Kebahagiaan Puasa Hanif
Kunjungan pasien pagi hari benar benar membludag saat itu. Ini bisa dimaklumi setelah dua hari berturut-turut libur. Eh, bukan hanya dua hari, tetapi empat hari berturut-turut kalau dihitung libur Sabtu dan Minggu yang memang hak pegawai untuk istirahat dari rutinitas sehari-hari.
Hari Senin libur keagamaan dan Selasa lanjut dengan ‘cuti bersama’. Negaraku memang sangat banyak memberi liburan. Pegawai sangat banyak mendapat ‘ekstra’ libur. Bahkan yang namanya ‘cuti bersama’ diberlakukan secara nasional. Bahkan ada seorang kawan saya yang tanya, “Saya enggak mau cuti, lha kok disuruh cuti.” Namun, banyak pula kawan-kawan pegawai menikmati ‘hari bebas tugas’ tersebut dengan riang gembira dan suka cita.
Di balik kegembiraan liburan itu, saya melihat dan menghadapi banyak pula yang terkena imbas dari libur yang sangat panjang itu.
Adalah guru-guru kecil saya yang terkena imbasnya. Mestinya mereka bisa menjalani schedule pengobatan (kemoterapi) tetapi terpaksa mereka ‘terpaksa’ (atau dipaksa?) menunda pengobatan ini gegara libar-libur ini. Pernah ada pendamping guru-guru saya ini bertanya, “Pak apakah ‘penundaan’ kemoterapi ini akan berpengaruh pada penyembuhan penyakit anak saya?”
Jujur saya menimbang-nimbang dengan dalam sebelum saya menjawab pertanyaan ini. Di satu pihak, jawaban dari pikiran logis akan mengatakan ’tentu akan berpengaruh!’, sedangakan jawaban hati ‘yang tidak tega’ akan ngemong roso si bapak yang bertanya tersebut. Belum lagi kalau saya menjawab berbasis akal, maka akan berdampak secara psikologis, mental, sosial, bahkan bisa juga ke arah legal!. Aahhh, terlalu banyak yang saya khawatirkan.
Maka, saya berbincang bincang saja dengan Hanif, seorang guru kecilku tentang pengobatan yang sudah separuh jalan.
“Sekarang apa yang diarasakan?” tanya saya.
Hanif menggeleng, dan melirik ke bapaknya, dan bapaknya malah bilang, “Tanya langsung saja ke pak Eddot.”
“Kenapa tho, Le?” tanya saya.
Hanif dengan agak takut bertanya.
“Saya boleh puasa nggak, Pak?”
Saya tertegun dengan pertanyaan Hanif. Pertanyaan yang sangat tulus disertai harapan akan dikabulkan permintaan itu. Tanpa saya sadar saya menggumam dalam hati.
“Hidupmu saja sudah full puasa, Le.” Saya selalu terngiang definisi ‘puasa’ yang pernah disampaikan Cak Nun, yaitu tidak melakukan hal-hal yang disenangi dan mengerjakan hal-hal yang tidak disenangi.
Karena sakitnya, Hanif harus puasa dari kehidupan masa bocah yang penuh dengan asiknya bermain, sekolah, main di sawah, mandi di kali, dan banyak kegiatan untuk anak semuran Hanif. Sangat banyak hal yang harus dihindarinya dan dia harus menjalani pengobatan, diambil darahnya, disuntik, merasa sakit, mual, muntah, rambut rontok, gundul, harus mondok di Rumah Sakit, antre untuk periksa di poliklinik, antre kamar untuk menjalani rawat inap dan seabrek hal yang sangat tidak disukai anak seumurannya.
“Bagaimana, Pak?” tanya Hanif membuyarkan lamunan saya.
“Apakah kalau puasa kamu akan senang?”, tanya saya.
“Iya, Pak.”
“Apakah kalau berpuasa kamu akan menjadi bahagia?”
“Tentu, Pak!” Jawabnya dengan penuh harap saya akan mengiyakan pertanyaannya.
“Boleh!” Jawab saya.
“Berpuasalah, InsyaAllah kebahagiaanmu akan mempercepat kesembuhanmu sekaligus berlipat-lipat pahalamu!”
Yogyakarta, Awal-Pertengahan Ramadhan 1445 H.