Inverted Indonesia, Yang Terbalik Tidak Selalu Tidak Baik


”Jadi, saya tidak ngomong bahwa kita tidak ada masalah. Tapi masalahnya bukanlah benar-salah dari sudut pandang kita. Benar-salah dari relatifitas ukuran dan dari sumbu yang kita setujui bersama tapi ternyata kita hianati bersama. Dalam tanda petik; seperti itu. Saya nggak ngomong bahwa saya ikut mengkhianat karena saya juga yang menjadi korban, kan gitu. Tapi jangan salah, kita gak bisa gampang nunjuk orang, kita sama-sama satu yang namanya Indonesia”, lanjut Sabrang.
“Dan yang mengkhianati adalah bagian dari Indonesia juga, itu saudara-saudara kita juga. Dalam satu tubuh itu ada sel yang sehat, ada sel kanker, ada seterusnya. Tapi itu sama-sama satu badan, harus kita cintai terus, harus kita jaga terus. Artinya, mungkin kita nggak sehat-sehat amat nih kalau dari sudut pandang relatif ke belakang. Relatif gini kemudian, sehat atau enggak sesebuah sosialitas itu gimana sih? Kan gak ada sumbunya juga. Oke, gimana ukurnya kemudian? Kalau satu society pengennya apa sih? Pengennya makmur. Seperti siapa? Misalnya kita pakai satu contoh. Seperti zaman Majapahit. Dibandingkan era Majapahit dulu dengan sekarang, kira-kira bagaimana? Sangat relatif ukurannya. Dibandingkan dengan zaman nabi, relatif ukurannya juga”, lanjut Sabrang.
”Saya tidak ingin Maiyah itu menjadi forum yang dengan mudah nge-judge ini bener ini salah dan seterusnya, tapi kita mengukur benar pertanyaan, dan kemudian kalau kita ngomong bahwa ini nggak beres, kita tahu betul apa yang harus kita lakukan, kita tahu betul mengukurnya seperti apa. Indonesia tidak sedang baik-baik saja, Dan kita tidak bisa dengan mudah menunjuk sel siapa yang tidak beres. Karena sebenarnya kalau Anda ngomong partai yang nggak beres, politisnya nggak beres, itu yang milih rakyat semua. Maaf itu sih, ya kan?” lanjut Sabrang disambut tawa jamaah. Karena memang harus diakui, bobroknya politik di Indonesia juga atas sumbangsih rakyatnya yang memilih pada setiap Pemilu dilangsungkan.
Tapi kita tetap hidup bersama, apapun yang terjadi kita tetap tidak bisa meng-cancel ke Indonesiaan kita. Harus kita pecahkan bersama, yang invert kita balik lagi, minimal kita mampu membikin sebuah lingkungan yang sedikit mencoba ’waras’. Dengan ukuran yang tidak subjektif, tapi ukuran yang objektif. Bukan tentang close mind atau open mind. Tapi ini urusan objektifitas. “Kita bukanlah orang yang paling benar menunjuk siapa yang salah. Kita juga bukan orang yang salah yang kemudian tidak berani untuk berbuat apa-apa. Kita tahu bahwa kita tidak sempurna, tapi kita tidak takut dan berani untuk membenarkan keadaan ketika dibutuhkan. Harapannya seperti itu”, pungkas Sabrang.
Tak kunjung habis meneladani Rasulullah SAW
Ustadz Noorshofa kemudian dipersilakan oleh moderator, beliau menyapa jamaah Kenduri Cinta; ”Bismillahirrahmanirrahim. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, Alhamdulillahi bini’matihi tatimmu s-salihat, asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu la sharikalah, wa ashadu anna muhammadin abduhu wa rasuluh, Allahumma shalli wa sallim wa barik ala Sayyidina Muhammadin wa ’ala alihi wa sahbihi ajma’iin amma ba’d. Kita Fatihah dulu buat Mbah Nun. Mudah-mudahan Allah angkat penyakitnya, diberikan kesehatan yang sempurna khususan Mbah Nun, Allahumma rabba-n-naas adzhibil ba’sa. Isfihi anta syaafiih, laa syifaan Illa syiifaauka syifaan laa yughadhiru saqoman. Sai’un Lillah Lahu Al-Fatihah”, Ustadz Noorshofa diawal mengajak jamaah membaca Al Fatihah dikhusukan untuk Cak Nun.