Inverted Indonesia, Yang Terbalik Tidak Selalu Tidak Baik


”Artinya sumbu atau tolak ukur seperti meteran, itu selalu berdiri sendiri sebagai tolak ukur, sebagai pancang dari yang diukur. Dia gak terpengaruh sama yang diukur. Alat timbang, alat ukur. Nah, sumbu ini nih harus ada di luar dari apa yang mau kita definisikan sebagai terbalik itu tadi. Nah, Problemnya adalah kalau kita ngomong perilaku manusia, sumbunya apa?”, Sabrang memancing jamaah untuk mulai berfikir merespons tema Kenduri Cinta kali ini.
”Di sini kita harus berpikir lebih dalam. Dalam manusia, itu tidak ada sumbu yang universal. Ada banyak konsep yang digunakan sebagai sumbu atau axis dalam bahasa Inggris. Kalau ada konsep yang namanya pake sumbu Agama, artinya terbalik atau tidak peraturannya sumbunya adalah agama. Karena manusia yang ikut peraturan agama. Kita tidak bisa mengolah peraturan agama. Kita nggak bisa mempengaruhi, karena itu sumbunya. Tidak mungkin yang diukur mempengaruhi alat ukurnya”, lanjut Sabrang.
”Jadi alat ukurnya ada yang pakai Agama. Tapi tidak semua pakai agama lho, Agama juga ada madzhabnya beda-beda. Artinya dalam kehidupan bermasyarakat itu tidak ada sumbu yang bisa dipakai oleh semua orang. Di rumah sakit jiwa, yang normal adalah yang sakit jiwa. Jadi apakah kita mengatakan bahwa dokter rumah sakit jiwa itu yang paling tidak normal diantara situ? Karena sumbunya yang mayoritas adalah orang gila. Sekarang pertanyaannya, Indonesia ini terbalik, ini tidak seharusnya. Lihat, emang sumbu kita seperti apa? Kita pakai standar apa nih?”, Sabrang kembali melontarkan pertanyaan lanjutan.
Masing-masing kita memiliki standar, banyak dari masyarakat di Indonesia yang menyatakan bahwa situasi saat ini adalah situasi yang baik-baik saja dan tidak ada masalah. Tapi ada yang juga menganggap bahwa situasi saat ini adalah situas yang terbalik, merasa bahwa situasi ini nggak beres keadaannya. Maka dari itu, harus ditemukan cara ukur yang berbeda selain dengan sumbu yang tepat itu tadi. Cara ukur yang berbeda disebut sebagai cara ukur relatif. Misalnya ada pertanyaan; Anda tinggi atau pendek? Kalau ditanyakan Anda tinggi atau pendek? Itu kan tidak ada sumbunya. Tolok ukurnya bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Anda tinggi atau pendek? Sangat relatif.
Relatif dibandingkan Siapa? Kalau dibandingkan anak kecil mungkin Anda tinggi, dibandingkan orang bule, Anda bisa jadi pendek. Artinya posisi seseorang ketika pakai ukuran relatif itu tidak bisa berbicara dengan pijakan sumbu yang kita asumsikan di sini. Kita harus membandingkan dengan rata-rata orang berbicara mengenai tinggi dan pendek.
”Nah Demokrasi itu adalah salah satu cara untuk mengukur rata-rata. Rata-rata ini orang waras dalam tanda petik dari sudut pandang pribadi, rata-rata ini orang asing. Yang salah sumbu kita ini. Karena memang rata-ratanya kayak gini, dan itu jadi sumbu masyarakat”, Sabrang melanjutkan. Dalam kondisi seperti ini, kita kemudian bisa memprediksi bagaimana masa depan yang akan terjadi.
”Tapi kamu gak bisa ngapa-ngapain. Karena kebetulan dalam sekelompok manusia, itu memang mereka setuju dalam satu identitas bersama. Identitas kita apa kebetulan? Indonesia, ngakunya. Yang diikrarkan sumbunya apa? Hukum ngikuti etika, ngikuti peraturan, ngikuti agama bahwa ternyata perilaku di masyarakat tidak mengikuti sumbu itu yang terjadi bukanlah inverted, yang terjadi adalah munafik. Artinya ada sumbu yang kita lakukan dan ada sumbu yang kita ikrarkan. Dan yang kita ikrarkan, yang kita lakukan tidak sama”, lanjut Sabrang.
”Artinya ini orang inverted. Munafik, kan gitu aja artinya. Ya jangan jadi bagian dari itu, gitu aja”, singkat Sabrang. Pada kenyataannya kemudian kita merasa tidak setuju, mungkin ada sesuatu yang kelihatan tidak beres dari sudut pandang kita, itu boleh saja. Semua orang boleh punya pandangan sendiri-sendiri, semua orang boleh punya sumbu sendiri-sendiri, tapi pada akhirnya perlu ada sumbu yang kita setujui bersama.
”Secara formal yang kita setujui bersama adalah hukum. Hukum itu dibawah etik, etik itu dibawah morality. Lagi-lagi, tapi kembali ke moraliti jadinya relatif. Betul ya, ngomong etik jadinya relatif. Gimana membuat ini menjadi tidak relatif?”, lanjut Sabrang.
”Dijadikan sumbu yang namanya sumbu hukum. Makanya sekarang pertarungannya melawan hukum atau tidak. Jadi masalah karena hukum, gini itu sudah konsep yang bagus. Tapi kita satu langkah lagi ke depan. Hukum itu tidak ada kecuali digunakan”, Sabrang melanjutkan.
”Jika ada orang berkelahi, kemudian dibawa ke pengadilan, baru kita temukan fungsi hukum yang berlaku. Yang tidak bisa dipecahkan oleh moral dan etik, akan dipecahkan oleh hukum. Dan masalahnya kemudian adalah kalau hukum hanya diaplikasikan pada momen tertentu, berarti ada yang mengendalikan hukum. Kita yang bertanggung jawab terhadap pengaplikasian hukum, kemudian kita menyandarkan moral dan etika kepada hakim yang menjalankan hukum tersebut Kalau ternyata yang menjadi hakim, mahkamah, hakim, atau dan seterusnya itu, ternyata tidak bisa menjaga yang ukuran relatif menjadi ukuran yang statis, kita enggak punya harapan sebagai bangsa”, Sabrang memantik dengan pernyataan yang pesimis.