CakNun.com

Gandhie, Purna Maiyah, Purna Abdullah, Purna Khalifatullah

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 6 menit

Sebelum 7 harinya Gandhie berpulang, saya menjanjikan 1 tulisan terakhir kepada Mas Helmi. Sebagai tulisan pungkasan sebelum 40 harinya Gandhie. Namun, selalu tertunda. Sampai hari ini, saya masih merasa aneh dengan kepergian Gandhie. Ada ruang suwung dalam hati. Tidak bisa saya hindari memang, karena hampir setiap hari saya selalu bersinggungan dengan Gandhie. Sama-sama di Kenduri Cinta, sama-sama di Maiyah, dan juga sama-sama berkantor di perusahaan yang sama, bahkan di departemen yang sama. Saat membuka Outlook setiap pagi pun, akan selalu muncul alamat emailnya Gandhie di arsip Inbox. Saat membuka Teams, masih ada arsip Teams chat dengan Gandhie.

Pada 14 Oktober 2024 lalu, saya bukan orang pertama yang mendapat kabar berpulangnya Gandhie. Justru saya mendapat kabar itu dari Cak Zakki yang mendapat informasi itu dari tetangganya Gandhie yang kebetulan kenal dengan Mas Helmi. Dinihari itu saya terbangun setelah mendengar notifikasi pesan WA masuk dari Mas Sabrang dan Patub. Dan saat membuka chat Grup Penggiat KC, sepersekian detik saya terdiam, tak percaya.

Biasanya, jika ada kerabat Maiyah yang berpulang, Gandhie selalu berkoordinasi dengan saya untuk urusan informasi. Mencarikan foto terbaik, menyusun ucapan duka cita, mencari alamat rumah duka, kemudian dengan Mbak Nink untuk urusan memesan karangan bunga. Saling berbagi tugas, termasuk dengan Tri. Hingga kemudian bertemu di rumah duka. Pagi itu, saya melakukannya untuk Gandhie.

Gandhie, Tri, Mbak Nink dan saya memang empat sekawan, selalu dilibatkan oleh Gandhie dalam berbagai hal. Entah apa rumus yang dipakai oleh Gandhie, pada urusan-urusan tertentu dan urgent, bahkan private, kami bertiga selalu diajak runding. Bukan berarti kami selalu akur, kami bahkan sering bertengkar, sering tidak akur, sering berseberangan. Tapi, kami bisa kemudian rekat kembali satu sama lain, tanpa menyimpan dendam dalam hati kami satu sama lain.

Salah satu penyesalan terbesar saya adalah bahwa saya tidak punya dokumentasi foto terbaik Gandhie. Padahal, Gandhie selalu mengabadikan momen-momen spesial teman-temannya. Ia selalu memiliki foto-foto kami yang epic dan candid.

Di hari berpulangnya Gandhie, semua tahapan sebaran informasi saya lakukan seperti biasanya. Yang membuat saya lungkrah, bahwa informasi yang saya sebarkan adalah tentang berpulangnya Gandhie. Yai Tohar mengirim pesan di Whatsapp pagi itu dengan sebuah pertanyaan singkat yang tidak bisa saya jawab: “Piye iki, Mi?”.

Saya sampai di rumah Gandhie bersama istri saya dan Mbak Nink menjelang pukul 5 pagi. Tri dan Istrinya, Mia sudah sampai beberapa menit lebih awal. Melan, istrinya Gandhie, duduk di sebelah jenazah Gandhie. Saya pandangi wajah Gandhie pagi itu. Dan masih tidak percaya, secepat ini ia pergi. Satu per satu teman-teman Kenduri Cinta berdatangan, kami berpelukan dan menangis. Hari itu, kami, penggiat Kenduri Cinta, melakukan hal yang biasanya dikoordinasikan oleh Gandhie ketika salah satu kerabat Maiyah berpulang. Dan hari itu kami melakukannya untuk Gandhie.

Tidak pernah terbayang sebelumnya kami harus memandikan jenazah Gandhie, mensholatkannya, kemudian mengangkat kerandanya menuju pemakaman, bahkan menjalani proses pemakamannya. Tapi, seperti kata Cak Zakki, kami manut dengan titah Allah.

Hidup kami harus terus berjalan. Begitu juga dengan Kenduri Cinta sebagai sebuah komunitas. Forum Reboan yang rutin kami selenggarakan, dengan tidak adanya Gandhie, rasanya masih aneh juga. Di Reboan pertama dan kedua setelah Gandhie berpulang, teman-teman KC masih mencoba membangun atmosfernya. Dan tampak sangat nyata, bahwa memang berat.

Hal yang sama, yang harus saya lakukan dalam beberapa hari terakhir ini, berkoordinasi dengan Mbak Nink untuk proses pencetakan buku Yasin, yang didalamnya ada foto Gandhie. Dengan Heri, saya berkoordinasi untuk membuat kenang-kenangan terakhir berupa booklet tentang Gandhie. Dengan Yudi, saya berkoordinasi mencari foto-foto terbaik Gandhie. Dengan Toni, saya berkoordinasi untuk proses editing video untuk Gandhie. Dengan Tri, berkoordinasi untuk final review dari seluruh proses itu. Menyesakkan dada, tapi harus dilakukan, sebagai bentuk apresiasi kami untuk Gandhie.

***

Reboan sebelum KC November lalu menjadi titik balik kami di KC. Reboan malam itu menjadi Reboan yang sangat menggairahkan. Tema KC “Cakrawala Anallah” menjadi tema diskusi yang sangat hidup di Reboan. Hampir semua teman-teman penggiat menyampaikan sudut pandang mereka dari berbagai dimensi. Di Reboan pertama setelah Gandhie berpulang, saya sampaikan ke teman-teman KC bahwa KC November ini adalah pembuktian kami semua di KC. Pembuktian bahwa Gandhie sudah tuntas mendistribusikan seluruh tanggung jawabnya kepada kami di Kenduri Cinta. Dan Alhamdulillah, KC November berjalan lancar, tanpa ada kendala berarti. Hujan yang mengguyur Jakarta setelah Maghrib, reda menjelang Maiyahan malam itu dimulai.

Bahkan, KC November ini adalah eksperimen teman-teman penggiat dengan format yang lebih tertata. Hanya ada dua sesi diskusi, dengan jeda musik dua kali. Awalnya kami mengira forum akan selesai lebih cepat, namun tetap saja, jam dua dinihari forum baru dipuncaki. Dapur Kenduri Cinta boleh saja berkurang personelnya, suasananya masih berkabung dan masih belum maksimal performa masing-masing individunya. Tapi, sajian di panggung tidak boleh terpengaruh secara signifikan. Diskusi tetap berlangsung gayeng dan penuh hikmah serta ilmu yang bernilai.

Dan post production setelah KC November ini, teman-teman penggiat KC nyatanya mampu lebih sigap dalam melakukan semua tahapan yang biasanya di-arrange oleh Gandhie. Semakin memperkuat rasa optimis saya, bahwa teman-teman di KC sudah sangat siap melanjutkan apa yang sudah ditanamkan oleh Gandhie sebelumnya.

Satu bulan terakhir, saya sendiri mencoba merenungi kepergian Gandhie. Karena memang banyak hal yang dalam beberapa bulan terakhir ini kami diskusikan, terutama mengenai KC sendiri dan juga Maiyah. Setelah Gandhie pergi, dan menyaksikan bagaimana teman-teman di KC sudah semakin siap, saya kemudian menyadari kenapa banyak hal-hal yang penting ia hand over kepada saya, Tri, Amien dan beberapa teman di KC. Gandhie memang menyiapkan itu semua untuk diestafetkan penugasannya sesuai dengan proporsinya.

Bekerja di kantor yang sama dengan Gandhie, semakin membuka mata saya bagaimana sosok Gandhie di ruang profesional. Intensitas komunikasi saya dengan Gandhie pun semakin bertambah. Jika di KC, saya sering berdebat, bergesekan, bahkan silang pendapat dengan Gandhie, maka hal yang sama pun terjadi di kantor. Ada hari-hari dimana ada activity yang dilakukan setelah jam kerja, bahkan hingga subuh keesokan harinya, kami saling berkoordinasi secara profesional. Gandhie mengajarkan kepada saya bahwa di ruang profesional, kami harus memiliki feel dan style yang sama meski di ruangan yang berbeda dengan interaksi di komunitas. Bagi Gandhie, justru core nilai-nilai Maiyah sangat relevan ketika diaplikasikan di dunia profesional kerja. Dan Gandhie membuktikan itu sendiri. Dari interaksi yang sangat intens itu, saya melihat kemampuan leadership yang dimiliki Gandhie sama sekali tidak berbeda, baik saat di KC, Maiyah maupun di kantor.

Ada hari-hari dimana kami berangkat menuju Reboan dari kantor dalam satu kendaraan yang sama, mobil putih milik Gandhie. Mobil yang juga dalam beberapa tahun terakhir digunakan oleh Gandhie atau saya saat menjemput Mbah Nun di Bandara Halim Perdanakusuma. Mobil yang sama yang digunakan saat kami mendampingi Mbah Nun sambang Simpul Maiyah di Tasikmalaya. Mobil yang juga pernah kami gunakan untuk menjemput Mbah Nun di Yogyakarta, untuk acara di Ungaran dan kemudian lanjut menuju Jakarta untuk Kenduri Cinta. Mobil yang juga menjadi saksi untuk mengurus berbagai keperluan Mbah Nun saat di Jakarta.

Satu fakta yang akhirnya saya dapatkan dari Ibunya Gandhie, bahwa almarhum Bapaknya Gandhie juga sangat mengagumi sosok Mbah Nun. Ibunya bercerita, pada satu momen, saat mereka tinggal di Yogyakarta karena tugas pendidikan, Pak Arief (Bapaknya Gandhie) pernah mengajak Gandhie kecil hadir dalam acara Maiyahan CNKK di UGM. Dalam sebuah perjalanan, di sebuah Pom bensin, Ibunya Gandhie bercerita bahwa mereka bertemu Mbah Nun, namun rasanya malu untuk sekadar salim dengan Mbah Nun.

Sebuah episode yang seolah tersambung. Sekian tahun setelah Pak Arief wafat, Gandhie menjadi orang yang sangat disayang oleh Mbah Nun, dipercaya banyak urusan oleh Mbah Nun, Bu Via dan Progress. Menjadi orang yang siap sedia, kapanpun dibutuhkan, 24/7. Selayaknya di dunia profesionalnya di bidang IT yang memang selalu dituntut stand by 24 jam, tanpa mengenal hari libur. Bukan berarti hari Sabtu atau Minggu tidak berkumpul dengan keluarga, tetapi selalu stand by jika dibutuhkan. Dan semuanya seimbang, tidak ada dikotomi untuk kepentingan keluarga, Maiyah, Mbah Nun juga profesional membangun karier di perusahaan tempat bekerja. Gandhie moncer di semua bidang. Cemerlang kariernya, teruji integritasnya.

Bagi saya, Gandhie adalah manifestasi nyata dari ajaran Maiyah itu sendiri. Saya sendiri mungkin masih dalam tahap level setor kuping di Maiyah. Mengaplikasikan ajaran Mbah Nun, mungkin masih seujung kuku jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Gandhie. Di KC maupun Maiyah, apalagi jika berurusan dengan Mbah Nun, Gandhie itu sangat well prepared. Bahkan sampai pada hal yang sangat detail. Juga sangat disiplin dan on time. Jika sudah menjadwalkan pertemuan dengan Gandhie, 30 menit sebelum jadwalnya, Gandhie sudah di lokasi pertemuan. Jika menjemput Mbah Nun di Bandara, saat Mbah Nun belum boarding di Bandara keberangkatan, Gandhie sudah stand by di Bandara tujuan.

Tulisan ini memungkasi beberapa tulisan kenangan saya dengan Gandhie. Tentu saja, masih banyak kenangan yang tidak sempat saya tuliskan. Menjelang 40 harinya berpulang, dalam hari-hari kehilangan, pada rentang waktu kilas kenangan yang kembali bermunculan, lembaran-lembaran kebersamaan itu semakin tertata rapi dalam ingatan.

Gandhie, kamu sudah purna. Purna Maiyah, Purna Abdullah, Purna Khalifatullah.

Lainnya

Exit mobile version