Kemerosotan Ekonomi Amerika Serikat: Refleksi Dua Begawan Ekonomi non-Mainstream Terhadap Kejumudan Demokrasi Global
QE menghasilkan penciptaan uang dalam jumlah fantastis yang kemudian disalurkan melalui pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat rendah, bahkan seringkali mencapai nol persen. Penerimaan pinjaman dalam jumlah fantastis ini lebih sering terbatas pada pihak-pihak tertentu yang memiliki koneksi atau kedekatan khusus dengan para pemegang kebijakan ekonomi.
Sebaliknya, dana yang seharusnya diarahkan untuk menghidupkan ekonomi riil sering kali digunakan untuk transaksi saham perusahaan. Valuasi perusahaan yang tidak realistis dan digenjot melalui goreng saham menciptakan ketidakstabilan di pasar keuangan, sementara ekonomi riil tidak mendapat manfaat yang sesuai.
Ketika kredit dalam jumlah fantastis mengalami masalah pembayaran, pemerintah sering kali terlibat dalam kebijakan bail out, di mana pemerintah menanggung kerugian tersebut. Namun, yang terbail out seringkali hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki kedekatan khusus dengan penguasa, sementara kebijakan ini tidak selalu memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat umum.
Pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan penguasa dan mampu mengakses kredit raksasa seringkali adalah bagian dari kelompok oligarki. Kenaikan kesejahteraan mereka seringkali sejalan dengan jumlah utang yang diambil oleh perusahaan mereka. Perusahaan besar seperti BlackRock, Vanguard, dan lainnya yang terlibat dalam akuisisi aset property menjadi kekuatan utama dalam mengendalikan kekayaan dan peningkatan kesejahteraan.
Dampak kesenjangan ekonomi semakin terasa, di mana kenaikan kesejahteraan kelompok tertentu sejalan dengan peningkatan utang yang ditanggung oleh masyarakat umum. Model ini menciptakan ketidaksetaraan yang terus meningkat, sementara kebijakan bail out yang dilakukan oleh pemerintah cenderung menyelamatkan pihak-pihak tertentu.
Era financial capitalism membawa perubahan signifikan dalam dinamika kekayaan dan kekuasaan. Oligarki, sekelompok kecil individu yang mengendalikan sebagian besar kekayaan dan pengaruh, muncul sebagai kekuatan utama di balik sistem ini. Artikel ini mencermati modus oligarki dalam financial capitalism dan menggarisbawahi kebutuhan untuk waspada di masyarakat, karena dampaknya terhadap demokrasi dan keberlanjutan ekonomi.
Oligarki di era financial capitalism menjadi agen utama dalam membentuk dan memanfaatkan model bisnis yang baru. Kekayaan dan pengaruh mereka memungkinkan mereka menjadi pemain kunci dalam menggenggam kendali atas sumber daya ekonomi.
Oligarki seringkali mampu memanfaatkan kekayaan mereka untuk mendukung praktik demokrasi yang menguntungkan kepentingan mereka. Pembiayaan kampanye politik dan dukungan finansial terhadap pemimpin terpilih memberikan oligarki kekuatan lebih besar untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.
Model bisnis financial capitalism, dengan kecenderungan meningkatnya ongkos operasional demokrasi, membuka peluang bagi oligarki untuk mengambil peran yang semakin dominan. Mereka yang mampu membiayai praktek demokrasi yang mahal bisa memiliki akses langsung ke para pemimpin yang dapat melindungi bisnis mereka dari risiko.
Oligarki cenderung mengelola risiko bisnis mereka melalui pengaruh politik. Pemilihan pemimpin yang bersahabat dan regulasi yang dapat mereka pengaruhi menjadi langkah-langkah yang diambil untuk meminimalkan risiko dan melindungi bisnis mereka.
Masyarakat perlu waspada terhadap dampak oligarki pada demokrasi dan keberlanjutan ekonomi. Pengaruh yang berlebihan dari sekelompok kecil individu dapat merugikan kepentingan masyarakat umum dan menciptakan ketidaksetaraan yang merugikan.
Pemilihan umum (PILPRES) menjadi panggung bagi sejumlah figur muda, ganteng, dan kaya yang terlibat sebagai tim sukses dalam berbagai pasangan calon. Dinamika ini menunjukkan keterlibatan sosok-sosok yang memiliki latar belakang sebagai pebisnis financial capitalist. Fenomena ini, menyoroti peran mereka dalam politik dan dampaknya terhadap dinamika pilpres.
Figur Muda, Ganteng, dan Kaya: Wajah Baru di Panggung Politik
Para tokoh utama dalam tim sukses pasangan calon pilpres menampilkan citra yang mencolok: relatif muda, ganteng, dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Fenomena ini menunjukkan pergeseran dalam tata cara politik, di mana figur financial capitalist semakin terlibat dalam arena politik.
Banyak dari sosok-sosok ini memiliki latar belakang sebagai pebisnis financial capitalist. Keterlibatan mereka dalam tim sukses pasangan calon menimbulkan pertanyaan tentang dampak pengaruh keuangan dan koneksi bisnis terhadap dinamika politik, khususnya dalam pemilihan umum.
Keterlibatan financial capitalist dalam tim sukses tidak hanya membawa citra yang menarik, tetapi juga menghadirkan pengaruh finansial yang signifikan dalam strategi kampanye. Kemampuan mereka untuk membiayai kampanye dengan dana yang besar bisa menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah pasangan calon.
Keterlibatan sosok-sosok financial capitalist ini juga membuka ruang untuk kritik terhadap potensi oligarki di dalam politik. Kekayaan dan koneksi bisnis mereka dapat menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap kekuasaan politik dan memberikan pengaruh yang tidak seimbang dalam pembentukan kebijakan.
Fenomena ini mengundang refleksi terhadap keseimbangan kekuasaan dan transparansi politik di dalam masyarakat. Pentingnya menjaga proses demokratis yang adil dan inklusif menjadi perhatian, terutama ketika sosok-sosok financial capitalist menjadi pion utama dalam peta politik.
Refleksi Kritis, Antara Mitos Ilmu Ekonomi dan Pengalaman di Lapang
Ilmu ekonomi sering dianggap sebagai kasta tertinggi dalam cabang pengetahuan, namun banyak kalangan merasa bahwa keberhasilan di lapangan tidak selalu sejalan dengan teori-teori yang diajarkan di kampus. Mencermati mitos ilmu ekonomi dan pengalaman di lapangan, merenungkan nilai dari pengalaman lapangan dan refleksi sebagai kunci menuju kearifan.
Mitos ilmu ekonomi sebagai kasta tertinggi dalam cabang pengetahuan terkadang tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Praktek bisnis, terutama dalam skala besar, seringkali lebih didasarkan pada kekuasaan dan premanisme daripada pada aplikasi teori-teori ilmu ekonomi.
Konsep merdeka belajar atau belajar lapangan menjadi krusial untuk memahami kesenjangan antara teori dan praktik. Pentingnya meresapi pengalaman lapangan dan melibatkan diri dalam situasi nyata menjadi langkah penting menuju pemahaman yang lebih mendalam.
Refleksi, dalam tradisi Jawa disebut sebagai titen, laku, dan roso, menjadi kunci untuk mencapai kearifan. Lebih dari sekadar menggali teori-teori, refleksi mengajarkan arti dari pengalaman dan memberikan wawasan yang lebih dalam terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan merenungkan ilmu kehutanan modern, terlihat bahwa aspek aksiologi, antologi, dan epistemologi – tiga pilar filsafat ilmu – mungkin tidak sepenuhnya terpenuhi. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang relevansi dan keberlanjutan dari pendekatan ilmu kehutanan modern.
Merenung sejarah pembentukan kampus nasionalistik pertama oleh Bung Karno, terutama di dalam kraton, membawa kita kepada ide pembangunan lembaga kebudayaan Jawa. Mungkin, dasar kebudayaan Jawa yang mencakup titen, laku, roso, dan waskito adalah landasan yang dimaksudkan untuk membangun kearifan di tingkat akademis. []
Nitiprayan 27 Januari 2024