IMPERSONATION, Meneguhkan Kembali Nasionalisme di Kenduri Cinta
Beberapa waktu lalu, 2 atlet Indonesia berhasil meraih medali di Olimpiade 2024 yang dihelat di Paris. 2 medali emas dan 1 medali perunggu. Salah satu kebanggaan seluruh bangsa saat Olimpiade berlangsung adalah ketika lagu kebangsaan dinyanyikan, karena hanya Negara yang berhasil meraih medali emas saja yang lagu kebangsaannya dinyanyikan sesaat setelah penyerahan medali. Dan pada momen itu, banyak dari kita ikut terharu, bahkan tidak sedikit dari kita yang meneteskan air mata karena bahagia.
Padahal, kita sebelumnya sama sekali tidak mengenal dekat atlet yang meraih medali emas tersebut. Tapi, ada imajinasi tentang nasionalisme dan kebangsaan yang sama, yang kemudian kita bersepakat untuk memiliki kesamaan terhadap keyakinan tentang kerelaan untuk membela, bahkan rela mati demi bangsa dan negara. Sehingga, momen-momen heroik seperti momen Olimpiade itu menjadi salah satu momen dimana kita bersama-sama bisa merasakan rasa yang sama.
Bahkan mungkin, kita juga tidak pernah menyaksikan cabang olahraga yang kemudian 2 atlet Indonesia: Veddriq Leonardo pada cabang olahraga Panjat Tebing dan Rizky Juniansyah pada cabang olahraga Angkat Besi. Mayoritas dari kita tentu lebih banyak menyaksikan cabang olahraga Bulu Tangkis, yang kemarin salah satu atlet kita, Gregoria Mariska Tunjung berhasil meraih medali perunggu. Tapi, kita bisa merasakan atmosfer yang sama saat menyaksikan mereka bertanding di arena pertandingan Olimpiade.
Narasi tentang Nasionalisme adalah narasi yang sudah digagas sejak lama. Indonesia memiliki jalan panjang sejak era Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 hingga Proklamasi 1945. Pun hingga hari ini, narasi tentang nasionalisme itu masih tetap ada. Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini hendak mengupas kembali, seperti apa sebenarnya sebuah Negara itu digagas pada awalnya. Hingga akhirnya semua bersepakat untuk bersama-sama mendirikan sebuah Negara, dan menunjuk beberapa orang untuk memimpin sebuah Negara. Jika kita melihat ke belakang, Proklamasi 1945 diproklamirkan dalam kondisi bangsa yang tidak mudah. Proklamasi yang didengungkan pada 17 Agustus 1945 jam 10 pagi, tidak lantas bisa didengar langsung oleh seluruh masyarakat di Nusantara saat itu. Terlebih, saat itu masih dalam masa penjajahan Jepang. Bahkan Belanda pun masih belum benar-benar angkat kaki dari Nusantara. Tapi akhirnya, seluruh wilayah dan juga kerajaan di Nusantara saat itu bersepakat untuk bersatu dalam naungan Republik Indonesia. Bung Karno saat itu memekikkan pernyataan yang begitu tegas dalam naskah Proklamasinya: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Sampai hari ini, yang kita fahami dari narasi pemindahan kekuasaan tersebut adalah pemindahan kekuasaan dari penjajah ke suasana yang merdeka dari penjajah. Padahal, saat itu di Indonesia ada banyak kekuasan-kekuasaan pada kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah. Apakah kekuasaan itu juga yang kemudian dipindah tangankan? Dan ada banyak lagi penjelasan-penjelasan akademis mengenai pemindahan kekuasaan itu. Hingga pada akhirnya, Republik Indonesia ini pun melewati jalan terjal yang tidak mudah. Secara sistem pemerintahan, Indonesia pernah menjalani sistem Presidensial, kemudian mencoba sistem Parlementer, lalu hingga hari ini Presidensial. Tentu saja, sejak awal para pendiri bangsa ini mencari sistem politik yang akan diterapkan, dan akhirnya memutuskan bahwa Demokrasi adalah yang dipilih.
Dan hari ini, narasi tentang Nasionalisme, Demokrasi, semakin terkontaminasi dengan situasi politik yang terjadi. Semua narasi itu sudah tidak murni lagi seperti awalnya. Tentu saja, dengan berjalannya waktu, dan semakin banyak kepala yang mengurusi Negara dan memiliki kekuasaan untuk berkuasa, akan semakin banyak hal yang berevolusi dan berkembang. Sebuah konsekuensi logis dari berjalannya sebuah peradaban.
Mencari Alasan Kembali untuk Bernegara
Malam itu hadir di Kenduri Cinta dr. Ryu Hasan, salah satu neuroscientist dengan jam terbang tinggi di Indonesia. Beliau malam itu mengawali paparannya dengan contoh empirik yang dialami sendiri tentang social orientation disorder. Saat masih muda, dr. Ryu sangat mengagumi Bob Marley dan Che Guevara, sampai memasang foto kedua tokoh tersebut di kamarnya. Saat itu, dr. Ryu selalu membela mati-matian Bob dan Che jika ada orang yang menjelek-jelekkan kedua tokoh yang dikagumi itu. Bahkan, dr. Ryu saat ada orang yang menjelek-jelekkan kakek dan orang tuanya, lebih merasa biasa saja, bahkan dengan entengnya menimpali; “Memang jelek”. Hingga pada satu momen, dr. Ryu merasa ada yang salah, sehingga kemudian beliau mengganti foto Che dan Bob di kamarnya dengan gambar Lunar Module Appolo 11. Setelah itu, dr. Ryu merasa biasa-biasa saja ketika ada orang menjelek-jelekkan Che dan Bob.