CakNun.com

Gugus Kreatif Cak Nun: Meretas Kemandirian Berpikir dan Berekspresi

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 5 menit

Jika mereka sekarang berproses kreatif kembali dalam Dapoer Seni Djogja, hal itu merupakan penyatuan kembali gugus kreatif Emha Ainun Nadjib. Keterlibatan Indra Tranggono, Isti Nugroho, Eko Winardi, Wardono, dan Si Us (Vincensius Dwimawan) dalam pentas fragmen “The Jongos” menunjukkan bahwa semangat kolaborasi dan kreativitas yang pernah tumbuh subur di rumah Cak Nun di Patangpuluhan Yogyakarta pada tahun 1980-an masih terus berlanjut.

Pada masa itu, rumah Cak Nun menjadi pusat kegiatan kreatif, memberikan ruang bagi para pemuda dengan kegelisahan kreatif untuk berekspresi dan belajar. Banyak dari mereka yang terlibat dalam proyek-proyek seni seperti sastra dan teater, yang diadakan di sana. Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno sering menggelar latihan di rumah tersebut, menciptakan lingkungan yang subur untuk lahirnya ide-ide dan ekspresi seni baru.

Kini, dengan berkumpulnya kembali para seniman tersebut dalam Dapoer Seni Djogja, kita melihat sebuah kesinambungan dari semangat dan filosofi yang dulu ditanamkan oleh Cak Nun. Aktor-aktor seperti Joko Kamto dan Novi Budianto, yang pernah menjadi bagian dari lingkungan kreatif tersebut, kini kembali berperan dalam “The Jongos”, bersama dengan penyair Simon Hate dan aktivis pendidikan Toto Rahardjo yang juga pernah terlibat dalam kegiatan di rumah Cak Nun.

Penyatuan ini tidak hanya memperkaya proses kreatif yang mereka jalani tetapi juga menguatkan jaringan sosial dan budaya yang telah terbangun selama bertahun-tahun. Mereka tidak hanya kembali berkolaborasi untuk menghasilkan karya seni, tetapi juga memperkuat kembali nilai-nilai kebersamaan, kebijaksanaan, dan keberlanjutan budaya yang telah mereka jaga sejak dulu. Dapoer Seni Djogja, dengan demikian, menjadi simbol dari kelanjutan dan kebangkitan kembali semangat 

Gugus kreatif Emha Ainun Nadjib merupakan entitas budaya yang tidak hanya menghasilkan karya seni, tetapi juga membangun kemandirian dalam berpikir dan berekspresi. Mereka melahirkan karya baik yang tangible (berwujud fisik) maupun intangible (tidak berwujud fisik). Selain itu, kemandirian sikap yang diperkuat dalam gugus kreatif ini membuat mereka selalu kritis terhadap kekuasaan, mengedepankan semangat eksplorasi untuk melahirkan kreativitas estetik dan non estetik yang relevan, bernilai, dan urgent.

Gugus kreatif Emha ditandai oleh munculnya sastra terlibat, sastra yang membebaskan, atau yang disebut sebagai “sastra kagunan” oleh Romo Mangunwijaya. Sastra ini berbasis pada kepedulian terhadap masyarakat dan seringkali menyuarakan kritik sosial serta aspirasi rakyat. Salah satu contoh konkret dari sastra kagunan adalah pementasan Teater Dinasti dengan karya-karya seperti “Geger Wong Ngoyak Macan” dan “Patung Kekasih,” yang mengangkat tema-tema sosial dan politik dengan cara yang artistik dan menyentuh.

Repertoar musik puisi Emha dan Teater Dinasti juga menjadi fenomenal, menambah kekayaan budaya melalui kombinasi antara musik dan puisi yang mendalam. Pentas drama seperti “Pak Kanjeng,” musikalisasi puisi oleh Emha dan Kiai Kanjeng, serta pertunjukan Gamelan Kiai Kanjeng menjadi contoh lain dari karya mereka yang berpengaruh. Karya-karya ini tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik, mengajak penonton untuk berpikir kritis dan merasakan empati terhadap berbagai isu sosial.

Selain itu, keterlibatan dalam berbagai kegiatan seni dan budaya ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang selalu dipegang teguh oleh gugus kreatif Emha. Mereka tidak hanya bekerja untuk kepentingan individu, tetapi juga untuk kebaikan masyarakat luas, menunjukkan bagaimana seni dapat menjadi alat untuk perubahan sosial yang positif.

Dengan demikian, Dapoer Seni Djogja yang melibatkan kembali para anggota gugus kreatif Emha, seperti Indra Tranggono, Isti Nugroho, Eko Winardi, Wardono, dan Si Us, merupakan bukti nyata dari keberlanjutan dan kebangkitan kembali semangat ini. Mereka terus menghasilkan karya yang tidak hanya indah secara estetika tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan, memperkuat identitas budaya dan kemandirian dalam berpikir serta berekspresi.

Pentas teater berformat mikro “The Jongos”, yang akan digelar di kampus ISI Yogyakarta pada 10 Agustus 2024 pukul 19.30, pada dasarnya juga berspirit gugus kreatif Emha Ainun Nadjib. Semangat ini tampak pada pemihakan terhadap nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan. “The Jongos” bersikap non-partisan dan tetap di jalur seni dan budaya.

Pentas ini bukan sekadar tontonan dan hiburan, tetapi juga merupakan sarana perenungan yang dirancang untuk memperkuat daya kritis baik kalangan kreatif, pelaku seni, maupun publik. Dalam “The Jongos”, penonton diajak untuk merenung dan berpikir kritis tentang isu-isu sosial dan politik yang relevan, sesuai dengan prinsip-prinsip gugus kreatif Emha yang selalu menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan berekspresi serta kepedulian terhadap masyarakat.[]

Lainnya

The Jongos: Cerminan Tajam Praktik Kekuasaan di Indonesia

The Jongos: Cerminan Tajam Praktik Kekuasaan di Indonesia

Demokrasi di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Untuk memperkuat dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, Dapoer Seni Djogja akan menggelar pentas teater berjudul “The Jongos” pada hari Sabtu, 10 Agustus 2024 pukul 19.30 WIB.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Urip Kudu Tenanan

Urip Kudu Tenanan

Ada satu pengalaman berharga yang saya petik pasca-menyaksikan persiapan pementasan Nabi Darurat dan Rasul Ad-Hoc (NDRA) di Semarang 25 Maret lalu.

Saratri Wilonoyudho
Saratri W.