CakNun.com

Hari Raya, Hari Ujian

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Annas Arfnahri on Unsplash

Lebaran telah tiba, Ramadhan telah usai.

Suasana sholat ‘Ied pagi tadi berlangsung sangat khidmat, sejuk, dan sangat indah. Alam memberi keteduhan dengan mengirim awan yang menutupi matahari yang biasanya bersinar terik namun tidak untuk pagi hari tadi.

Banyak yang berbahagia di hari ini, menyambut hari raya yang tiba. Suasana silaturahim di kampung-kampung, di desa-desa, dan bahkan saya lihat di rumah pejabat yang mengadakan ‘open house’ terlihat berlangsung meriah.

Berbagai ucapan selamat Idul Fitri membanjir lewat beragam media sosial, WA group, email bahkan telepon langsung. Ada juga yang mengungkapkan dengan kata-kata Ied Mubarrak! yang berarti semoga ibadah kita diterima oleh Allah dan dibalas dengan keberkahan.

Selamat Hari Raya Idul Fitri! Idul Fitri sendiri berasal dari kata (عِيْدٌ) ‘īd yang artinya ‘perayaan’ dari kata (عَادَ) ‘āda yang artinya ‘kembali; mengunjungi’ dan dari kata (اَلْفِطْرُ) al-fiṭr yang artinya ‘buka puasa’ dari kata (فَطَرَ) faṭara yang artinya ‘menciptakan; meragi; membatalkan puasa’. Sehingga kita tidak boleh berpuasa di hari Fitri ini.

Namun sebagian kawan saya merasa sedih dengan berlalunya Ramadan. Mereka bergumam, “Rasanya saya belum dapat apa-apa di bulan Ramadhan ini…, tetapi kenapa Ramadhan ini cepat berlalu.”

Saya menyeruput teh hangat selepas Maghrib, sambil memainkan keyboard, ketak-ketik dan sambil berusaha merasakan aroma Idul Fitri ini. Biasanya dalam sebulan kemarin, waktu maghrib adalah saat yang paling dinanti untuk berbuka puasa. Tapi seberapapun besar penantian itu, toh dengan segelas teh hangat dan sepotong gembus goreng, sudah lenyap haus dan lapar seharian.

Sambil minum teh campur saya merenung. Ada satu pertanyaan di benak saya, ”Kenapa tidak boleh untuk berpuasa di hari ini?” Saya berusaha untuk mencari jawabnya.

أَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَىعَنْصِيَامٍيَوْمَيْنِ: يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah Saw. melarang puasa dalam dua hari, yakni ketika hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (Muttafaq Alaih)

Saya sendiri merasakan ‘aneh’ ketika siang tadi selepas bersilaturahmi dan kemudian ketamuan saudara yang sudah lama tak jumpa, dan ikut menemani menyantap hidangan lebaran berupa opor ayam bikinan Mbak Sri dan komplitannya. Keanehan yang saya rasakan memang karena sebulan kemarin ‘tidak biasa’ makan dan minum di siang hari. Keanehan secara psikologis.

Bukan hanya secara psikologis, tetapi secara biologis pun ternyata perut bereaksi, bahkan sampai setengah jam berikutnya ada reaksi terusannya yang intinya perut ‘menganggap’ bahwa kehadiran makanan di siang tadi merupakan sebuah kehadiran benda asing yang harus segera di olah sebagaimana mestinya. Sehingga tubuh akan kembali pada posisi ‘puasa’ sebagaimana hari-hari kemarin.

Akan halnya teman-teman saya yang sedih karena ditinggalkan bulan Ramadhan, saya tidak bisa menjawabnya atau tidak bisa menguraikannya. Ini adalah pengalamn batin dan kondisi psikologis puncak sehingga bisa merasakan ‘kekosongan’ ketika ditinggal bulan Ramadhan. Sungguh saya juga sangat ingin merasakannya.

Perihal fenomena tersebut saya berusaha melihat dari pendapat dan kacamata saya. Bahwa ibadah puasa yang dijalankan selama bulan Ramadhan secara biologis akan membersihkan perangkat, organ, ataupun sistem biologis tubuh. Ada waktu tertentu di mana tubuh kita istirahat. Usus beristirahat dari rutinitas digestif, sehigga darah akan jarang membawa segala produk olahan yang biasanya masuk setiap saat (bila tidak puasa) dan akan lebih sering membawa ‘sampah’ dan ‘racun’ untuk dinetralkan, diolah, dan dibuang sehingga tubuh akan menjadi bersih, ‘suci’ dan ‘fitri’ kembali.

Bukan hanya sekadar ‘bersih’, bila melewati jam tertentu maka akan terjadi proses autofagi (tubuh makan tubuh sendiri), artinya: bagian tubuh (sel) yang sudah tua dan menjadi ‘sampah’ akan dimakan – dimusnahkan, sehingga selain bersih maka di dalam tubuh hanya akan ada sel-sel yang ‘muda’ dan segar, sehingga tubuh akan menjadi ‘muda’ kembali. Sistem kekebalan tubuh akan meningkat dan tubuh akan lebih kuat.

Lalu bagaimana yang sisi non biologis (psikologis – kondisi batin)? Ingat kalimat ‘You are what you eat’? Ini pernah saya tulis beberapa saat silam. Sehingga bila tubuh yang secara biologis bersih, maka secara psikologis-batiniah akan bersih, mengkilap, kinclong!

Ibarat sebuah mangkuk kosong yang sudah dibersihkan, tidak ada kotoran, tidak ada makanan, tidak ada kotoran. Kosong!! Hampa! Tinggal kita akan isi apa? terserah kita. Rasakan kekosongan itu, rasakan kehampaan itu, nikmatilah.

Hari ini kita tidak boleh berpuasa, semata mata ini adalah ujian untuk kita apakah kita akan berpesta pora hari ini, ataukah kita akan memulai hari ini dengan puasa yang sebenarnya di hari-hari mendatang.

Taqobbalallahu minna wa minkum taqabbal ya Karim.

1 Syawal 1445 H/10 April 2024

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik