleh kepentingan komersial.

Kemudian, telinga kita juga rentan terhadap penjajahan dari luar. Suara-suara yang kita dengar sehari-hari, baik itu melalui musik, siaran berita, atau percakapan sehari-hari, dapat menjadi alat untuk mempengaruhi pikiran dan emosi kita. Propaganda politik, pesan-pesan subliminal, atau narasi yang tendensius dapat merubah persepsi kita terhadap realitas. Sehingga, apa yang kita dengar tidak selalu mencerminkan kebenaran, tetapi seringkali merupakan hasil dari manipulasi yang bertujuan untuk mengendalikan pikiran kita.

Selanjutnya, hidung kita juga menjadi target bagi berbagai industri yang ingin mengendalikan keinginan dan kebutuhan kita. Aroma-aroma buatan, parfum, atau bau-bauan lainnya diciptakan untuk memengaruhi emosi dan perilaku kita. Misalnya, aroma yang ditambahkan pada makanan dapat membuat kita merasa lapar atau menggugah selera makan, bahkan jika sebenarnya makanan tersebut tidak sehat. Sehingga, kemampuan indera penciuman kita untuk membedakan antara bau yang alami dan buatan sering kali terganggu.

Terakhir, lidah kita juga tidak luput dari penjajahan. Makanan dan minuman yang kita konsumsi sering kali diubah dengan tambahan bahan-bahan kimia untuk meningkatkan rasa atau membuatnya lebih menarik secara visual. Kita sering kali terjebak dalam lingkaran konsumsi makanan cepat saji yang penuh dengan gula, garam, dan lemak, yang pada akhirnya dapat mengganggu kesehatan kita.

Dalam kondisi di mana indera-ini telah dijajah oleh berbagai faktor eksternal, kita kehilangan kedaulatan selera yang seharusnya menjadi hak prerogatif kita sebagai manusia. Kita menjadi terpisah dari pengalaman alami kita tentang dunia dan diri kita sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih sadar akan pengaruh-pengaruh luar yang dapat mengganggu indera kita, sehingga kita dapat mempertahankan kedaulatan selera kita dan tetap memiliki kontrol atas persepsi kita terhadap dunia. Dengan demikian, kita dapat kembali merasakan keindahan dan kenikmatan yang sejati, tanpa terpengaruh oleh manipulasi eksternal yang tidak sehat.

Perspektif, cara berpikir, dan pemahaman terhadap realitas adalah faktor-faktor yang sangat penting dalam membentuk kedaulatan selera kita. Setiap individu memiliki sudut pandang yang unik terhadap dunia, dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, budaya, dan lingkungan sosialnya. Perspektif ini menjadi landasan utama bagi kita dalam menafsirkan dan merespons apa yang kita lihat, dengar, cium, dan rasakan.

Cara berpikir kita juga memainkan peran krusial dalam membentuk kedaulatan selera. Bagaimana kita memproses informasi, menganalisis situasi, dan membuat keputusan memiliki dampak langsung terhadap preferensi dan penilaian kita terhadap berbagai hal. Apakah kita cenderung rasional atau emosional dalam mengambil keputusan, apakah kita terbuka terhadap berbagai sudut pandang, atau apakah kita lebih cenderung terpaku pada keyakinan dan prasangka tertentu, semuanya memengaruhi kedaulatan selera kita.

Selain itu, pemahaman kita terhadap realitas juga turut membentuk kedaulatan selera. Bagaimana kita memahami dan merespons pada dunia di sekitar kita, termasuk pada aspek-aspek fisik, sosial, politik dan budaya, akan mempengaruhi cara kita menilai dan menghargai hal-hal yang ada di dalamnya. Misalnya, pemahaman akan pentingnya keberagaman dan inklusi akan membentuk preferensi dan penilaian kita terhadap interaksi sosial, seni, politik dan budaya.

Lebih jauh lagi, nilai, sikap, dan ideologi yang kita anut juga menjadi pilar dalam membentuk kedaulatan selera. Nilai-nilai yang kita pegang, seperti kejujuran, keadilan, atau kebebasan, akan menjadi filter utama dalam mengevaluasi segala sesuatu yang kita alami. Sikap-sikap kita terhadap hal-hal tertentu, seperti apakah kita lebih cenderung untuk bersikap terbuka atau skeptis, juga akan memengaruhi cara kita merespons pada rangsangan-rangsangan sensorik yang diterima.

Dalam keseluruhan, perspektif, cara berpikir, pemahaman terhadap realitas, nilai, sikap, dan ideologi membentuk kerangka kerja yang kompleks dalam membentuk kedaulatan selera kita. Melalui pemahaman yang lebih dalam terhadap faktor-faktor ini, kita dapat lebih memahami bagaimana kita merespons pada dunia di sekitar kita dan mengapa preferensi dan penilaian kita mungkin berbeda dari orang lain. Dengan kesadaran akan faktor-faktor ini, kita dapat mengembangkan kedaulatan selera yang lebih kuat dan autentik. []

Nitiprayan, 2 Maret 2024

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version