CakNun.com

Hanya Gandhie Yang Bisa

Munzir Madjid
Waktu baca ± 4 menit

Di tengah kerumunan, Mbah Nun dengan sabar melayani berbagai pertanyaan. Seusai acara, para jamaah berebut ingin mencium tangannya, dan Mbah Nun tetap ramah memberikan jawaban serta nasihat kepada setiap orang yang mendekat. Beberapa jamaah menyerahkan botol air mineral dengan tutup yang sudah dibuka. Bagi Mbah Nun, air atau benda apa pun hanyalah wasilah — perantara yang keberkahan dan khasiatnya tetap kembali kepada Allah, Sang Pemilik Segala.

Tak jauh dari Mbah Nun, berdiri seorang pria bertubuh gempal dengan topi newsboy di kepalanya. Wajahnya tampak sedikit tegang, sesekali ia melirik ponsel yang tergenggam di tangan kirinya, tampak gelisah.

Tanpa banyak basa-basi, lelaki itu mendekati Mbah Nun dan membisikkan sesuatu — bukan sekadar bisikan, tetapi ajakan yang terdengar tegas dan jelas. “Cukup, Cak, kita harus ke bandara sekarang!”

Hanya Gandhie yang bisa bersikap seperti itu. Orang lain mungkin tidak akan seberani dia. Dengan nada yang tegas dan tanpa kompromi, ia meminta Mbah Nun untuk segera mengakhiri sesi tanya-jawab. Sikapnya tegas, lugas, dan tak terbantahkan.

Mbah Nun mengangguk setuju, lalu mengikuti langkah Gandhie menuju mobil besar berwarna putih yang sudah menunggu. Seorang penggiat Kenduri Cinta siap di balik kemudi. Mobil sport milik Gandhie ini selalu disediakan khusus untuk menjemput dan mengantar Mbah Nun setiap kali berada di Jakarta.

Ketekunan Gandhie yang penuh disiplin dan tanpa kompromi, tanpa melibatkan banyak drama emosional, membuat Mbah Nun merasa nyaman dan terlindungi. Itulah mengapa Mbah Nun patuh pada aturan-aturan yang diterapkan oleh Gandhie.

Mobil melaju menuju sebuah warung ayam goreng yang buka 24 jam di kawasan Jalan Salemba, tepat di tepi rel kereta api. Setiap kali kereta melintas, percakapan pun terhenti sejenak.

Masih ada cukup waktu sebelum penerbangan, sehingga diputuskan untuk makan terlebih dahulu. Sejak tiba di Jakarta pada sore sebelumnya, Mbah Nun belum sempat makan sepiring nasi pun.

Segala sesuatunya sudah diatur dengan rapi oleh Gandhie: mulai dari tiket pesawat, rute transit, hingga siapa saja yang akan ditemui dan siapa yang tidak boleh berinteraksi. Bahkan, Gandhie sudah mengantisipasi hal-hal kecil seperti di mana letak toilet terdekat di setiap lokasi acara.

***

Saya mengenal Gandhie sejak bergabung dalam pertemuan Reboan di kawasan Tebet, sekitar tahun 2005, di rumah kontrakan milik Iyan Gondrong. Saat itu, Gandhie adalah sosok yang pendiam, introvert, dan hanya berbicara jika ditanya. Sikap yang khas dari praktisi IT yang akrab dengan dunia teknologi, komputer, dan server.

Pada tahun itu pula, muncul ide untuk mendokumentasikan nilai-nilai Maiyah secara lebih sistematis. Akhirnya, dibuatlah akun media sosial resmi Kenduri Cinta di Facebook dan Twitter, serta dikembangkan website kenduricinta.com. Gandhie bertanggung jawab penuh untuk pembuatan dan pemeliharaan servernya.

Sejak saat itu, acara Kenduri Cinta mulai direkam dalam bentuk verbatim, lalu ditranskripsikan dan ditulis ulang secara lengkap. Setelah melalui proses penyuntingan, hasilnya diunggah ke situs Kenduri Cinta.

Sejak awal, Kenduri Cinta tidak merekomendasikan siaran langsung atau live streaming untuk acara-acaranya. Keputusan ini membawa banyak keuntungan. Pertama, menjaga tradisi literasi tetap hidup. Kedua, materi yang kurang layak tayang dapat disaring sehingga menghindari potensi perdebatan yang tidak perlu. Yang terpenting, nilai-nilai Maiyah dapat terdokumentasikan dengan baik. Dalam hal ini, peran Gandhie sangat signifikan.

***

Pada masa-masa tersebut, Mbah Nun belum memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta dan bisa dikatakan hidup secara nomaden. Terkadang beliau menginap di hotel, di lain waktu tinggal di kamar kost salah satu penggiat Kenduri Cinta, hingga akhirnya membeli apartemen di Jalan Kasablanka.

Selama berada di Jakarta, orang yang selalu mengantar, menjemput, dan menemani Mbah Nun, saat itu adalah Andrie Sis. Andrie mendampingi Mbah Nun selama kurang lebih tiga atau empat tahun sebelum akhirnya mengundurkan diri karena menikah. Peran Andrie kemudian secara bertahap digantikan oleh Gandhie, yang pada saat itu sudah semakin aktif di Kenduri Cinta.

Kala itu, Gandhie bekerja sebagai ahli IT di sebuah perusahaan yang berkantor di Gedung Cyber. Perusahaan tersebut dimiliki oleh sepasang suami istri, satu berasal dari Surabaya dan satu lagi dari Singapura. Dalam perannya sebagai seorang spesialis IT, Gandhie bertanggung jawab atas instalasi dan pemeliharaan server perusahaan, sebuah tugas krusial yang menentukan kelangsungan operasional perusahaan, terutama pada bagian portal digital mereka.

Namun, situasi berubah ketika Gandhie tiba-tiba dipecat oleh perusahaan. Meskipun tidak lagi secara resmi menjadi bagian dari tim, posisi Gandhie sebagai orang yang menginstal server membuatnya tetap tak tergantikan. Setiap kali terjadi masalah pada sistem atau server perusahaan, hanya Gandhie yang memahami secara mendalam infrastruktur teknologi yang dibangunnya, sehingga perusahaan selalu memanggilnya kembali untuk menyelesaikan berbagai kendala teknis.

Ironisnya, meskipun secara formal Gandhie sudah tidak memiliki pekerjaan tetap, jobless, dia masih menerima gaji bulanan dari perusahaan tersebut. Hal ini terjadi karena ketergantungan perusahaan terhadap keahliannya dalam memelihara server yang ia tanam, menjadikan Gandhie tidak dapat sepenuhnya dilepaskan. Bagi Gandhie, meski dipecat, posisinya tetap strategis dalam menjaga operasional server perusahaan tetap berjalan dengan lancar.

Pada masa itu, saya bekerja di sebuah perusahaan film, Picklock Productions, yang dimiliki oleh Dewi Umaya dan Sabrang MDP. Kantor di bilangan Cipete ini, Gandhie sering nongkrong, terutama dengan Erik Supit, yang memang tinggal sementara di kantor.

Saya masih ingat dengan jelas momen ketika Gandhie dipecat dari pekerjaannya. Gandhie meminta saran, terutama dari tim legal Picklock. Apakah sebaiknya ia mengambil langkah hukum untuk menggugat perusahaan tersebut atau mencari solusi melalui mediasi.

Hingga suatu hari, dikabarkan bahwa Gandhie sudah mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan asing di Tangerang Selatan. Alhamdulillah.

***

Ketika salah satu kerabat Maiyah meninggal, Gandhie selalu menjadi orang pertama yang sibuk. Dia segera menghubungi Nink untuk mengatur pembelian karangan bunga, memastikan ucapan duka cita tertulis dengan baik — nama almarhum harus lebih besar dari pengirimnya. Fahmi diminta memilih foto-foto. Beberapa kali saya diminta menulis obituari, kenangan, serta kebaikan-kebaikan tentang siapa pun di keluarga besar Maiyah, seperti saat Pak Is, maestro peniup suling KiaiKanjeng, berpulang.

“Buatin tulisan, kanggo Pak Is!” begitu pesan WhatsApp yang masuk. “Saya tunggu,” lanjutnya. Saya menempelkan tangan ke dahi, berusaha keras mengingat sosok Pak Is. Selain sebagai peniup suling yang tak tertandingi, apa lagi yang bisa saya tuliskan tentangnya? Peristiwa itu terjadi pada Februari 2018.

Tiga tahun sebelumnya, 2015, ketika Zainul meninggal dunia, permintaan serupa datang — saya diminta menulis siapa dan bagaimana Zainul selama perjalanan hidupnya dengan Mbah Nun.

Namun kini, Gandhie, orang yang selama ini selalu cepat mengabarkan kepulangan kerabat Maiyah, justru berpulang.

Gandhie, maafkan saya. Meski saya yakin, kamu sudah lebih dahulu memaafkan.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan. Sekali lagi, saya tidak janji.

Bogor-Jakarta, 19-20 Oktober 2024

Lainnya

Topik